Transisi Energi dan Imperialisme Gaya Baru

Konten dari Pengguna
8 Juni 2020 18:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sampe Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Revolusi Industri, Transisi Energi dan Imperialisme Gaya Baru
Oleh Sampe L. Purba
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Sejarah imperialisme Barat tidak dapat dipisahkan dari Revolusi Industri. Penemuan mesin uap, listrik, transportasi kereta api lintas benua memberi lonjakan revolusioner dalam kemajuan industrialisasi di awal abad 18. Bahan baku mineral seperti bijih besi dan tembaga dieksplorasi. Hutan dibabat dan batubara ditambang habis habisan. Tambang Batubara semakin sulit dan jauh ke dalam perut bumi. Hutan hutan Eropa gundul berganti menjadi pusat pusat pemukiman baru.
Sistem industri yang semakin efisien menghasilkan produksi massal. Afrika dan Negara negara Asia yang masih terbelakang dipaksa dan dipertahankan sebagai daerah koloni. Berfungsi ganda sebagai pasar dan sumber bahan baku. Industri yang berkembang memerlukan kapital. Saudagar, Baron dan ilmuwan menjadi juragan penting. Kapitalisme – Kolonialisme - Imperialisme adalah anak kandung revolusi industri.
ADVERTISEMENT
Menjelang perang dunia pertama (antar sesama negara Eropa yang bersaing), Pimpinan Kementerian Angkatan Laut Inggris Winston Churchill (kelak menjadi Perdana Menteri pada masa perang dunia kedua) memodernisasi kapal kapal perang dan kapal niaganya menggunakan minyak sebagai pengganti batubara. Lebih efisien, bertenaga dan jangkauan jauh. Daerah jajahan di Afrika, Timur Tengah dan Asia Tenggara menjamin pasokan bahan baku dan minyak. Ilmu pengetahuan dan hukum diajarkan di daerah jajahan sekedar untuk melayani sang imperialis. Eropa menyadari bahwa satu waktu negara negara jajahan akan merdeka.
Tatanan dunia baru
Byarrr…. Perang dunia kedua meletus. Negara negara baru merdeka muncul di tahun 1950 an. Eropa pulang kampung, dan Amerika Serikat menikmati status barunya sebagai polisi dunia. Eropa dan Amerika Serikat (club pemenang perang dunia) merancang tatanan dunia baru. Ada Brettonwoods, IMF, Bank Dunia dan WTO. Keunggulan di bidang industri dijadikan sebagai senjata penyandera jangka panjang. Setiap pengguna teknologi harus membayar paten, royalti dan invensi. Semua ini adalah instrumen pengendali. Apa yang dapat diproduksi, bagaimana mendanainya, apa standar baku mutu. Berbagai konvensi, aturan hukum serta lembaga penyelesaian perkara diciptakan. Demi kepastian hukum, dominasi pasar dan kenyamanan kapitalis. Kolaborasi dan konspirasi beda beda tipis.
ADVERTISEMENT
Asia, Afrika atau Timur Tengah boleh bangga sebagai pemilik sumber daya alam dan energi yang melimpah. Tetapi ketergantungan kepada teknologi, pembiayaan dan standardisasi pasar yang diciptakan para pemenang perang, berakibat mengenaskan. Nilai tukar sumber daya alam, terkadang tidak sampai 10% dari harga produk jadi. Akibatnya, Negara negara berkembang harus mengeksploitasi sumber daya alam, entah itu hutan, tambang atau pertaniannya. Hasil penjualan yang tidak seberapa digunakan untuk membayar teknologi, financing dan jasa konsultasi yang bersumber dari negara maju. Sisanya untuk menggerakkan ekonomi dan membangun masyarakatnya.
Negara negara pemilik sumber daya alam melakukan perlawanan. Mereka sadar memiliki posisi tawar juga. Test the water. Yang paling fenomenal adalah embargo perang minyak tahun 1973 an oleh OPEC. Krisis ekonomi menerpa Eropa dan Amerika Serikat. Walau embargo ini awalnya adalah sebagai senjata politik berkaitan dengan konflik di Timur Tengah, Barat segera sadar bahwa Kartel OPEC harus dikendalikan, diimbangi atau dihabisi perannya.
ADVERTISEMENT
Eropa dan negara industri yang tergabung di OECD segera mendirikan organisasi tandingan, IEA – International Energy Agency tahun 1974. Negara penghasil minyak Non OPEC diajak sebagai mitra strategis dengan bentangan karpet merah.
Mereka aktif mengkampanyekan dan mendukung isu isu baru, sambil menuding negara negara pemilik sumber daya alam. Dianggap tidak bertanggung jawab kepada lingkungan, menstigmatisasi dan sejenisnya. Perang informasi dan propaganda berjalan asimetris. Barat tidak pernah mempersoalkan kenapa harga pemakaian teknologinya harus puluhan kali lipat dari harga sumber daya alam. Dengan pongahnya buku dengan jargon kutukan sumber daya alam dipromosikan. Sialnya para oposisi dan ilmuwan setengah genit memanfaatkannya untuk menyerang Pemerintah sendiri.
Energi baru – pembangunan berkelanjutan
ADVERTISEMENT
IEA selanjutnya bermetamorfosa dengan mengkampanyekan slogan baru, Transisi Energi. Dalam manifestonya IEA mendefinisikan transisi energi sebagai langkah sistematis dan terpadu untuk mentransformasikan (meninggalkan) sumber daya energi berbasis fosil (seperti minyak, gas dan batu bara) hingga NOL dan menggantikannya dengan energi nirkarbon pada tahun 2050. Minyak, Gas dan Batubara – yang dahulu menopang lahir dan bangkitnya industrialisasi di Barat – kini dituduh sebagai pesakitan bak penyakit kusta yang polutif mencemari iklim dan pemanasan global. Ini ibarat malin kundang yang lupa kacang akan kulitnya.
Tetiba angin, panas bumi dan gelombang laut menjadi primadona, pahlawan lingkungan – dengan nama Energi Terbarukan/ Renewable Energy. Sumber energi ini melimpah juga di Eropa. Tidak monopoli Asia, Timur Tengah dan Afrika. Ini energi mahal. Penggunaan minyak, gas dan batubara dipaksa membayar untuk mensubsidi harga energi terbarukan, dengan istilah externality cost. Kompensasi perusakan lingkungan. Bahwa karbon yang merusak lingkungan lebih banyak merupakan emisi limbah industri yang dihasilkan teknologi Barat tidak pernah disinggung singgung. Sebuah hipokrasi yang dipertontonkan dengan kasar.
ADVERTISEMENT
Kenapa harga energi terbarukan tersebut mahal?. Lagi-lagi penyebabnya adalah teknologi. Dianggap teknologi baru. Pemilik dominasi monopoli teknologi Energi Terbarukan adalah Negara Negara Eropa. Terserah dia mau dibanderol berapa harganya. Selain itu, mengingat sifatnya yang tidak transferable (dapat dikapalkan seperti minyak atau batu bara misalnya), maka agar ekonomis, harus ada konsumen industri besar di sekitar lokasi, atau jaringan infrastruktur kelistrikan yang reliabel menghubungkan ke pusat pusat industri. Energi baru ini disematkan gelar terhormat, sustainable development/ pembangunan berkelanjutan. Seolah olah kalau menggunakan energi fosil konvensional, merupakan ancaman kepada keberlanjutan pembangunan. (Jangan jangan Barat latah mengadopsi istilah dari Indonesia zaman dulu ya, Orde Baru = Orde Pembangunan)
Gambar : Perbandingan Biaya Kelistrikan per KWH dari berbagai sumber energi
ADVERTISEMENT
Sumber : IESR, 2019
Negara negara yang selama ini sistem energi primernya berbasis batu bara dan gas, dipaksa beralih ke Energi Baru. Baru baru ini , dalam Konferensi Climate Changes Madrid 2019, mereka menetapkan bahwa keran pendanaan global ditutup untuk pembangkit listrik baru tenaga uap (batubara). Bagi Negara negara yang infrastruktur jaringan kelistrikannya belum merata, letak geografis luas dan pulau pulau, atau sumber bahan baku, pusat industri dan penduduknya tidak menyatu terkluster, ini amat sangat berat. Harga Energi baru rata rata di atas 2 kali harga energi konvensional.
Sistem kelistrikan yang telah terlanjur menggunakan batu bara (seperti Indonesia, sekitar 63%, gas sekitar 24%) karena sangat kompetitif, baik dari segi harga bahan bakar, ketersediaan dan kemudahan mengangkut, menghadapi tantangan yang tidak mudah. Barat tidak peduli dengan umur teknis, ekonomis dan pertimbangan lain keberadaan pembangkit pembangkit tersebut. Pengecualian diberikan apabila peremajaan pembangkit listrik tenaga uap menggunakan teknologi terbaru (lagi lagi dari Barat), yang disebut Generator Coal Ultra Super Critical. Harganya mahal, biaya listrik per KwHnya hampir dua kali dari generator PLTU biasa.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kalau Negara negara ini dapat menggunakan pendanaan sendiri, baik dana domestik atau berkonsorsium dengan Pabrikan dari Negara lain yang tidak terlalu ketat memperdulikan ancaman Barat ?. Bisa bisa saja. Namun, Barat sudah memiliki instrumen penghambatnya. Namanya green certificate. Hanya produk produk yang dihasilkan pembangkit listrik yang green (ramah lingkungan minim karbon) yang dihalalkan boleh masuk ke pasar masyarakat Eropa.
Bagi Indonesia ini juga sebuah alarm. Produk dari kawasan industri baru mineral Indonesia yang saat ini dikembangkan seperti di daerah Sulawesi dan Kalimantan misalnya, akan kesulitan masuk ke pasar Eropa. Pembangkit listriknya masih menggunakan energi primer batubara. Murah dan tersedia melimpah. Sedangkan apabila rangkaian hasil industri tersebut hanya akan dapat masuk ke negara investor seperti China misalnya, secara geoekonomis juga memperlemah posisi tawar di kawasan.
ADVERTISEMENT
Bauran Energi di Negara negara maju
Energi Terbarukan tidak kompetitif bersaing dengan energi fosil, pada level playing field yang sama. Dalam kebijakan bauran energinya Barat menggunakan standar ganda. Mereka mendorong Negara negara lain untuk masuk ke transisi energi, sekalipun mungkin sangat mahal dan tidak kompetitif. Sementara mereka sendiri menerapkan formula bauran energi yang seimbang antara penggunaan minyak, gas, batu bara, dan nuklir, sesuai dengan kondisi struktur industrinya. Di Eropa saat ini Porsi Energi Baru tidak besar besar amat. Negara negara Barat terbantu dengan energi nuklir yang sangat efisien. Sementara bagi Negara negara berkembang, nuklir sebagai energi masih terbatas pada wacana. Selain teknologinya mahal, masyarakat juga harus perlu kultur dan peradaban dengan kesadaran safety/ keselamatan yang tidak kompromi.
ADVERTISEMENT
Berikut ini komposisi penggunaan bauran energi di berbagai kawasan.
Sumber : BP Statistical Review, 2018
Hijau = Minyak; Merah = Gas; Abu abu = Batubara; Kuning = Nuklir; biru = Hydro; coklat = Renewables Energi
Grafik di atas menunjukkan bahwa di Amerika maupun Eropa, porsi minyak, gas dan batubara sangat signifikan. Rata rata di 80 % !!! Porsi EBT sangat kecil.
Tidak semua Negara mau tunduk pada peta jalan menuju transisi energi seperti digariskan Barat. Kyoto Protocol 1997 menetapkan Negara negara industri untuk mengurangi emisi karbon dioksida. Amerika Serikat menentang. Dia keluar dari Kyoto Protocol. Amerika Serikat menghendaki bahwa tanggung jawab mengurangi emisi karbon dioksida berlaku merata untuk semua bangsa. Tunduk pada kemauan Amerika, rumusan baru ditetapkan dalam Paris Agreement 2015. Negara penghasil oksigen paru paru dunia seperti Indonesia atau Brazilia menanggung beban yang sama untuk membersihkan polusi negara negara industri.
ADVERTISEMENT
Tetapi apakah Negara negara maju itu konsekwen ? Jawabannya tidak. Amerika Serikat tetap mengembangkan shale minyak dan gas. Teknologi yang menguras hidrokarbon sebelum matang mengalir ke reservoir. Amerika Serikat, China, Jepang, India atau Pakistan tetap menggunakan batubara. Besar besaran. China dan India adalah negara importir terbesar batu bara. Australiapun dengan senang hati memasoknya. Kepada Negara negara ini, Barat atau Eropa tidak banyak rewel. Mungkin karena mereka sama sama pemilik dan penguasa teknologi nuklir. Ada efek gentar.
Prioritas kebijakan energi kita
Sebagai warga dunia, Indonesia tetap komit mendukung Paris Agreement, baik untuk pengurangan emisi karbon dioksida, maupun untuk konservasi energi. Namun sebagai bangsa, kita juga memiliki prioritas.
ADVERTISEMENT
Saat ini, di bidang energi dan kelistrikan isu besar kita adalah kemampuan daya beli (affordabilitas), ketersediaan akses dan pemerataan jaringan dan reliabilitas layanan. Masih terlalu mewah kalau kita memprioritaskan energi terbarukan. Lebih dari 27 juta sambungan listrik rumah tangga masih mengandalkan subsidi. Itu jauh lebih besar dari penduduk satu negara di Eropa Barat. Sekitar 1,5 % penduduk Indonesia (seimbang dengan penduduk Singapura), masih belum memperoleh listrik. Teknologi dan pasar energi terbarukan juga belum matang.
Di bidang pemerataan energi, secara geografis Indonesia itu unik. Sekitar 80% sistem pembangkit listrik berada di pulau Jawa. Sumber energi yang berupa batu bara dan gas dipasok dari luar Jawa. Di Sumatera, energi air dan panas bumi tersedia, tetapi jaringan, penduduk dan industri minim. Kalimantan surplus energi, terutama batu bara dan gas. Batu bara dan gas merupakan sumber ekonomi, lapangan kerja dan devisa. Di Sulawesi sedang berkembang industri smelter, tetapi jangkauan ke jaringan kelistrikan PT PLN jauh. Kalau menggunakan pembangkit sendiri tenaga batu bara, terkena green certificate dari Eropa. Nusa tenggara sangat potensial untuk pengembangan energi solar (matahari) dan panas bumi, tetapi industri pendukung, infrastruktur dan penduduk sangat terbatas. Mirip dengan Maluku dan Papua sangat luas, penduduk sedikit serta terdiri dari pulau pulau. Pembangkit listrik umumnya mengandalkan tenaga diesel. Masih banyak desa yang belum berlistrik.
ADVERTISEMENT
Gambar Denah Kluster Kelistrikan
Pemerintah kita sangat paham akan peta ini. Dalam memajukan pengembangan energi baru, Pemerintah lebih fokus mengutamakan kualitas dari pada kuantitas. Secara perlahan, pembangkit listrik tenaga diesel digantikan gas yang lebih bersih. Di kawasan sentra penduduk dan untuk mendukung ekonomi maritim di daerah terluar dan terpencil dibangun sistem pembangkit kelistrikan tenaga surya. Ini jauh lebih membumi dan berkualitas daripada mengejar persentase bauran energi sesuai harapan negara negara Barat.
Di sisi lain, permintaan kelistrikan juga sedang terpengaruh seiring dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi. Apabila mengejar persentase bauran energi yang diutamakan, itu dapat menjadi pintu masuk bagi para agen penjaja modal dan teknologi pengembang energi baru. Mendesak insentif fiskal, non fiskal dan kemudahan kemudahan lainnya adalah sebagian dari modus operandinya. Sesuatu yang sesungguhnya kurang mendesak serta kurang berdampak kepada ekonomi masyarakat kita saat ini. Waspadalah.
ADVERTISEMENT
Penutup
Sebagai bangsa besar, berdaulat dan memiliki akar sejarah yang kokoh, kita tahu apa yang terbaik, prioritas dan mendesak untuk ditangani. Di era new normal ini, Pemerintah, dunia usaha dan rakyat sedang berjuang agar ekonomi berangsur angsur pulih, dengan laju pertumbuhan positif. Fokus Keuangan dan Fiskal Pemerintah diprioritaskan untuk penanganan pandemi covid 19 yang memberikan efek domino pada aspek sosial, ekonomi dan keuangan.
Pandemi Covid 19 membawa dampak ke mana mana. Secara global aktivitas ekonomi berkontraksi, pengangguran naik, harga komoditas turun tajam, serta volatilitas sektor keuangan bergerak labil. Pertumbuhan PDB Negara negara industri merosot tajam. Sebagian bahkan negatif.
Untuk mendongkrak ekonominya, Negara negara maju ini tidak menutup kemungkinan untuk mendesakkan khotbah dan intimidasi energi terbarukan sebagai persyaratan masuknya modal, teknologi dan akses pasar. Lagu lama neo imperialisme dengan bungkus energi dan teknologi ramah lingkungan kembali diperdengarkan. Lamat lamat menghunjam tajam.
ADVERTISEMENT
Waspadalah
Jakarta, Juni 2020
Sampe L. Purba
Penulis, Profesional Energi – Alumni Lemhannas RI.