Legenda Mbah Kalibening dan Sumur Pasucen Banyumas

Sami Al Jabbar
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto Asal dari Desa Bumijawa, Kab. Tegal Motto: Jika sholat menjadi kebiasaan, maka percayalah kesuksesan akan menjadi kenyataan
Konten dari Pengguna
17 Desember 2022 14:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sami Al Jabbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar : Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar : Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Persebaran agama Islam di wilayah Jawa kian merambak hingga sampai ke wilayah Dawuhan Banyumas dibuktikan dengan adanya kisah mengenai tokoh-tokoh penyebar agama Islam sampai dengan peninggalan-peninggalannya yang masih ada saat ini. Seperti halnya di wilayah Dawuhan terdapat kisah mengenai sosok Mbah Kalibening yang menyebarkan agama Islam di wilayah Dawuhan Banyumas sebelum era Wali Sanga, serta salah satu peninggalannya yang masih ada saat ini berupa sumur pasucen yang menjadi sumber mata air daerah tersebut yang sampai kini masih terjaga kelestariannya. Legenda Mbah Kalibening dan sumur pasucen ini menjadi kisah turun temurun dan menjadi bukti adanya kehidupan Islam di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Sosok di balik Nama Kalibening
Dilansir dari Tribunjateng.com Kalibening merupakan sebuah nama julukan yang di berikan kepada Syekh Maulana Rumaini. Syekh Maulana Rumaini merupakan seorang musafir dari timur tengah yaitu dari Persia sampai ke daerah Dawuhan, Banyumas sekitar tahun 1270 sampai 1300-an. Asal mula nama Kalibening menurut informasi dari abdi dalem setempat menyebutkan nama Kalibening diberikan kepada sosok Syekh Maulana Rumaini karena menemukan sebuah mata air yang kemudian dijadikan sebuah sumur. Istilah kali atau dalam bahasa Jawa memiliki arti sungai, namun dalam penyebutan warga setempat yaitu warga daerah Dawuhan, kali juga diartikan sebagai sebuah sumur atau mata air. Sedangkan bening memiliki arti bersih yang mana merujuk pada sumur tersebut yang memiliki kualitas air yang bersih. Oleh karena itu, warga setempat menyebut sosok Syekh Maulana Rumaini sebagai sosok Mbah Kalibening.
ADVERTISEMENT
Mbah Kalibening Sosok yang Menemukan Mata Air Sumur Pasucen
Kalibening atau akrab di sapa mbah Kalibening beliau adalah seorang saudagar atau juga seorang musafir yang memiliki nama asli Syekh Maulana Rumaini, Syekh Maulana Rumaini memiliki nama lain Syekh Romawi dan Syekh Sayyid Abdullah Faqih. Namun lebih terkenal dengan julukan Syekh Romawi. Syekh Romawi atau Mbah Kalibening tersebut berasal dari timur tengah. Dari timur tengah tersebut menuju ke Indonesia yaitu tepatnya di kerajaan Singosari. Kemudian dari kerajaan Singosari beliau itu berjalan lagi menuju ke arah barat sampai akhirnya menuju kerajaan Majapahit. Pada saat di kerajaan Majapahit di sana sedang melakukan sayembara yang mana bagi pemenangnya maka akan mendapatkan seorang putri raja. Akan tetapi karena religius dari Syekh Romawi atau mbah Kalibening itu adalah Islam dan kerajaan Majapahit itu Kerajaan Hindu, maka mbah Kalibening menolak. Namun sebagai sebuah penghargaan karena beliau memenangkan sayembara, maka beliau diberi sebuah tombak pusaka.
ADVERTISEMENT
Setelah sayembara tersebut beliau kembali melanjutkan perjalanan ke barat sembari menyebarkan agama Islam. Beliau menyebarkan agama Islam konon sebelum era dari Wali Sanga. Beliau melakukan perjalanan sampai tibalah di suatu desa di perbukitan yang mana pada saat itu sedang musim kemarau. Kemudian beliau bertemu dengan salah satu petani yang bernama Mbah Gelagah Amba. Kemudian beliau bertanya kepada petani tersebut sembari beristirahat. Karena waktu sudah memasuki waktu salat asar dan dari sepanjang perjalanan beliau pun belum menemukan sumber mata air, maka beliau bertanya kepada petani tersebut. Kemudian di jawablah bahwa di sini memang sedang musim kemarau, jadi tidak ada sumber mata air. Kemudian setelah perbincangan panjang tersebut selesai beliau melanjutkan perjalanan dengan menaiki lagi ke atas bukit. Dengan nalurinya, beliau menemukan ada sebuah batu, dengan penuh keyakinan beliau tancapkan tombak tersebut ke sebuah batu itu. Akhirnya dari batu tersebut keluarlah sumber mata air yang sangat deras, dan sampai saat ini pun batu itu airnya keluar sangat jernih dan sangat deras. Bahkan di musim kemarau yang panjang pun air itu tetap meluap.
ADVERTISEMENT
Mata air tersebut kemudian dibuat menjadi sebuah sumur oleh Eyang Ali Besari. Sumur tersebut diberi nama menjadi sumur pasucen yang memiliki arti menyucikan, karena fungsi dari sumur tersebut salah satunya untuk menyucikan benda-benda pusaka atau jamasan pusaka. Jamasan pusaka tersebut dilaksanakan setiap bulan Maulid setelah Eyang Sura Bendera mendapat wangsit (petunjuk) bahwa benda pusaka tersebut harus disucikan atau dimandikan tepat pada bulan maulid. Selain itu, alasan jamasan dilakukan setiap bulan maulid supaya adat tidak bertolak belakang dengan agama.
Benda Peninggalan Mbah Kalibening
Beberapa benda-benda bersejarah peninggalan Mbah Kalibening yang paling utama adalah tombak. Tombak yang digunakan Mbah Kalibening menancapkan ke batu tersebut kini di simpan dan di abadikan di dalam museum Dawuhan. Benda peninggalan Mbah Kalibening yang lain juga di abadikan di museum seperti berbentuk benda pusaka, batu, dan keris. Benda-benda tersebut konon katanya silih berganti setiap tahunnya, contoh jika pada tahun ini ada sepuluh maka tahun yang akan datang bisa menjadi seratus, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut berlangsung secara gaib dan bertambah kurangnya benda pusaka tersebut konon katanya sebagai pertanda untuk kehidupan satu tahun yang akan datang. Datang dan perginya benda pusaka itu terjadi pada malam Jumat Kliwon dan puncaknya yaitu pada malam satu Suro. Tanda-tandanya seperti terdengar suara gemuruh dari dalam museum disertai dengan masuknya cahaya dari langit yang masuk menuju ke dalam museum. Datang dan perginya benda pusaka tersebut tidak hanya pada saat malam Jumat Kliwon saja tetapi juga pada malam Kamis Wage dan Selasa Kliwon.
ADVERTISEMENT
Selain benda-benda pusaka tersebut di museum Dawuhan juga menyimpan naskah yang menjelaskan mengenai Mbah Kalibening. Di sini ada dua macam naskah, yang pertama naskah Kalibening atau yang dinamakan naskah Banyumas, yang kedua ada naskah yang berisi cerita-cerita Mbah Kalibening yang saat ini masih belum bisa di terjemahkan dikarenakan kondisi yang sangat rapuh sehingga sulit untuk diterjemahkan. Naskah tersebut bertuliskan Arab gundul dan aksara Jawa kuno.
Benda-benda peninggalan tersebut sebagai pengingat kita mengenai sejarah persebaran Islam di wilayah Jawa dan Banyumas. Sebagai generasi penerus kita harus melestarikannya sehingga warisan-warisan dari para leluhur khususnya yang telah berjuang menyebarkan agama Islam tetap lestari dan dapat menjadi pembelajaran bagi generasi-generasi selanjutnya.