news-card-video
20 Ramadhan 1446 HKamis, 20 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Swasembada Pangan Keluarga: Hulunisasi - Hilirisasi

20 Maret 2025 11:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sampe Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ing ngarep ora ngisin-ngisinin, ing mburi ora ngasorake
Siantan Sidabuan, Siboto Partaonan
ADVERTISEMENT
Oleh: Sampe Purba
PENDAHULUAN
Konsep swasembada semakin populer dalam wacana nasional, terutama dengan visi astacita Presiden Prabowo yang menekankan swasembada pangan dan hilirisasi ekonomi. Namun, swasembada tidak hanya relevan di tingkat nasional, tetapi juga dalam unit terkecil: keluarga.
KELUARGA
Keluarga adalah organisasi fundamental yang membentuk negara. Seperti halnya ekonomi nasional yang dianalisis menggunakan formula Keynes (Y = C + I + G + (X - M)), keuangan keluarga pun dapat dikelola dengan prinsip yang serupa.
Pendapatan bulanan keluarga (Yk) dapat dirumuskan sebagai Yk= Sk+Ik+(Ip-Up)
Di mana:
Sk= Tabungan keluarga
Ik= Investasi keluarga
Ip= Pendapatan pasif
Up= Utang atau pinjaman
Keuangan keluarga yang sehat dicapai ketika pendapatan lebih besar dari konsumsi keluarga (Ck), atau: Sk+Ik+(Ip-Up)>Ck
ADVERTISEMENT
Jika konsumsi lebih besar dari pendapatan, misalkan tidak ada lagi sumber baru, katakanlah telah purnatugas, maka evaluasi harus dilakukan baik dari sisi peningkatan pendapatan (Hulunisasi) maupun pengelolaan pengeluaran (Hilirisasi).
HULUNISASI: Meningkatkan Kapasitas Ekonomi Keluarga
Hulunisasi mengacu pada upaya meningkatkan pendapatan keluarga, baik melalui pekerjaan baru yang lebih menguntungkan, peningkatan keterampilan, atau diversifikasi sumber pendapatan. Dalam ekonomi keluarga, seseorang harus mampu membaca peluang, baik dalam sektor formal maupun informal.
Apabila anda tidak lagi memiliki pekerjaan tetap, tetapi selama ini telah ada simpanan anda yang mungkin terbatas sebagai pasif income, sebutlah seperti konstanta [Sk+Ik], maka terhadap persamaan identitas di atas, harus ditambahkan faktor U, yaitu Uang. Anda harus mencari sumber tambahan penghasilan, sehingga menjadi:
ADVERTISEMENT
Uk+Sk+Ik+(Ip-Up)>Ck
Jika tambahan penghasilan sulit diperoleh, maka langkah selanjutnya adalah optimalisasi sumber daya yang ada, misalnya dengan memanfaatkan aset produktif seperti tanah untuk tanaman konsumsi atau memulai usaha kecil berbasis keterampilan yang dimiliki.
HILIRISASI: Manajemen Pengeluaran yang Bijak
Jika peningkatan penghasilan tidak memungkinkan, maka keluarga harus fokus pada efisiensi pengeluaran. Hilirisasi dalam konteks keluarga berarti menyusun prioritas belanja, memastikan bahwa investasi dan tabungan tidak dikorbankan demi konsumsi yang tidak esensial. Dengan kata lain, keuangan keluarga harus mengikuti prinsip:
Sk+Ik>Ck+(Up-Ip)
Keputusan konsumsi harus berorientasi pada jangka panjang. Pengeluaran yang tidak produktif harus dikendalikan, sementara kebutuhan pokok dan investasi masa depan harus menjadi prioritas utama. Ada BEYOND prioritas, yakni skala prioritas.
Mentalitas Raja vs. Mentalitas Orang Upahan
ADVERTISEMENT
Dalam dunia bisnis, kesalahan dalam prinsip menyeimbangkan penghasilan dengan pengeluaran sering terlihat ketika perusahaan menjual aset produktif atau merekayasa laporan keuangan hanya demi menutupi kelemahan jangka pendek. Juga demi menjaga bottomline KPI sebagai justifikasi untuk dapat bonus, tantiem dan sejenisnya. Ini adalah strategi yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi. Dalam filsafat kehidupan model seperti ini disebut secara Ontologis ber DNA culas, secara epistemologis mentalitas curang, dan secara aksiologis perilaku bobrok.
Seseorang dengan mentalitas raja atau entrepreneur memahami bagaimana mengelola sumber daya untuk mencapai kemandirian finansial. Sebaliknya, mereka yang hanya berpikir sebagai pekerja atau yang nyaman dengan penghasilan bulanan cenderung terjebak dalam siklus konsumsi tanpa perencanaan, sering kali mengandalkan utang untuk memenuhi gaya hidup.
ADVERTISEMENT
Mentalitas swasembada tidak berarti menolak pekerjaan formal, tetapi lebih pada bagaimana seseorang mengoptimalkan pendapatan dan menghindari pola hidup konsumtif yang berisiko keuangan.
Kearifan Lokal dalam Manajemen Keuangan
Dalam tradisi Jawa, terdapat konsep Ing Ngarep Ora Ngisin-Ngisini, Ing Mburi Ora Ngasorake, yang berarti seseorang harus menjaga martabat di depan publik, serta apabila di belakang (dapur) pun dapat memanage logistik rumah tangganya dengan baik. Ini yang secara epistemologis disebut seorang Filosof dengan istilah "CAKAP". Ini relevan dalam pengelolaan ekonomi keluarga: tetap mandiri tanpa berlebihan dan tetap rendah hati tanpa mengorbankan masa depan.
Sementara itu, dalam budaya Batak dikenal konsep Siantan Sidabuan, Siboto Partaonan, yang menekankan keseimbangan antara menimbang kebutuhan (mangantan) dan antisipasi terhadap masa depan (partaonan). sang Filsuf menamai sikap aksiologis yang demikian dengan isitilah "SORIPADA". Prinsip ini mengajarkan bahwa seseorang harus memiliki strategi jangka panjang dalam mengelola sumber daya, dengan tetap secara terukur proporsional menjaga ritme keseharian keluarga.
ADVERTISEMENT
Hulunisasi dan Hilirisasi sebagai Pilar Swasembada Keluarga
Transformasi sumber daya yang terbatas harus dapat diutilisasi secara optimal dalam menjaga value (nilai).
Kunci swasembada keluarga adalah keseimbangan antara peningkatan pendapatan (Hulunisasi) dan pengelolaan pengeluaran (Hilirisasi). Dengan strategi ini, keluarga dapat menghindari jebakan utang konsumtif dan membangun ketahanan ekonomi yang berkelanjutan.
Lebih jauh, kemandirian finansial keluarga juga berdampak pada ketahanan ekonomi nasional. Ketika unit terkecil dalam masyarakat mampu berdiri secara ekonomi, maka stabilitas ekonomi negara pun lebih terjaga.
Inspirasi dari Filsuf dan Ajaran Klasik
Filsuf yang saya kutip di atas mengutip gambaran tentang seorang ibu yang bijak:
“Ia senang bekerja dengan tangannya, seperti kapal-kapal saudagar yang dari jauh mendatangkan makanan. Ia bangun lebih awal, lalu menyediakan makanan untuk seisi rumahnya, serta membagi tugas kepada anggota keluarga termasuk pelayannya dengan bijak. Ia juga menjaga tampilan dan perilakunya”
ADVERTISEMENT
Sang Filsuf menulis ajarannya tersebut di Proverb 31 tentang SORIPADA yang CAKAP, yang menggambarkan pentingnya perencanaan, kerja keras, distribusi sumber daya dengan bijak serta penampilan yang menghadirkan sukacita dan kebanggaan.
Dalam konteks modern, prinsip ini dapat diterapkan dalam pengelolaan rumah tangga yang cermat, bertanggung jawab dan full of dignity (bermartabat paripurna).
Hanya mereka yang memiliki kebijaksanaan, pembawaan diri, kemampuan manajemen, dan visi jangka panjang yang layak disebut sebagai Siantan Sidabuan, Siboto Partaonan, ing ngarep ora ngisin-ngisini, ing mburi ora ngasorake —pribadi yang dihormati di depan dan di belakang layar karena kecakapannya dalam mengelola kehidupan.
KESIMPULAN
Swasembada keluarga bukan sekadar teori ekonomi, tetapi suatu kebutuhan praktis dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global, regional, nasional hingga lokal. Dengan menerapkan HULUNISASI dan HILIRISASI, setiap keluarga dapat membangun kemandirian finansial, menghindari risiko utang yang tidak produktif, dan mewujudkan kesejahteraan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Jakarta, 19 Maret 2025