Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
AS dan RRC : Pertarungan di Laut China Selatan di tengah CoVid 19
10 April 2020 21:17 WIB
Tulisan dari Sampe Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Sampe L. Purba
Tembakan salvo Amerika di tengah badai Coronavirus
ADVERTISEMENT
Di tengah COVID 19 yang bermula dari Wuhan Republik Rakyat China (RRC) yang menghantui dan menggoncang tatanan semesta jagat, Amerika Serikat – yang sudah mulai kehilangan taji dan pamornya termasuk di antara sekutu NATO – mencoba mengirim kode keras kepada China. Peluru kendali jarak jelajah menengah ditembakkan ke arah pantai China. China boleh membantu negara negara NATO seperti Italia melawan CoVid, tetapi jangan pernah mengusik sekutu Amerika Serikat.
Beberapa hari sebelumnya, pesawat militer China terbang dari Fuzhou melewati garis tengah Selat Taiwan. Pesawat China dan F 16 Taiwan sempat berhadapan selama 10 menit. Dalam buku putih Pertahanan RRC 2019 tercantum bahwa PLA akan mengalahkan siapapun yang berusaha memisahkan Taiwan dari China. Amerika menuduh China mengelabui aktivitasnya yang tidak berdasar hukum di laut China Selatan, di tengah badai coronavirus.
ADVERTISEMENT
Pesan Amerika tidak tanggung – tanggung. Untuk pertama kalinya, kapal perang angkatan laut AS USS Barry menembakkan peluru kendali jarak menengah SM-2 ke arah China pada tanggal 24 Maret 2020, dari arah laut Filipina, di bawah sandi latihan Ballistic Misile Defense.
Ini adalah tantangan serius. China sudah merupakan momok bagi Amerika Serikat. Tentara Pembebasan China (PLA) telah berhasil memproduksi dua jenis peluru kendali DF-21D dan DF-26 yang mempunyai jangkauan 4.000 km, dapat mencapai pangkalan angkatan laut AS di Guam. China juga sudah mengembangkan kapal pengangkut pesawat tempur bernama “Liaoning”, dengan sistem peluncur yang efisien seperti katapel (catapult) launch system.
Amerika Serikat mengubah nama komando tempur Pacific Command yang bermarkas di Hawaii, pada bulan Mei tahun 2018 menjadi US Indo-Pacific Command. Jangkauan tanggung jawab operasinya meluas hingga ke lautan India. Dalam upacara sambutannya, Menteri Pertahanan Jim Mattis menyebut hal ini “penting untuk menjaga stabilitas di lautan yang merupakan area kritis bagi perdamaian global”. Ini sejalan dengan jargon Presiden Donald Trump yang terkenal itu “Make America Great Again”.
ADVERTISEMENT
Menghadapi manuver China di laut Taiwan, Amerika bereaksi keras. Sedikit norak malah. USS Shiloh secara demonstratif berpatroli di Selat Taiwan. Kapal induk USS Ronald Reagan yang doking di Tokyo dan kapal induk Theodore Roosevelt yang sedang menjelajah diperintahkan merapat, menghadapi China yang memiliki pangkalan angkatan laut kuat di Dalian (Utara) dan Hainan (selatan). Kedua pangkalan China ini secara geografis menjepit Taiwan dan Jepang.
Apes bagi Donald Trump. Anak buah kapal induk Theodore Roosevelt yang sebelumnya sempat sandar di Da Nang Vietnam, diberitakan terkena CoVid 19. Brett Crozier, Kapten Kapal Induk menulis surat ke Pimpinan Angkatan Laut untuk izin sandar di Guam. Dia menyadari betul bahwa apabila ada awak kapalnya yang terpapar CoVid, bencana besar akan timbul. Para tentara dan anak buah kapal induk super mewah 15 an tingkat (seperti hotel) yang dihuni kelasi 5.000 an orang itu bisa tersapu seketika. Itu dapat menjadi bencana yang mengerikan bagi operasi militer dari kapal induk bersenjata lengkap yang digerakkan dengan tenaga nuklir tersebut. Tetapi apa lacur, alih alih mendapat penghargaan, sang Kapten kapal langsung diminta bebas tugaskan oleh Panglima Angkatan Laut. Komentar Donald Trump pun tidak kurang pedasnya. Anda bisa saksikan di CNN.
ADVERTISEMENT
Kapal itu memang akhirnya terpaksa sandar di Guam, seluruh awak dievakuasi. Hampir 10% ABK ternyata positif CoVid 19 !!!. Kapten Crozier – saya yakin adalah pahlawan besar dalam bathin anak buahnya – menelan pil pahit. Sebagai militer profesional, Pejabat Panglima Angkatan Laut Thomas Moldy mengerti bahwa yang dilakukan anak buahnya itu adalah benar. Minggu berikutnya, Moldy mengundurkan diri.
Ilusi Amerika Serikat – hard power versus smart power
Salah satu strategi perang Sun Tzu yang terkenal adalah berpura puralah menyerang ke Timur walau maksudnya menyerang Barat. Bersahabatlah dengan tetangga jauh, sambil membakar semak untuk menangkap ular. China yang saat ini berada di bawah kepemimpinan “manusia setengah dewa” Presiden Xi Jinping, yang belum lama ini dikukuhkan Partai Komunis China sebagai Pemimpin seumur hidup - sebagai murid dari Deng Xiao Ping - menyadari betul kekuatan kultural China yang jauh berakar sebelum Masehi. (Ref. How China’s leaders think, Robert Kuhn, 2011). Ketika manusia di belahan dunia lainnya masih nomaden atau mungkin belum berpakaian sebagai simbol adab modern, China telah menemukan bahan peledak. Juga ahli filsafat.
ADVERTISEMENT
Saat ini China adalah salah satu kekuatan super power di dunia. Ada atau tidak ada CoVid 19. Kekuatan China adalah mengandalkan diplomasi dagang – smart power, bukan kekuatan senjata hard power ala cowboy Trump. Tidak ada negara di dunia ini yang tidak menggunakan produk China. Bahkan Amerika Serikat sekalipun. Kebencian Trump kepada China yang berujung pada sengketa dagang dengan menaikkan tarif bea masuk dan membatasi barang China masuk Amerika, justru menjerat rakyatnya yang sudah tergantung kepada produk China.
RRC sang raksasa ekonomi, dengan lincah dan royal membantu negara negara di dunia dalam pembiayaan proyek infrastruktur dalam skema OBOR (one belt one road) menghubungkan Asia – Oseania – Afrika – Eropa. Modifikasi OBOR yang disebut dengan BRI (Belt and Road Initiative) menempatkan negara negara mitra sebagai stakeholdersnya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Daerah Australia Utara (Northern Territory) telah mengikat kerja sama membangun infrastruktur pelabuhan dengan skema pinjam pakai kepada China sampai 99 tahun di bawah skema BRI. Pelabuhan yang tidak jauh dari markas marinir Amerika Serikat di Darwin.
Grafik perbandingan GDP China dengan Amerika Serikat :
Manuver China tidak berhenti di situ. Menteri Pertahanan RRC pada bulan Juli 2019 yang lalu dalam pertemuan dengan Negara Negara Pasifik Selatan dan Karibia, menawarkan kerja sama militer dalam skema BRI. Ini memaksa Menteri Pertahanan Amerika Serikat terbang ke Sydney beberapa hari kemudian, dan menuduh BRI adalah jerat tantangan keamanan kawasan. Sebagai gantinya Amerika Serikat menawarkan kerjasama trilateral dengan Pemerintah Jepang dan Australia untuk mengganti skema BRInya China tersebut. Pemerintah Federal Australia seperti kecolongan dengan kebijakan Pemerintah Negara Bagian Australia Utara. Politisipun gaduh, saling menyalahkan antara Pemerintah Federal dengan Pemerintah negara bagian Australia Utara (Northern Territory).
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat sebetulnya telah mengakui ada realitas baru kekuatan dunia pasca perang dunia kedua. Senator Marco Rubio (Republik – DaPil Florida) menyebut AS tidak keberatan bahwa China menjadi kaya dan sejahtera, tetapi harus ada keseimbangan dengan AS. Ha haa …., bagaimana mungkin negara yang posisi tawarnya melemah mampu mendiktekan terms. Ini mengingatkan saya ke bukunya George Friedman “The next 100 years” (2010) yang menyebut China tahun 2020 sebagai macan kertas, sebaliknya memprediksi Amerika Serikat akan unggul dalam perang “Battle Stars” tahun 2050 dan mendiktekan pengaturan dunia baru kembali. Amerika sedang terjebak dengan nostalgia ilusi zaman perang dunia kedua. Ketika itu, di Yalta – Ukrania, Rooesevelt (Amerika Serikat), Stalin (Uni Soviet) dan Churchill (Inggeris) menggambar ulang peta dunia.
ADVERTISEMENT
Abad 21 ini bukan lagi era Brettonwoods di mana perekonomian AS yang disimbolkan mata uang Amerika Serikat menjadi kiblat dunia. Kekuatan Ekonomi China saat ini tidak saja di bidang perdagangan, tetapi juga di bidang keunggulan teknologi dan inovasi. Reuter belum lama ini melaporkan untuk pertama kalinya dalam empat dekade terakhir China melibas dan melewati Amerika Serikat dalam pendaftaran hak paten di World International Property Organization (WIPO).
Grafik Pendaftaran Paten Internasional
Dalam tahun 2019 China mendaftarkan 58.990 sementara AS “hanya” 57.840. Ini adalah pertanda bahwa di bidang inovasi dan teknologi, China telah beroperasi dalam nilai ekonomi yang tinggi. Amerika Serikat gamang. Negara itu meminta dunia untuk melarang penggunaan peralatan informasi dan komunikasi teknologi Huawei dari RRC dengan tuduhan bahwa teknologi tersebut dapat digunakan China untuk memata-matai siapapun.
ADVERTISEMENT
Cengkeraman kuku China di Laut China Selatan
Laut China Selatan adalah kawasan strategis bagi China. Tidak kurang dari 10 Negara mengelilingi lautan semi tertutup seluas tiga setengah juta kilometer persegi tersebut. Kawasan tersebut kaya energi dan sumber daya perikanan. Badan Informasi Energi Amerika Serikat memperkirakan di sana tersimpan cadangan minyak bumi terbukti sebesar 7,7 milyar barel dengan perkiraan total sebesar 28 milyar barel, serta gas alam hingga 190 triliun kaki kubik. Sumber daya perikanannya juga sangat kaya. Lebih dari 3.000 jenis spesies ikan ada di sana. Kawasan tersebut merupakan zona lima besar penghasil ikan di dunia.
Dari aspek geopolitik, jalur inipun sangat strategis. Merupakan jalur armada kapal niaga kedua terbesar di dunia, menghubungkan Afrika, Asia Selatan, Timur Tengah ke kawasan Asia Timur. Mengangkut minyak, LNG ke arah Asia Timur, dan komoditas industri negara maju ke Arab dan Afrika. Laut ini juga merupakan rute utama kemaritiman yang menghubungkan pelabuhan, perdagangan, logistik dan jalur armada militer, yang lazim disebut SLOC (sea lines of communication).
ADVERTISEMENT
Di LCS terdapat gugusan pulau karang Spratly yang dipersengketakan China dengan enam negara lain di kawasan. China sudah membangun pulau reklamasi di Michief Reef. Fasilitas militer di pulau karang tersebut meliputi stasiun radar, stasiun peluncuran misil peluru kendali hingga landasan pesawat tempur. Pulau buatan seluas hampir 600 Hektar. Seperti kapal induk yang tidak mungkin ditenggelamkan.
China menarik sembilan garis putus-putus (nine dash line) menjorok ke selatan, menerabas batas batas Zona Ekonomi Eksklusif berbagai Negara. Filipina protes hingga membawa kasusnya ke Permanent Court of Arbitration di Den Haag. Pada tahun 2016 Arbitrase memutuskan bahwa Mischief Reef adalah bagian dari landas kontinental dan ZEE Filipina, sejalan dengan konvensi hukum laut (UNCLOS 1982) di mana China juga ikut menandatangani. China tidak menggubris. Tidak bergeming.
ADVERTISEMENT
China paham bahwa UNCLOS tidak memiliki perangkat dan kekuatan hukum memaksa. Filipina yang mengelus dada tidak dapat berbuat banyak, maksimal mengganti nama Laut China Selatan di batas ZEEnya menjadi Laut Filipina Barat.
Di tengah badai coronavirus, pada 4 April 2020 barusan, kapal nelayan Vietnam yang mendekat, langsung ditenggelamkan China. China menuduh kapal nelayan Vietnam memasuki zona larangan. Sang naga raksasa menyemburkan api yang menghanguskan. Tanpa ampun.
Amerika Serikat yang bukan penandatangan UNCLOS ikut teriak teriak. Bagi Amerika Serikat, LCS adalah milik bersama umat manusia di mana ada kebebasan berlayar (freedom of navigation). Res communios humankind common heritage - ini yang dianut konvensi Montevideo 1933. Ini juga menjadi salah satu alasan mengapa AS tidak mau tanda tangan UNCLOS. Dia tidak suka dibatas-batasi masuk ke laut manapun.
ADVERTISEMENT
Posisi Indonesia di tengah pertarungan dua gajah
Provokasi China tidak berhenti dengan Filipina. Kapal kapal pengawal pantai (coast guard) China berpatroli sepanjang 9 dash line, sambil mengawal para “nelayannya”.
Pada periode awal bapak Jokowi menjabat sebagai Presiden, China test the water. Tahun 2016, kapal kapalnya berseliweran di sekitar dash line. Presiden Jokowi yang baru memegang kekuasaan menunjukkan perlawanan dan nyalinya. Menggunakan sinyal simbolis. Terbang ke Natuna, di atas KRI Imam Bonjol-383 bersama sejumlah Menteri, presiden Jokowi menggelar rapat. Presiden tidak terima klaim China di nine dash line atas dasar traditional fishing ground nelayan China zaman baheula. Seraya memberi beberapa petunjuk termasuk percepatan pembangunan di Natuna sebagai gerbang terdepan, organisasi tentarapun direstrukturisasi.
ADVERTISEMENT
Tiga Komando Gabungan Wilayah Pertahanan dibentuk. KoGab merupakan komando utama operasi Markas Besar TNI yang langsung berada di bawah Panglima TNI yang dapat menggerakkan dan membawahi tiga matra basis TNI seperti Korem, Pangkalan TNI AL dan Pangkalan TNI AU. Diharapkan selain untuk mengintegrasikan kekuatas, hal ini juga akan memberikan detterent effect, efek penggentar. Juga tidak lupa mengganti nama laut sekitar ZEE Indonesia menjadi Laut Natuna Utara. Seperti yang dilakukan Filipina.
But is that enough ?.
Tidak. Bahwa China setelah itu agak mengurangi provokasinya, barangkali adalah juga sedang menerapkan strategi perang Sun tzu yaitu perdaya langit untuk melewati samudera (strategi nomor 1) dikombinasikan dengan strategi terakhir nomor 36, menghindarlah untuk bertempur di kemudian hari. Buktinya ? Akhir tahun 2019 dan awal tahun 2020, hal yang sama terulang kembali. Kita semua kalang kabut. Pak Jokowi ke Natuna lagi. Apakah provokasi China akan berhenti?. Wallahualam. Adanya pandemik coronavirus agak menenggelamkan berita hal Natuna, di sisi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Indonesia sebaiknya mencermati hal ini.
Marilah bercermin dari kasus Ambalat. Di perairan Ambalat lepas pantai Pulau Sebatik Indonesia menelan pil pahit kekalahan sengketa perbatasan dengan Malaysia. Indonesia kalah dari Malaysia di mahkamah internasional (international court of justice - ICJ), yang berakibat lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002. ICJ memenangkan Malaysia atas dasar doktrin effectivity yaitu rangkaian pengurusan efektif secara administratif dan regulatif sejak zaman kolonial. Residunya hingga hari ini belum tuntas. Ada blok Migas Indonesia saat ini yang tumpang tindih dengan klaim Malaysia. Juga belum ada usaha nyata di lapangan.
Natuna tidak boleh dibiarkan terlantar !!!.
Terdapat setidaknya tiga wilayah kerja eksplorasi migas Indonesia di ZEE Natuna Timur yang masuk dalam peta klaim garis putus putus (dash line) RRC, antara garis nomor empat dan lima. Termasuk di dalamnya adalah blok Natuna Timur, yang diperkirakan mengandung cadangan gas raksasa terbukti sebesar 46 triliun kaki kubik, yang ditemukan tahun 1980. Tidak ada operasi migas yang berarti di daerah yang tumpang tindih tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya blok Natuna Timur adalah dibawah operatorship ExxonMobil, suatu perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat. Dengan mendapat dukungan luas termasuk para pengamat dan politisi nasionalis ala Indonesia, kontrak dengan ExxonMobil berhenti di tahun 2007. Selanjutnya wilayah kerja tersebut diberikan dibawah operatorship Pertamina. Pertamina kembali mengajak ExxonMobil sebagai mitra. Kemitraan ini penting mengingat tingginya kadar CO2 dan besarnya biaya yang diperlukan untuk mengusahainya. Tetapi setelah melewati rangkaian diskusi komersial yang panjang, Exxon memutuskan mundur dari konsorsium blok tersebut pada tahun 2017. Everybody playing its own cards.
Pintar pintarlah kita meniti buih, dan mendayung di antara berbagai karang. Bukan rahasia umum lagi, China yang sudah maju di bidang ekonomi, ingin juga menjadi kekuatan utama menantang hegemoni raksasa AS, setidaknya di kawasan Laut China Selatan (LCS) hingga ke Afrika. Efek penggentar yang kita coba bangun diperhadapkan dengan kekuatan China tentu tidaklah efektif. Yang efektif adalah pengurusan nyata di lapangan. Bukan sekedar patroli udara atau jelajah kapal pengawal pantai secara sporadis. pendekatan seperti itu mahal, tidak efektif dan dan kurang smart.
ADVERTISEMENT
Tidak ada salahnya kita meminjam prinsip strategi perang Sun Tzu. Ibarat olah kanuragan, meminjam tenaga lawan. The enemy of my enemy is my friend. Musuh dari musuhku adalah temanku. Kita memerlukan perkongsian/ kerja sama dengan perusahaan perusahaan Amerika. Termasuk di perbatasan itu. Menjaga kepentingan warga negara, dan investasi warga negaranya adalah termasuk dalam kepentingan Amerika Serikat.
Pertimbangan kita dalam bernegosiasi tidak boleh dari perspektif ekonomiatau persepsi yang dibangun saat ini melulu. Boleh mengalah dalam satu pertempuran, asal dapat memenangkan peperangan. Demikian ajaran klasik Jenderal Prusia Carl von Clausewitz. Kepentingan nasional kita yang utama adalah menjaga kedaulatan bangsa, integritas dan keutuhan wilayah serta perlindungan terhadap masyarakat.
Apakah China akan bereaksi ? Bisa jadi. Kita juga dapat mengajak perusahaan China bekerja sama di perbatasan. Mungkin di bidang industri penangkapan dan pengolahan ikan, pembangunan infrastruktur atau juga di bidang energi. Berkongsi sekaligus dengan perusahaan berasal dari Amerika Serikat dan China. Mengapa tidak? Kita dapat bersahabat sekaligus dengan kedua pihak yang bersaing ini. Jadilah sahabat bagi semua orang. Meminjam istilah Bung Hatta, mendayung di antara dua karang.
ADVERTISEMENT
IMF memperkirakan dalam 10 tahun ke depan, GDP China akan yang tertinggi di dunia. Amerika Serikat, India dan Indonesiapun termasuk dalam 10 besar.
Tabel : Proyeksi GDP Dunia (triliun USD)
Sumber : IMF, World Economic Outlook
Jangan sampai kita ketinggalan kereta, dan proyeksi tersebut tidak terwujud. Kita negara besar. Mari kita biasakan dengan mentalitas bekerja dengan orang orang dan negara negara besar. Berhentilah sinis atau curiga berlebihan dengan menyebut nyebut asing atau aseng. China adalah realitas baru di bidang ekonomi, teknologi dan peradaban. Kita perlu bekerja sama dengannya. Tentu dengan cerdas. Ada take and give. Bukankah menuntut ilmu sampai ke negeri China itu termasuk anjuran yang pernah diriwayatkan orang berilmu ?.
ADVERTISEMENT
Pasca pandemik coronavirus ini, kemitraan strategis perlu kita revisit dan pertegas kembali. Termasuk di Natuna.
Salam sehat Indonesia
Jakarta, April 2020
Penulis : Mahasiswa Doktoral Universitas Pertahanan – Alumni Lemhannas RI, Aktif di Komunitas Energi Global