Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Koeksistensi Energi Fosil dan EBT Pasca Covid 19
23 Mei 2020 10:18 WIB
Tulisan dari Sampe Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Koeksistensi Energi Fosil dan Energi Terbarukan di Era New Normal
ADVERTISEMENT
By : Sampe L. Purba
Harga minyak saat ini berada di kisaran USD 25 per barel. Harga ini jatuh 50% dari Januari 2020 yang dipicu oleh oleh dua hal. Pertama persaingan produksi Negara OPEC dan OPEC plus, dengan aktor utama Arab Saudi dan Rusia. Kedua adalah dampak CoVid 19, yang meruntuhkan semua asumsi dan proyeksi pertumbuhan ekonomi, permintaan petrokimia maupun bahan bakar untuk transportasi dan pabrik pabrik.
Banyak pengamat, akademisi dan politisi pengusaha melihat hal ini sebagai momentum percepatan transisi energi ke energi baru terbarukan (EBT). Mereka mendorong Pemerintah agar memberi insentif baik fiskal, non fiskal maupun relaksasi regulasi di EBT. Hal ini didasari premis bahwa tidak berkembangnya sektor EBT selama ini adalah karena faktanya harga listrik per KwH dari EBT secara agregat rata rata lebih mahal dibanding energi primer fosil (utamanya gas dan batubara).
ADVERTISEMENT
Pandangan para pembela energi baru terbarukan ada benarnya apabila terpenuhi keadaan berikut. Utamanya adalah telah tersedia pembangkit berbasis energi terbarukan yang tersambung (on grid) dengan jaringan kelistrikan, pasar konsumen yang luas seperti mobil listrik, dan elastisitas yang tinggi untuk konsumsi umum mensubstitusi bahan bakar minyak dan gas ke energi final berbasis listrik, serta tidak ada masalah dengan daya beli masyarakat.
Untuk Indonesia, situasinya adalah berkebalikan. Melemahnya harga minyak di pasar dunia tidak serta merta merupakan berkah, yang sekaligus momentum untuk meningkatkan energi baru terbarukan dalam bauran energi.
Berikut akan diberikan penjelasan singkat.
Jatuhnya harga minyak mengakibatkan menurunnya aktivitas di sektor hulu. Perusahaan perusahaan migas dunia memangkas belanja modal hingga 40%. Kegiatan lebih diprioritaskan untuk mengoptimalkan pengurasan cadangan dan produksi dari lapangan eksisting. Sambil menunggu perbaikan harga – yang diprediksi kembali dalam 3 tahunan ke depan, saat ini fokus utama adalah pemeliharaan dan perawatan sumur. Outlook Perekonomian Indonesia 2020 - 2021 yang dikeluarkan Kementerian Keuangan mengkonfirmasi hal tersebut. Harga minyak mentah berada pada kisaran $30 - $ 50 per barel, dengan liftings minyak di kisaran 700.000 barel per hari. PerPres 54 tahun 2020 memangkas target penerimaan hulu migas berkurang hingga 48%.
ADVERTISEMENT
Di sektor hilir migas (BBM dan LPG) juga seperti itu. PT Pertamina Persero adalah market leader yang diandalkan Pemerintah untuk menyediakan sekitar 95% BBM dan LPG untuk masyarakat, mulai dari kota hingga ke pedalaman daerah tertinggal terpencil. Kilang minyak domestik adalah kilang kilang tua. Sebagian berasal dari zaman kolonial. Memiliki keterbatasan kapasitas, operasional dan efisiensi (yield dan Nelson Complexity Index).
Walaupun demikian, Pemerintah menugaskan Pertamina untuk mengutamakan penyerapan minyak mentah produksi dalam negeri. Harga (ICP)nya sebagian relatif lebih mahal dibanding minyak sejenis di pasar dunia. Kebijakan ini ditempuh dengan pertimbangan yang lebih makro, seperti untuk lebih bergairahnya sektor penyediaan barang dan jasa domestik maupun penerimaan fiskal.
Pemerintah dan Pertamina juga tidak serta merta dapat memanfaatkan produk BBM atau minyak mentah yang relatif rendah. Indonesia belum memiliki strategic petroleum reserves. Kapasitas tangki timbun sangat terbatas. Turunnya omzet penjualan BBM hingga 30%, makin menambah beban. Di sisi lain, sistem hukum, regulasi dan institusi yang ada belum memberi reliabilitas bagi korporasi negara untuk memanfaatkan pasar option atau derivatif di WTI misalnya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan Energi Baru Terbarukan.
Pada tahun 2005 porsi EBT dalam bauran energi telah mencapai sekitar 5%. Mayoritas adalah pembangkit listrik tenaga air warisan zaman Bung Karno dan Orde Baru. Bendungan Jatiluhur, Sigura gura atau Waduk Kedungombo misalnya. Berdasarkan PerPres 5 tahun 2006, target energi baru dan energi terbarukan dalam bauran energi primer dipatok 17% untuk dicapai pada tahun 2025.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014, targetnya direvisi menjadi 23%, dan menjadi 31% pada tahun 2050, walau tidak ada pencapaian yang signifikan. Barangkali ini ada kaitannya dengan komitmen Pemerintah kepada masyarakat dunia untuk pembangunan berkelanjutan (sustainable development goal SDG), yang diantaranya mengurangi emisi CO2 demi menjaga iklim. Di bawah payung SDG, International Energy Agency dengan transition energy adalah memusuhi dan menghentikan energi fosil hingga nol persen pada tahun 2050.
ADVERTISEMENT
Hingga awal tahun 2020 porsi EBT dalam sistem pembangkit kelistrikan Indonesia belum sampai 10%.
Secara objektif penyebab hal tersebut utamanya adalah karena faktor harga. Kelistrikan adalah penyerap utama energi primer dari EBT. Secara agregat listrik per KwH dari EBT harganya di atas dua kali lipat dari listrik yang dihasilkan oleh energi fosil seperti batu bara dan gas. Negara negara maju mendesak agar externalities cost (biaya eksternal) seperti kerusakan lingkungan akibat emisi CO2 dari energi fosil dibebankan sebagai cost tambahan ke produsen energi fosil. Sebaliknya agar listrik yang dihasilkan EBT disubsidi.
Untuk Indonesia, memusuhi energi fosil bukan pandangan yang bijak, dengan beberapa alasan objektif berikut :
Pertama, keunggulan kompetitif Indonesia adalah pada energi primer berbasis fossil, bukan pada EBT. Indonesia bersama dengan China, India, Australia dan Amerika Serikat adalah lima besar penghasil utama batu bara di dunia. Negara negara ini tidak terlalu peduli dengan alasan proteksi iklim yang diributkan negara negara Eropa. China dan India adalah importir terbesar batu bara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Batu bara tidak saja merupakan sumber energi primer murah bagi kelistrikan kita. Batubara adalah salah satu andalan modal pembangunan. Penggerak ekonomi, menyerap tenaga kerja dan penerimaan negara dan penghasil devisa bagi daerah maupun nasional. Sekitar 60 % pembangkit listrik terpasang di Indonesia saat ini adalah menggunakan batubara, kemudian disusul pembangkit gas sekitar 25%.
Kedua, sistem kelistrikan di Indonesia belum sepenuhnya terkoneksi (on grid) dengan sumber energi primer berbasis EBT. Pembangkit listrik berbasis hydro (PLTA) bersama dengan batu bara lebih banyak ditujukan untuk penggunaan sendiri di industri smelter. Adapun listrik yang dihasilkan oleh panas bumi (geo thermal) atau biomassa, hanya akan ekonomis apabila disubsidi Pemerintah dengan fit-in tarif atau harga patokan dan volume untuk diserap PT PLN berdasarkan penugasan. Penugasan yang tidak didasarkan pada urgensi kebutuhan dan harga keekonomian akan memberatkan PLN sebagai korporasi satu satunya Badan Usaha Kelistrikan terintergrasi di Indonesia. Pada akhirnya apabila dipaksakan demi pertumbuhan EBT, beban kemahalan tersebut akan ditanggung masyarakat banyak baik melalui kenaikan tarif listrik PT PLN atau subsidi listrik melalui APBN.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pertumbuhan permintaan listrik memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam masa post covid, PT PLN pun sedang berjuang keras untuk dapat survive, dengan mengkerutnya perekonomian dan aktivitas masyarakat. Tidak bijaksana menambah beban PT PLN saat ini yang sedang berjuang untuk tetap eksis dan sehat.
Namun demikian, Pemerintah tetap komit untuk memajukan energi baru terbarukan. Pasca covid – di zaman new normal ini - strategi kebijakan energi baru terbarukan adalah dengan melakukan restrukturisasi dan refocussing program. EBT dikembangkan bersamaan dengan pengembangan ekonomi daerah daerah via pendekatan klaster seperti proyek listrik tenaga surya yang dapat hybrid dengan bio massa yang diintegrasikan dengan klaster ekonomi maritim daerah yang off grid. Walau skala kecil 5 – 10 MW, namun kalau jumlah dan persebarannya banyak, itu akan lebih bermanfaat bagi daerah dan masyarakat. Dalam hal ini Pemerintah telah berada pada jalur yang tepat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Pemerintah juga berusaha meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alam. Batubara dan gas misalnya. Hilirisasi untuk pada akhirnya menghasilkan methanol, DME atau Amonia tetap merupakan fokus dari penelitian pengembangan, pilot project, hingga skala ekonomis komersial.
Dalam politik energi dikenal energy trilemma, yakni mencari keseimbangan optimum antara ketersediaan dan akses, harga yang terjangkau (affordability) dan dampaknya ke lingkungan (sustainability). Kedaulatan Energi adalah kemauan dan kemampuan Pemerintah untuk menentukan sendiri kebijakan apa yang terbaik untuk negara dan masyarakatnya. Untuk kasus Indonesia, koeksistensi energi berbasis fosil dan energi terbarukan adalah keniscayaan, dengan tetap mempertimbangkan urgensi dan kebutuhan yang diasses secara komprehensif.
Kecenderungan Negara negara Eropa belakangan ini adalah mempersulit dan menutup akses pasar dan pendanaan kepada Negara negara yang dianggap tidak koperatif dalam mendukung transisi energi. Di bidang pengembangan EBT, beberapa sponsor konsorsium multinasional yang mau memberi dukungan dana, mempersyaratkan diberi akses sepenuhnya terhadap kapasitas pabrik, baik teknologi maupun outputnya. Sebuah jebakan konspirasi kemunafikan.
ADVERTISEMENT
L’historie se repete, sejarah berulang. Pada awal industrialisasi abad ke 18 negara negara Barat mengeksploitasi batu bara sebagai mesin penggerak ekonomi. Selain membawa keunggulan ekonomi, eksploitasi tersebut meninggalkan jejak kerusakan lingkungan. Saat ini Negara negara berkembang tidak punya banyak pilihan untuk meningkatkan ekonomi, memberi lapangan kerja sekaligus menjaga lingkungan. Nilai tukar produk ekonominya tidak seunggul produksi barang dan jasa dari negara negara maju.
Indonesia adalah salah satu paru paru dunia yang memiliki hutan tropis penyumbang O2 secara signifikan. Di sisi lain, Negara negara maju mengkonsumsi banyak energi, menghasilkan barang barang industri yang menghasilkan limbah emisi CO2. Oksigen yang kita hirup atau karbon dioksida limbah industri, dihasilkan dan digunakan di bumi yang sama. Karena itu, adalah penting negara negara maju membantu negara negara berkembang dalam semangat kerja sama, baik dalam bentuk bantuan paket ekonomi, kemudahan akses pasar, akses pembiayaan murah maupun capacity building. Sesuai dengan prinsip SDG, saatnya warga dunia bekerja sama dalam semangat kemitraan. Menekan negara negara berkembang untuk mencapai target transisi energi global at any cost, adalah out of context dan tidak realistis.
ADVERTISEMENT
Jakarta, Mei 2020