Konten dari Pengguna

Beras Dan Panen Masalah Yang Dirayakan

Gerry Nadeak
menulis untuk kebebasan berfikir
24 Februari 2018 4:16 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gerry Nadeak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Polemik beras belum berakhir. Harganya masih melambung, bahkan di sejumlah daerah yang kerap disebut sebagai kawasan lumbung padi nasional sekalipun. Sementara sisi produksi masih misterius. Walaupun Kementerian Pertanian berupaya meyakinkan masyarakat dengan rajin berkampanye mengenai panen raya di banyak daerah sejak akhir tahun 2017. Namun kenyataannya cadangan beras pemerintah di Bulog bertambah hari kian menipis. Stok di pasar pun makin sedikit. Gudang-gudang besar kekurangan serapan gabah, banyak usaha penggilingan padi yang gulung tikar, bahkan sejak pertengahan 2017.
ADVERTISEMENT
Ini berbahaya. Sebab jika meletus bencana alam dalam cakupan luas, pemerintah bakal sulit mengasup bahan pangan pokok ke masyarakat terdampak. Bukankah negeri kita berada di kawasan yang rawan dengan gunung meletus, gempa bumi hingga tsunami? Pemerintah tak ingin bertaruh dengan hal penting tersebut. Maka persoalan cadangan beras nasional ini tidak boleh terabaikan. Keputusan tidak populis untuk mengimpor beras demi memenuhi tujuan tersebut pun dilakukan. Sedangkan untuk stabilisasi harga, hasil panen raya bulan maret hingga april 2018 akan digunakan. Strategi ini patut diapresiasi.
Persoalannya, kementerian pertanian tampak gagap untuk melaksanakannya. Sebab hingga memasuki pertengahan Februari, harga beras masih bertengger di atas Harga Eeceran Tertinggi akibat kurang pasokan. Demand sedemikian besar, namun supply sepi.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi? Padahal kementerian ini ditopang dengan anggaran yang begitu besar untuk membesarkan sektor pertanian. Alih-alih menggeber pasokan, kementerian ini justru jumawa dengan teriak surplus produksi beras tanpa bukti jelas, sebab kenyataannya harga beras tetap tak terkendali. Gembar-gembor itu lantas terdengar serupa hiburan saja untuk rakyat yang sedang mengetatkan ikat pinggang. Kalaupun klaim surplus itu benar, lalu kemana sebaran beras-beras itu? Bukankah seharusnya bisa digunakan untuk stabilisasi harga?
Daripada terus-menerus memberi harapan palsu, sebaiknya Kementerian Pertanian lebih fokus menanggulangi faktor-faktor penghambat produksi untuk agar kelancaran pasokan ke pasar tetap terjaga. Terutama menjawab masalah perubahan iklim yang sudah mengancam pertanian Indonesia sejak akhir 2016.
Anomali iklim yang akrab disebut El Nino tersebut, merupakan fenomena yang terjadi antara pesisir barat Amerika Latin dan Asia Tenggara. Namun efeknya bisa dirasakan ke seluruh penjuru dunia dan seringkali berujung pada bencana alam. Bagi Indonesia, imbasnya sangat mempengaruhi bidang pertanian dan membahayakan ketersediaan pangan sebab mampu menurunkan produksi padi secara drastis.
ADVERTISEMENT
Kementerian Pertanian bukan tidak tahu soal ini. Tak sedikit ilmuwan dan peneliti pertanian yang sudah mengingatkan. Namun Kementerian tersebut terkesan mengabaikannya.
Dan betul, sepanjang tahun 2017, kekhawatiran terhadap dampak buruk perubahan iklim itu terjadi. Ribuan hektar sawah rusak akibat cuaca tidak menentu. Dari Kekekringan, Banjir, hingga serbuan hama berbagai rupa. Ujungnya, hasil produksi menyusut kemudian berbuntut kelangkaan pasokan. Harga beras meroket, makin susah dijangkau mayoritas masyarakat. Lantas apa solusi Kementerian Pertanian atas ini semua?
Barangkali Kementerian Pertanian memang telah gagal mengantisipasi dampak iklim tersebut. Sebagai siasat pengalihan agar publik tak mengendus kecerobohan itu, mereka bersikukuh kampanye mengenai panen raya dan menyebarkannya lewat berbagai media. Mereka menerapkan jurus pengelabuan persepsi untuk menutup ketidakberhasilan.
ADVERTISEMENT
Layaknya duri dalam daging, kinerja yang amburadul itu justru memporak-porandakan strategi pemerintah untuk mengendalikan ketersediaan bahan pangan pokok bagi masyarakat. Harga tetap melangit, rakyat masih merintih, sementara kementerian pertanian terus merayakan panen yang misterius melalui seremoni-seremoni yang tidak mengenyangkan perut.
Lagipula, jika panen raya itu benar-benar terjadi dan bukan bualan semata, bukankah masih butuh waktu yang panjang untuk menjadikannya beras dan sampai di pasaran? Lalu di masa-masa proses tersebut, apakah rakyat akan terus dibiarkan kelabakan mendapatkan beras? Kemudian, bagaimana kalau panen itu gagal karena bertekuk lutut dengan kedahsyatan perubahan iklim? Bukan padi yang didapat, melainkan panen masalah.
Sejak sekarang, Kementerian Pertanian semestinya instrospeksi dengan membenahi kondisi hulu dari kebutuhan pangan rakyat. Jangan terlalu percaya diri, dengan mengatakan surplus beras tapi ternyata kocar-kacir. Berhenti membangun ironi: kita negeri agraris tapi teknologi dan manajemen pertanian kita acak-adul. Ingat, alam punya cara kerja sendiri yang tidak bisa dijawab hanya dengan jargon-jargon panen raya.
ADVERTISEMENT