Tumpang TINDIH ZEE LAUT NATUNA UTARA : Indonesia vs Vietnam vs Malaysia vs RRC

Konten dari Pengguna
2 November 2021 5:45 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sampe Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh : Sampe Purba
Diskursus yang selama ini ditampilkan di ruang publik, adalah bahwa dalam kaitannya dengan klaim garis sembilan putus-putus, Indonesia tidak termasuk negara yang bersengketa soal kewilayahan. Tetapi benarkah demikian ?. Faktanya, jangankan dengan RRC, dengan Malaysia dan Vietnam pun Indonesia belum mencapai kesepakatan di beberapa bagian ZEE di Laut Natuna Utara. Indonesia "as a good boy" bergerak, termasuk dalam pengelolaan wilayah blok migas maupun penangkapan ikan, hanya di dalam landas kontinen yang telah disepakati dengan Vietnam dan Malaysia. Sementara kedua negara tersebut, telah mengkerjasamakan wilayah kerja migas, di ZEE yang masih belum disepakati.
ADVERTISEMENT
Malaysia dan Vietnam bereaksi keras terhadap klaim dash line RRC. Filipina juga. Selain terhadap RRC, juga memprotes klaim Malaysia dan Vietnam yang dianggap masuk ke zona Yurisdiksinya.
Titik nr 7 adalah garis landas Kontinen yang telah disepakati oleh Indonesia dengan Malaysia. Sedangkan titik nr 12 adalah garis landas kontinen yang telah disepakati Indonesia dengan Vietnam. Sisi luar garis kontinen tsb dgn ZEE belum disepakati antar ketiga negara tsb. Sumber peta Yurisdiksi NKRI
Indonesia bagaimana ? ikuti tulisan berikut :
Teater Laut Natuna Utara yang membingungkan
Oleh : Sampe L. Purba
Prolog
Laut China Selatan (LCS) atau kita menyebut bagian laut kita sebagai Laut Natuna Utara (LNU) saat ini merupakan ajang hotspot kontestasi geopolitik – geostrategis – geoekonomi berbagai major power di teater Asia Pasifik. Hal ini tidak saja membawa efek spill over (limpahan) kepada Indonesia, tetapi ada kepentingan langsung terkait kedaulatan nasional, integritas wilayah dan keselamatan warga negara. Ada bara membara yang tersimpan, yang potensial dapat meledak sesewaktu.
Area yang diarsir tsb warna biru, adalah tumpang tindih ZEE Indonesia, di dalam landas kontinen dengan klaim RRC Nine dash line. Sedangkan yang warna pink adalah tumpang tinding Indonesia dengan RRC, yang sekaligus juga dengan Vietnam dan Malaysia. Vietnam dan Malaysia menyampaikan protes ke RRC atas masuknya kapal survey RRC melewati wilayah tsb.
Sengketa kewilayahan dan aspek geoekonomis strategis
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 6 Mei 2009, Malaysia dan Vietnam memasukkan pengajuan bersama (join submission) kepada Komisi Perbatasan dan Landas Kontinen PBB mengenai perluasan landas kontinen (extended continental shelf). Berdasarkan peta yang disampaikan oleh Malaysia dan Vietnam, ZEE (zona ekonomi eksklusif) yang mereka klaim di luar batas 200 mil dari garis pangkal, mepet dengan batas garis kontinental Indonesia. Indonesia memang telah memiliki persetujuan perbatasan dengan Vietnam dan Malaysia di batas landas kontinen LCS pada bagian LNU. Tetapi terkait dengan batas ZEE, belum diperoleh kesepakatan dengan kedua negara itu. Apakah hal ini kelak akan dapat dimaknai sebagai klaim formal resmi kedua Negara yang tercatat di PBB, waktu yang akan menjawab.
ADVERTISEMENT
Terdapat berbagai ragam penyikapan atas sengketa kedaulatan, kewilayahan maupun hak berdaulat atas sumber daya alam di palagan LCS.
Republik Rakyat China (RRC) sebagai respon atas surat Vietnam dan Malaysia, berdasarkan nota nomor CML/17/2009 tanggal 7 Mei 2009, menegaskan kedaulatan yang tidak terbantahkan (indisputable sovereignty) terhadap pulau-pulau di LCS beserta perairan yang berdekatan, dan jurisdiksi serta hak berdaulat Tiongkok terhadap perairan terkait termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya. Surat tersebut dilengkapi dengan sebuah peta sembilan garis yang putus-putus, yang belakangan populer dinamai nine-dash-line. Penyampaian garis putus-putus, tidak mengurangi makna atas deklarasi klaimnya yang meliputi kedaulatan, hak berdaulat dan yurisdiksi. Di antara garis nomor tiga dan nomor empat, klaim RRC ini tumpang tindih dengan ZEE Indonesia, hampir seluas Pulau Jawa. Di dalam landas kontinen Indonesia sendiri tumpang tindih seluas lebih kurang 35.000 km2 atau kira-kira seluas Provinsi Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Filipina secara tegas menolak klaim RRC, dan juga klaim bersama Vietnam dan Malaysia dalam dua surat terpisah ke PBB. Filipina menegaskan bahwa Kepulauan Kalalayan yang diklaim oleh RRC dan juga oleh Vietnam dan Malaysia merupakan bagian integral negaranya. Filipina memiliki kedaulatan dan jurisdiksi terhadap fitur fitur geologis di gugusan kepulauan Kalalayan. Ajakan dari Malaysia dan Vietnam yang sebelumnya mengharap memasukkan klaim bersama, ditolak mentah-mentah oleh Filipina.
Pada nota terpisah, baik RRC, Vietnam dan Malaysia menyampaikan counter ke PBB atas klaim Filipina. Pesan pelajarannya adalah, bahwa apabila menyangkut dan terkait integritas wilayah, tidak perlu ada kompromi, ewuh pakewuh dan kesungkanan.
Bagaimana dengan Indonesia ? Indonesia tidak menanggapi secara langsung klaim Malaysia dan Vietnam. Tetapi merespon klaim RRC. Poin pertama dan terpenting dari respon Perutusan Tetap RI pada PBB pada tanggal 8 Juli 2010, adalah sebagai berikut (kutipan lengkap unofficial translation nomor 480/ POL-703/VII/10).
ADVERTISEMENT
“Indonesia bukan Negara pihak dalam sengketa kewilayahan di Laut China Selatan, dan dalam situasi ini, Indonesia telah berperan secara aktif dan tanpa memihak dalam rangka membangun kepercayaan di negara-negara dalam rangka membangun kepercayaan di antara negara-negara yang bersengketa, dan senantiasa berupaya untuk menciptakan suasana perdamaian melalui pelaksanaan sejumlah lokakarya mengenai Laut China Selatan sejak tahun 1990. Usaha ini pada akhirnya melapangkan jalan bagi pengesahan “Declaration on the Conduct of the Parties in the South China Sea” pada tahun 2002”. Terus terang, ini sebuah kalimat panjang yang sulit saya pahami.
Amerika Serikat, memandang klaim RRC sebagai tantangan langsung terhadap hegemoninya. Amerika paham, bahwa bagi RRC, Laut China Selatan memiliki dimensi fungsi strategis kemaritiman untuk konektivitas pelabuhan, logistik, perdagangan maupun armada kemiliteran, yang menghubungkan Laut China Selatan dengan India Ocean Region dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI) untuk mengembalikan kejayaan jaman jalan sutra abad pertengahan. Atas nama konsep FONOPS (Freedom of Navigation Operations), beberapa Negara di kawasan yang secara militer dan ekonomi kuat diajak Amerika Serikat keroyokan bergabung. Amerika Serikat bersama Australia, Jepang, dan India, membentuk QUAD. Bahasa resminya forum aliansi strategis non militer. Ketiga negara itu sesungguhnya setengah hati karena memiliki hubungan ekonomi yang penting dengan RRC.
ADVERTISEMENT
Kemudian Amerika Serikat datang dengan pendekatan baru. Pendekatan militer terang-terangan. Bersama Australia dan Inggeris, ketiga Negara ini pada tanggal 15 September 2021 membentuk pakta keamanan trilateral yang disebut AUKUS. Isinya antara lain mencakup pengembangan dan pengerahan kapal-kapal selam bertenaga nuklir, selain mengerahkan militer Barat di kawasan Indo Pasifik, sesuai kepentingannya.
Jangan sebut dia RRC, kalau kalah dengan gertakan seperti itu. RRC jalan terus. Beberapa pangkalan militer di LCS dibangun dan diperkuat. Kapal Survey, kapal pengawal pantai (coast guard) dan kapal perang hilir mudik, serta mewajibkan kapal dan siapapun yang melintas di LCS untuk melaporkan posisinya. RRC – tidak saja mendasarkan klaimnya berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB UNCLOS 1982, tetapi juga berdasarkan hak hak historis tradisional yang diakui pada zaman sebelum UNCLOS. Amerika Serikat tidak mengakui UNCLOS. UNCLOS dianggap merupakan kerangkeng kecil yang membatasi kebebasannya sebagai polisi centeng kelautan dalam menegakkan tatanan keadilan global.
ADVERTISEMENT
Di bidang ekonomi tekanan berlanjut. Impor batubara dari Australia ditangguhkan. Australia kelimpungan. Akibatnya, harga batubara dunia sempat membubung hingga hampir tiga kali lipat, menyentuh angka $270 per ton. Eksportir Batubara Indonesia menangguk rejeki.
Epilog
Beberapa waktu yang lalu, beberapa media nasional seperti Kompas, Sindonews dan Pikiran Rakyat, melaporkan bahwa kapal survey China, Hayang Dizhi Shihao 10, leluasa berbilang bulan beroperasi melakukan survey dengan kerapatan tinggi di Laut Natuna Utara, di kawasan di antara beberapa blok migas Indonesia, di daerah landas kontinen Indonesia di sekitar Natuna D Alpha yang kaya sumber daya alam migas (Kompas, 6 Oktober 2021). Selain di dalam landas kontinen, kapal kapal RRC juga beroperasi di luar tetapi masih termasuk dalam ZEE Indonesia, yang klaimnya tumpang tindih dengan Malaysia dan Vietnam, sebagaimana diungkapkan di atas.
ADVERTISEMENT
Beda Negara, beda reaksi. Malaysia tegas, menyampaikan protes dan memanggil Duta Besar China menghadap ke Kuala Lumpur. Vietnam lebih maju lagi. Di wilayah yang tumpang tindih di ujung utara landas kontinen Indonesia, beberapa blok migas sudah dan sedang dikerjasamakan, termasuk membangun jalur pipa gas NCSP (Nam Con Son Gas Pipeline) yang menghubungkan kawasan Natuna Utara dengan daratan Vietnam, sejak 20 tahun yang lalu. NCSP merupakan jalur transmisi pipa gas sepanjang lebih dari 325 km yang merupakan kerja sama Perusahaan Vietnam (Petrovietnam Gas), Perusahaan konsorsium Eropa (Perenco), dan Perusahaan Rusia (Rosneft) Keberadaan dua mitra raksasa ini, tentu memberikan pesan tersendiri kepada RRC dan Amerika Serikat untuk tidak mengganggu kepentingan ekonominya.
Indonesia, menghormati dan konsisten dengan penyepakatan garis landas kontinen dengan Vietnam dan Malaysia. Di sisi lain, Malaysia dan Vietnam, di luar garis landas kontinen tsb, telah memetakan dan mengusahakan sebagai wilayah kerja migas, sementara belum ada kesepakatan mengenai garis ZEE di beberapa titik, sebagaimana terlihat dalam titik nr 7 dan nr 12 di atas
Indonesia ? Sepanjang pembacaan saya di media nasional, tidak terdapat reaksi yang demikian. Demi menjaga hubungan baik, diplomasi sopan santun bertetangga, atau memang tidak merasa ada kepentingan yang disengketakan, sebagaimana dalam statemen resmi Pemerintah ke PBB dalam nota yang dikutip di ataskah ? Biarlah yang berwenang yang menjelaskannya.
ADVERTISEMENT
Artikel ini telah terbit di Koran Sindo, tgl 1 November 2021