Konten dari Pengguna

Tabahlah Pak Enggar: Sawah Masih Menghijau Rakyat Butuh Makan

Gerry Nadeak
menulis untuk kebebasan berfikir
10 Februari 2018 19:36 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gerry Nadeak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir pekan kemarin, saya kembali menumpang kereta dalam sebuah perjalanan menuju Cirebon. Perjalanan dengan kereta memang memberikan nuansa tersendiri. Restorasi adalah gerbong favorite saat menikmati Rangkaian panjangnya meliuk indah kala melewati jalur berkelok. Dan jendela besarnya menyajikan pemandangan di kanan kiri membuat kita betah berlama-lama di kereta.
ADVERTISEMENT
Pemandangan itulah, terutama ketika melewati pesisir utara Jawa Barat, yang membuat angan saya terbang dan sejenak melupakan cerita tentang kereta. Sepanjang perjalanan melewati daerah pesisir itu saya melihat hamparan hijau pesawahan.
Karawang, Purwakarta dan Indramayu Kawasan itu dikenal selama ini tidak saja sebagai lumbung padi Jawa Barat tetapi juga nasional. Dari pengamatan sepintas saya menyimpulkan panen masih cukup lama. Paling cepat akhir Pebruari atau bisa jadi awal Maret.
46 juta lebih masyarakat Jawa Barat ditambah dengan kawasan ibukota sebanyak lebih dari 10 juta jiwa bergantung pada penen raya di tiga daerah tersebut. Berita- berita soal panen raya belum menyentuh tiga episentrum pangan utama di negeri ini.
Saya tidak tahu seberapa besar kontribusi daerah-daerah yang secara simbolis dilakukan panen raya. Yang saya mengerti sebagian besar dari daerah-daerah tersebut tidak seproduktif kawasan yang saya sebut di atas.
ADVERTISEMENT
Kita tidak usah membayangkan pangan untuk 265 juta jiwa, karena daerah luar Jawa tentu juga sangat bergantung pada panen di Jawa. Bayangkan saja 50 juta lebih jiwa mesti menunggu panen sebulan lagi, apa yang akan terjadi?
Lalu saya teringat gonjang ganjing beberapa minggu belakangan di Jakarta. Sebabnya, kementrian perdagangan memutuskan untuk mengimpor beras di awal tahun ini. Impor bukan sesuatu yang haram. Apalagi jika menyangkut kebutuhan pokok rakyat banyak.
Impor jadi perdebatan karena gonjang-ganjing padi bisa jadi manuver cepat di tahun politik. Maka petani pun hanya jadi arak-arakan dalam karnaval politik. Sayangnya, sebagian besar dari kita senang besorak di pinggir saja, tanpa tahu masalah sesungguhnya.
Seandainya kita mau pakai akal sehat : menurut pemberitaan media yang saya baca, panen raya baru berlangsung di Indramayu pada bulan November 2017. Petani butuh waktu untuk memulai musim tanam. Paling cepat mereka mulai bertanam di awal Desember. Sepengetahuan saya tidak ada varietas padi yang bisa panen dalam waktu 1-2 bulan. Kisaran waktunya paling cepat 3-4 bulan.
ADVERTISEMENT
Gonjang-ganjing butuh tokoh antagonis. Dan setiap menuver politik membutuhkan lahirnya seorang pecundang. Korbannya kali ini adalah Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Seluruh elit politik kompak menyudutkannya. Tidak terkecuali mereka-mereka yang juga sama duduk di pemerintahan. Enggar seolah-olah layak dimusuhi karena dikesankan tidak berpihak pada petani. Belum lagi tuduhan kongkalikong dengan importir.
Elit berusaha menangguk untung dari kerja keras Pak Enggar untuk menjernihkan keruhnya kebutuhan pangan rakyat. Padahal apabila kita jernih melihat, logika Pak Enggar berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan. Tidak perlu riset mendalam untuk mendapatkan perkiraaan dan angka-angka. Cukup naik kereta tujuan Jawa, maka kita akan melihat sawah masih jauh dari kuning dan panen raya hanya terdengar seperti seruan sumbang.
ADVERTISEMENT
Saya coba memahami Pak Enggar , Sebagai politisi gaek beliau bukannya tidak peduli dengan tahun politik. Justru karena kepeduliannya itu, Pak Enggar memutuskan untuk mengimpor beras. Menjauhkan rakyat dari potensi kelangkaan pangan di tengah-tengah pertarungan politik yang mulai memanas.
Menjernihkan pikiran dan hati rakyat harus dimulai dari kewajiban pemerintah menjaga kebutuhan mereka. Pak Enggar punya pengalaman panjang di dunia politik. Dia tahu risiko yang muncul dari perut yang lapar. Dia paham bagaimana politik bisa bermain di antara tubuh-tubuh yang lelah. Dan dengan segala risiko yang diambilnya, Pak Enggar tidak mau hal itu terjadi di tahun politik ini.
Pak Enggar mengingatkan saya pada beberapa sosok bangsa ini yang mau menempuh jalan sepi demi keramaian yang tidak memahaminya. Di usia beliau yang sudah 66 tahun ini, Pak Enggar tetap kukuh pada pendiriannya bahwa pemerintah bekerja untuk melayani rakyat. Bukan mendulang suara rakyat lewat manuver-manuver politik yang tidak bermanfaat.
ADVERTISEMENT
Tabahlah Pak Enggar. Sejarah mungkin akan melewatkan bapak. Tetapi generasi nanti yang lahir dari di antara rakyat sekarang akan menikmati semua perjuangan hari ini.