Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Krakatau, Bijak Berhikmat dengan Alam
4 Januari 2019 21:56 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
Tulisan dari Sampe Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Erupsi Gunung Anak Krakatau. (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1546401381/sdogv2oa6mpeg3eagjqe.jpg)
ADVERTISEMENT
Dalam salah satu babad kuno, pisahnya Sumatera dari Jawa dikisahkan akibat letusan gunung Purba Krakatau pada abad keempat. Letusan yang sedemikian hebat hingga sang gunung induk sendiri sirna meninggalkan tiga anak yang dikenal dengan pulau Panjang, Rakata, dan Pulau Sertung.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan lava yang aktif di Kaldera Rakata membentuk dua pulau vulkanik yang akhirnya menyatu dengan Rakata dan dikenal dengan pulau Krakatau. Letusan dahsyat yang terjadi berikutnya pada tahun 1883 (hampir bersamaan waktunya dengan meletusnya perang Sisingamangaraja di tanah Batak) menelan korban nyawa hampir 40 ribu jiwa. Suatu jumlah yang sangat besar dibandingkan dengan populasi pada saat itu.
Letusan Krakatau bahkan merambat dan membangkitkan tsunami hingga ke pantai Hawaii dan Semenanjung Arab yang berjarak 7.000 kilometer. Krakatau modern ini sirna, menyisakan anak yang dikenal sebagai Gunung Anak Krakatau. (Kalau diakui silsilah Purba tersebut, ini sesungguhnya sudah generasi cucu lho).
Di tahun 2018 ini, sang Anak Krakatau batuk-batuk lagi. Terhitung alot sejak Juli yang lalu. Muntahan lava vulkanik -bahasa anak sekolahannya disebut erupsi -yang sedemikian hebat menggelegar tidak kurang dari 236 letusan, mengguncang tubuhnya hingga sebagian longsor/maturtur tergerus ke laut.
ADVERTISEMENT
Walau tidak cukup kuat untuk menimbulkan kegempaan besar, akumulasi tumpukan massa material lahar menyeret tubuh gunung ambrol ke dasar laut, mendesak air bergelombang tidak normal hingga diduga menjadi pemicu tsunami. Sama seperti moyang dan ibunya, letusan sang Anak Krakatau kemarin menghabisi tubuhnya sendiri.
Sang anak yang tadinya memiliki ketinggian 338 meter dari permukaan laut, kini tinggal 110 meter. Lobang kawah sudah hampir sejajar dengan permukaan air. Letusannya pun tidak lagi menggelegar, tetapi serak-serak basah karena bercampur air. Istilah keilmuannya letusan surtseyan.
Tsunami ini memakan korban, ke arah pantai Lampung Raja Basa, dan Sekitar Carita di pantai Banten. Lebih dari 400 orang meninggal, hampir 200 orang hilang. Demikian juga bangunan, fasilitas umum, pengungsi, dan sumber penghidupan rakyat setempat. Pemerintah tanggap. Seluruh kekuatan dimobilisasi, baik dari Pemerintah setempat, aparat keamanan, BMKG, Intansi terkait dan BNPB.
ADVERTISEMENT
Emergency Response Team (ERT) Siaga Bencana Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera mengirim Tim mulai hari pertama, berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan kepolisian setempat. Mitra Kontraktor Minerba yang dekat dengan lokasi bencana dimobilisasi. Alat-alat berat seperti excavator, wheel loader, grader, dan dump truck dikerahkan. Tim Pemulihan trauma pengungsi juga bekerja. Semangat gotong royong dan kepedulian sosial antar instansi terlihat cair dalam suasana duka ini.
![Menteri ESDM Ignasius Jonan meninjau Pos Pengamatan Gunung Api Pasauran Serang Banten. (Foto: Sampe L. Purba)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1546613271/e0cluftody1pquc9ar5i.jpg)
Menteri ESDM Ignasius Jonan, yang turun meninjau Pos Pengamatan Gunung Api Pasauran Serang Banten, menyingsingkan lengan baju menerabas sekat-sekat birokrasi. Mengoptimalkan fleksibilitas dan jaringan hubungan baik, Pak Jonan meminta memasang penguat sinyal alat komunikasi yang memang vital di pos pengamatan.
Pihak Telkom langsung merespons dan pasang hari itu juga. Seorang Bupati meminta agar jaringan listrik dipasang di pos pengungsian tambahan. Pak Menteri segera merespons dan menggerakkan timnya mengecek sekaligus memasang. Suara Ibu Bupati yang sebelumnya syahdu sendu di ujung telpon langsung berubah jadi merdu atas tanggapan cepat dan konkret Pak Menteri.
ADVERTISEMENT
Bencana alam selalu menyisakan duka dan luka. Tetapi kitalah yang harus berhikmat menyesuaikan dengan alam. Sebagai tuan rumah untuk 127 Gunung Api aktif, kita yang hidup di kawasan ring of fire Indonesia harus dapat menyesuaikan dengan alam. Kitalah yang harus punya kebijakan dan implementasi yang konsisten terkait dengan prediksi, antisipasi, mitigasi, dan mencarikan solusi. Ego sektoral dan kedaerahan harus disingkirkan.
Dalam pengamatan kami sepanjang jalur pantai Anyer–Carita –Tanjung Lesung, rumah-rumah penduduk, resort, dan fasilitas sosial berdiri hingga ke bibir pantai. Hampir tidak ada pembatas seperti hutan bakau, atau breakwater dam misalnya.
Ke mana jalur evakuasi kalau ada tsunami. Di pantai yang tidak rawan tsunami saja seperti di Hawai pasti ada petugas penjaga pantai, atau bay watch. Kehadiran mereka memberi kenyamanan, sekaligus memanjakan mata. Promosi pariwisata yang efektif harus juga memperkuat faktor keamanan, kenyamanan di samping eksotisme alam.
ADVERTISEMENT
Pengaturan tata ruang harus disiplin. Kita sebetulnya sudah punya peta zonasi bahaya tsunami. Karya-karya ilmiah terkait ancaman megathrust, likuifaksi, dan sebagainya patut menjadi acuan. Tidak boleh ada kompromi. Kehilangan nyawa, harta, infrastruktur karena kurang berdamai dengan ekosistem adalah kekeliruan besar. Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Manusialah yang harus menyesuaikan dengan alam. Alam telah ada sebelum manusia hadir.
![Menteri ESDM Ignasius Jonan meninjau Pos Pengamatan Gunung Api Pasauran Serang Banten. (Foto: Sampe L. Purba)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1546613271/x5g9e9w5bjoaglvmovuk.jpg)
Saat-saat begini, saya jadi teringat Bung Karno, sang Arsitek besar, yang dulu meminta kajian ibu kota agar dipindahkan ke Palangkaraya. Zona yang relatif bebas dari goncangan gempa, sekaligus menjadi titik tengah Indonesia secara geografis dan sosio politis.
Anda yang pernah ke Palangkaraya, kota yang didesain sebagai ibu kota di bumi pahlawan Tjilik Riwut itu, pasti bisa merasakan sentuhannya. Jalan-jalan besar, ruang publik tersedia dan seterusnya. Beberapa waktu yang lalu Presiden Jokowi pernah menyinggung kemungkinan kajian pemindahan ibu kota tersebut.
ADVERTISEMENT
Gunung api besar yang meletus di Indonesia dampaknya mengubah ukiran jejak peradaban dunia. Letusan ketiga Gunung Tambora di tahun 1815 membawa debu hingga ke pinggiran utara Eropah. Panen gagal di beberapa daerah Inggeris, yang memaksa para tuan tanah menjadi pengemis.
Pasukan Napoleon Bonaparte yang sedang ekspansi ke Rusia digilas habis musim dingin yang datang lebih awal. Musim dingin vulkanik mengurangi suhu di seluruh dunia rata-rata di atas 1 derajat celsius selama 5 tahun. Letusan Gunung Toba 75.000 tahun lalu lebih dahsyat lagi. Terbentuk pulau Samosir dari tengah kalderanya. Serpihan debu vulkaniknya yang terlontar hingga ke perkampungan manusia purba di Afrika Selatan mempengaruhi pola makan dan bertahan hidup mereka, karena banyak pohon dan binatang terdampak.
ADVERTISEMENT
Tuhan telah mengaruniakan alam kepada kita. Zamrud Khatulistiwa, yang berhias mahkota gunung api. Rawat dan hiduplah dalam harmoni dengannya. Itulah salah satu wujud hormat dan patuh kita pada Sang Khalik. Hormat pada-Nya adalah permulaan segala hikmat. Berjalan dalam hikmat-Nya, kita akan menikmati nikmat-nya. Nikmat yang tak kunjung padam. Kita ingin dikenal dunia, bukan sebagai negara penuh gunung api yang mengancam, tetapi alam yang eksotis hangat. Sehangat senyum neng geulis di dataran tinggi yang sepoi-sepoi.
Jakarta, awal Januari 2019
Penulis – Traveller in duty