Konten dari Pengguna

Bagi Rizal Ramli Semuanya Soal Menang dan Kalah

Gerry Nadeak
menulis untuk kebebasan berfikir
16 Februari 2018 1:30 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gerry Nadeak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lewat kritik Rizal Ramli menjaga vitalitas usianya. Dia sesungguhnya tidak muda lagi. 63 tahun bukan usia tanpa syarat. Dalam setiap kata terkandung mimpi yang ingin dibangun lewat simpati banyak orang.
ADVERTISEMENT
Jelang renta menggerogoti usia dia ingin menjaga asa. Memenuhi nujum-nujum yang dipercaya bahwa dia layak untuk memimpin bangsa. Ya, seperti kebanyakan elit di negeri, dia cukup percaya diri untuk menunaikan tugas suci.
Rizal adalah seorang oposan yang tidak segan dengan kekuasaan. Bertahun dia berseberangan dengan pemerintah. Berbulan-bulan dia pernah coba posisi sebagai pejabat negara, paling lama lima belas bulan.
Coba bayangkan, lima belas bulan untuk menunaikan tugas suci sebagaimana kritik diobral sana sini. Cukupkah waktu yang didapatnya. Kenapa sangat sulit baginya berbakti untuk negeri dalam tempo waktu yang lebih lama lagi?
Ada sikap benar sendiri dalam diri Rizal Ramli. Sebagai oposisi itulah modal paling hakiki. Tetapi sebagai pejabat negara Rizal Ramli gagal mengikisnya. Itu sebabnya dia hanya 15 bulan sebagai kepala Bulog. 9 bulan jadi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan. 2 bulan jadi Menteri Keuangan.
ADVERTISEMENT
Serta belum lama ini , hanya bertahan 10 bulan sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman. Jika tugas tidak pernah diselesaikan, bagaimana tanggung jawab bisa dipenuhi sebagai pejabat negara?
Ada yang mengatakan, Rizal Ramli terlalu berani bersuara sehingga membuat gerah penguasa. Ada pula yang mengatakan Rizal Ramli terlalu boros bicara di media sementara dia seharusnya bisa menyelesaikan secara diplomatis di level pemerintah.
Tetapi sesungguhnya penyebab utama dari pengabdian yang prematur itu adalah sikap terburu-buru Rizal Ramli yang seringkali gagal meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dia ingin membakar tikus sementara semua orang berada di dalam lumbung.
Sikap benar sendiri membuat Rizal Ramli terlalu mudah menghakimi. Sebagai ekonom dia terlalu percaya diri dengan angka-angka yang diolahnya sendiri. Sebagai politisi dia terlalu fatalis melihat segala sesuatunya, toh dia tidak sedang mempertaruhkan apa-apa.
ADVERTISEMENT
Sebagai pembantu presiden, selama beberapa waktu, dia suka menari di atas gendang sendiri tanpa peduli irama yang tengah berpadu dalam kabinet yang dimasukinya. Rizal Ramli sering terpental, jelas bukan karena alasan moral. Dia terbuang karena selalu ingin menang, tidak peduli lawan atau kawan yang dihadapi.
Sekarang, tiba-tiba Rizal Ramli bicara soal nasib petani. Menghembuskan bara di tengah upaya pemerintah menjaga stabilitas stok beras. Membenturkan yang satu dengan yang lainnya. Seperti biasa dengan mengeluarkan jurus angka-angka yang sayangnya tidak disertai dengan proyeksi ke depan.
Rizal Ramli mungkin luput menghitung. Petani memang panen tetapi tidak akan cukup menjaga stok pangan kita yang memang sudah sangat menipis. Dimana-mana terlihat berita tentang panen raya tetapi belum menyentuh kantong-kantong utama produsen pangan Indonesia. Impor tidak akan mematikan nasib petani tetapi solusi biasa untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan bangsa. Apa sulitnya untuk membantu orang banyak untuk melihat ini secara jernih?
ADVERTISEMENT
Di usianya yang tidak senja lagi, kita hanya bisa berharap pada Rizal Ramli, bisakah ketika dia tidak sejalan dengan kebijakan yang ditaburkannya adalah kebajikan? Bisakah dia membantu generasi-generasi baru ini, yang sebagian besar mungkin tidak kenal dengannya, untuk melihat dunia ini tidak dalam persepektif menang dan kalah?
Seharusnya itu bukan permintaan yang sulit untuk Rizal Ramli. Kecuali, lewat kritik, dia masih merindukan panggung politik kekuasaan.
Ah pak tua Rizal ramli, sudahlah..