news-card-video
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Aku Adalah Koruptor yang Kembali Menjabat

samsularifin98
Samsul arifin adalah seorang dosen di fakultas hukum universitas muhammadiyah surabaya
3 Maret 2025 12:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari samsularifin98 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: pexels.com
Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering melihat mantan koruptor kembali mendapatkan jabatan strategis, baik di pemerintahan maupun sektor lainnya. Fenomena ini menimbulkan berbagai perdebatan, terutama dari aspek etika, moral, dan kepercayaan publik. Bagaimana mungkin seseorang yang telah terbukti secara sah melawan hukum, mencuri uang rakyat, mengkhianati kepercayaan publik, dan merusak sistem, tiba-tiba mendapatkan kesempatan kedua untuk kembali berkuasa, seolah-olah masa lalunya hanyalah kesalahan kecil yang bisa dihapus dengan penghapus ajaib?
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang muslim, saya percaya bahwa Tuhan itu Maha Pengampun, Maha Penyayang, dan Maha Pemberi Kesempatan Kedua. Tapi pertanyaannya, apakah belas kasih Tuhan bisa begitu saja kita terjemahkan menjadi karpet merah bagi para mantan koruptor untuk kembali memimpin dan mengatur kebijakan yang menyangkut kepentingan jutaan orang? Apakah kita harus mengabaikan kenyataan bahwa mereka telah mencuri dari kantong rakyat hanya karena mereka sudah menyelesaikan masa hukumannya? Jika begitu, mari kita buka gerbang penjara dan bebaskan semua pelaku kejahatan, biarkan mereka kembali ke posisi strategis karena, toh, setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua, bukan?
Hukum pidana bukan hanya soal menghukum pelaku dan melindungi korban. Ada dimensi yang lebih luas, yaitu kepentingan masyarakat umum. Pemidanaan memiliki tujuan preventif, sebagai pengingat bagi orang lain agar tidak melakukan hal yang sama. Tapi apa jadinya jika kita justru memberikan panggung bagi mantan koruptor? Bukankah ini justru mengirimkan pesan bahwa korupsi bukanlah dosa besar, melainkan hanya kesalahan teknis yang bisa ditebus dengan beberapa tahun di balik jeruji besi? Hari ini seorang koruptor dihukum, besok ia kembali menduduki kursi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Lalu apa yang akan dipikirkan para koruptor lain? "Ah, tidak masalah mencuri uang negara, toh kalau tertangkap, saya hanya perlu menjalani hukuman sebentar, lalu saya tetap bisa kembali berkuasa."
Siapa itu Burhanuddin Abdullah.?
Burhanuddin Abdullah adalah seorang pakar ekonomi yang memiliki rekam jejak cemerlang dalam dunia perekonomian Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan kemudian dipercaya sebagai Gubernur Bank Indonesia untuk periode 2003–2008. Selama menjalani kariernya, Burhanuddin dikenal sebagai sosok berpengalaman yang berperan dalam berbagai kebijakan ekonomi strategis.
Namun, di balik prestasinya yang gemilang, namanya tercoreng oleh kasus korupsi yang melibatkan dana Bank Indonesia. Pada 29 Oktober 2008, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis lima tahun penjara dan denda sebesar Rp 250 juta terhadap Burhanuddin Abdullah. Majelis hakim menyatakan bahwa ia terbukti bersalah karena menyetujui penggunaan dana Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) senilai Rp 100 miliar secara tidak sah. Kasus ini menjadi salah satu skandal korupsi yang mencoreng institusi keuangan tertinggi di Indonesia dan menegaskan pentingnya transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik.
ADVERTISEMENT
Ia adalah jelas-jelas seorang mantan narapindana, bagaimana kita bisa kembali percaya pada mantan koruptor? Tolong beritahu saya caranya. Apakah ada jaminan bahwa mereka telah benar-benar insaf? Apakah ada mekanisme yang bisa membuktikan bahwa mereka tidak akan mengulangi perbuatannya? Atau kita hanya mengandalkan keyakinan buta dan berharap kali ini mereka benar-benar akan berubah? Jika demikian, mungkin sebaiknya kita menutup seluruh sistem verifikasi integritas dan cukup meminta para pejabat mengisi formulir pernyataan bertuliskan: "Saya janji tidak akan korupsi lagi."
dan sekarang ia diamanahi sebagai ketua tim pakar dan inisiator badan pengelola investasi (BPI) daya anagata nusantara (Danantara). Kamu tau, ada uang sekitar 900 Milyar Dollar AS atau sekitar RP. 14.715 triliun yang akan dikelola oleh danantara tersebut. Apa tidak mencak-mencak itu si-burhan.
ADVERTISEMENT
Korup itu kejahatan Luar Biasa
Kita tentu tidak bisa menyamakan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana ringan atau kejahatan umum lainnya, yang dampak kerugiannya sering kali bersifat terbatas dan tidak terlalu luas. Korupsi itu extraordinary crime, sebuah kejahatan luar biasa yang merampas hak rakyat, merusak sendi-sendi perekonomian, dan menanamkan ketidakadilan dalam sistem. Ia bukan sekadar pelanggaran hukum biasa, melainkan pengkhianatan terhadap amanah yang dipercayakan oleh publik.
Kita kerap mendengar argumen bahwa mantan narapidana, setelah menjalani hukuman, memiliki hak untuk direhabilitasi dan diterima kembali oleh masyarakat. Itu benar, tentu saja. Tapi, apakah logika ini juga berlaku untuk koruptor—mereka yang bukan hanya mencuri, tetapi juga merampas masa depan banyak orang? Sepertinya kita terlalu murah hati kalau sampai berpikir demikian.
ADVERTISEMENT
Lucunya, para pemimpin kita gemar sekali berbicara soal moral, seakan-akan mereka adalah penjaga terakhir dari etika dan integritas. Mereka berdiri di podium, berteriak lantang tentang pentingnya kejujuran dan nilai-nilai luhur, tapi di balik layar, mereka malah memberi jalan bagi koruptor untuk kembali ke panggung kekuasaan, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Ini bukan lagi sekadar ironi, melainkan komedi kelas tinggi yang dipertontonkan di hadapan rakyat. Jika moral hanya dijadikan pajangan, lalu untuk apa kita repot-repot berpura-pura menjunjungnya?
Terakhir, Bunga yang ditakdirkan mekar tak akan layu hanya karena fitnah dan kedzaliman, setidaknya begitu katanya. Tapi, dalam realitas, tampaknya ada bunga yang justru tumbuh subur karena pupuk kepentingan dan siraman koneksi.
Tidak ada satu pun jabatan yang boleh diperoleh tanpa prestasi, tentu saja, kalau kita masih percaya pada idealisme dunia yang sempurna. Sayangnya, di negeri ini, ada "prestasi" yang tidak perlu diuji, cukup berteman dengan orang yang tepat atau berada di lingkaran yang menguntungkan. Kadang, bahkan kemampuan berbisik lebih menentukan daripada kemampuan berpikir.
ADVERTISEMENT
Maka, jika ingin menduduki jabatan tanpa dicurigai, perbanyaklah rekam jejak prestasi. Bukan hanya prestasi dalam bekerja, tetapi juga dalam seni membangun citra dan memainkan narasi. Dengan begitu, ketika engkau naik ke puncak kekuasaan, orang-orang akan berdebat: apakah ini karena kepantasan atau sekadar keberuntungan? Ah, tapi apa pedulinya? Yang penting, kursi itu sudah nyaman diduduki.