Banyak Yang Tidak Tahu, Ini Proses Panjang Yang Dilalui Puan Maharani Di Dunia Politik

Konten dari Pengguna
20 Januari 2018 10:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Samsul Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Banyak Yang Tidak Tahu, Ini Proses Panjang Yang Dilalui Puan Maharani Di Dunia Politik
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pemimpin yang tepat adalah pemimpin yang “diciptakan”, bukan pemimpin yang tiba-tiba “dimunculkan” lalu mengesankan, bahwa dialah sosok “satria piningit” yang dirindukan. Karena “diciptakan” berarti ada proses yang mendahuluinya, bukan ujug-ujug jadi apalagi hanya mengandalkan “politik papa-mama”. Karena melalui proses, berarti ada ilmu dan pengalaman langsung yang diperoleh melalui serangkaian peristiwa yang secara langsung berhubungan dengan kepemimpinan, politik, ekonomi-sosial, dan lainnya, sehingga tidak menjadi pemimpin yang nervous dan mempunyai “bekal” yang mumpuni.
ADVERTISEMENT
Itulah yang sebenarnya tidak disadari banyak orang, tentang Puan Maharani, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Penghargaannya yang tinggi atas proses dan pengalaman menempatnya menduduki posisi prestisius sebagai Menteri.
Di antara banyak cibiran dan “apatisme” yang dimunculkan terhadap sosok Puan, tapi kita harus mengapresiasi, bahwa Puan adalah sosok pemimpin yang perlu diapresiasi karena bersedia melakukan proses menjadi pemimpin dalam serangkaian semadi di “kawah candradimuka”. Puan tidak mau menjadi pemimpin yang “sekali jadi” meskipun secara genetis dan politis ia diuntungkan sebagai putri Megawati dan cucu Soekarno.
Kalau membaca profil Puan Maharani, kedekatannya dengan dunia politik sudah dimulai sejak lama, bahkan sejak SMP ketika menyaksikan Ibundanya, Megawati, mulai terlibat aktif kembali dalam perpolitikan tanah air ketika itu. Puan melihat langsung bagaimana Megawati berpolitik, dalam konteks Orba, yang saat itu begitu sulit. Kehidupan yang dekat dengan politik itulah yang menjadi “berkah” bagi Puan, karena pengalaman empiris seperti itu tidak bisa didapatkan oleh banyak orang. Itulah kelebihan Puan Maharani. Ia “terlibat” secara langsung dalam pembelajaran berpolitik secara genetis, terutama dari Ibundanya.
ADVERTISEMENT
Penghargaan terhadap proses itu pun tampak ketika Puan lebih memilih mematangkan dirinya melalui pendidikan dan aktif dalam banyak organisasi, termasuk KNPI. Tidak hanya itu, Puan juga menerjunkan diri menjadi jurnalis sebagai bagian dari proses pembelajarannya terhadap politik dan kebangsaan. Ketika merasa sudah matang secara keilmuan, pengalaman, dan secara psikologis, Puan terjun ke dunia politik secara langsung pada tahun 2006 ketika mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI dari PDI Perjuangan dan sukses dengan suara yang begitu memuaskan.
Artinya, Puan Maharani adalah sosok perempuan hebat yang perlu dipertimbangkan dalam konteks kepemimpinan Indonesia selanjutnya. Ia merupakan sosok yang “berisi”, kerena sejuta pengalaman dan perjalanan hidupnya yang bersinggungan secara langsung dengan dunia politik sejak dini. Selain itu, secara genetis, kita tidak bisa memalingkan dari fakta, bahwa dalam darahnya mengalir darah Soekarno. Puan adalah cucu biologis dan ideologis dari Soekarno. Dalam banyak kesempatan, kita sering menyaksikan bagaimana Puan tidak bisa “melepaskan diri” dari ide-ide khas Soekarno.
ADVERTISEMENT
Sosok Puan Maharani, dalam konteks kepemimpinan, setidaknya mengajarkan kita, bahwa menghibahkan diri dalam dunia politik adalah perjuangan yang meniscayakan penghargaan atas proses. Pemimpin harus lahir dari “kawah candradimuka” melalui serangkaian pengalaman, bukan karbitan. Puan telah melakukan itu sehingga pantas (bukan memantaskan diri) menjadi pemimpin, dan mungkin calon pemimpin dalam konteks kepemimpinan Indonesia pada masa yang akan datang. Ia bisa saja menggunakan “potensi genetisnya”, tapi Puan lebih memilih berproses sebagaimana biasa untuk menemukan kematangan politiknya.
Terlebih karena Puan adalah seorang perempuan yang menjadi representasi dan contoh bagi banyak perempuan lain untuk mewarnai dunia perpolitikan di Indonesia, yang harus diakui masih “sepi”. Tugas sebagai Menteri Koordinator memang berat, tapi kita tunggu kiprah dan kerjanya.
ADVERTISEMENT