Konten dari Pengguna

Antara Aku, Uang, Senjata, dan Kekuasaan

samsularifin98
Samsul arifin adalah seorang dosen di fakultas hukum universitas muhammadiyah surabaya
22 April 2025 13:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari samsularifin98 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: pexels.com
ADVERTISEMENT
Jika aku memegang pistol, dan kau juga memegang pistol, maka kita bisa bicara tentang hukum. Kita bisa duduk berhadapan, saling menatap, karena masing-masing tahu bahwa peluru bisa melesat dari dua arah. Dalam keadaan itu, hukum menjadi negosiasi kekuatan yang seimbang, maka lahirlah kesepakatan.
ADVERTISEMENT
Jika aku memegang pisau, dan kau juga memegang pisau, maka kita bisa bicara tentang aturan. Aturan tentang jarak, tentang langkah, tentang siapa yang lebih cepat, siapa yang lebih terlatih. Masih ada ruang bicara, meski tipis dan berdarah.
Jika aku datang dengan tangan kosong, dan kau pun datang dengan tangan kosong, barulah kita bisa bicara tentang alasan. Kita bisa bicara tentang niat, tentang luka yang tak terlihat, tentang sejarah dan harapan. Saat itu, moralitas menjadi mungkin, keadilan menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar konsekuensi.
Tapi jika kau memegang pistol dan aku hanya menggenggam pisau, maka yang kau genggam bukan sekadar senjata, kau genggam definisi kebenaran. Dalam ketimpangan itu, aku tak hanya kehilangan peluang, tapi juga kehilangan suara. Kau bisa bicara tentang hukum, tapi hukum itu sudah berat sebelah sebelum perdebatan dimulai.
ADVERTISEMENT
Dan jika kau memegang pistol, sementara aku datang dengan tangan kosong, maka bukan lagi hukum yang bicara. Yang bersuara adalah kekuasaan. Dan kekuasaan, tanpa kesetaraan, bukanlah hukum, melainkan dominasi yang disamarkan oleh aturan.
Hukum, aturan, moralitas, semuanya kehilangan makna ketika tak dilandasi kesetaraan. Tanpa keseimbangan, keadilan hanya akan menjadi narasi yang dibacakan oleh yang menang, dan didengar oleh yang tak punya pilihan selain tunduk.
Karena sejatinya, hukum yang adil hanya mungkin lahir dari medan yang setara. Bukan dari moncong senjata, tapi dari pengakuan bahwa semua manusia layak untuk didengar, dengan tangan terbuka, bukan tangan yang menggenggam kuasa.
Ketika Kebenaran Hanya Menjadi Bisikan
Kebenaran pahit tentang dunia ini adalah: ketika uang berbicara, kebenaran memilih diam. Ia terdesak ke sudut ruang, berdesakan dengan nurani dan rasa malu. Suaranya perlahan tenggelam di antara gemerincing logam dan riuh angka-angka dalam rekening. Di hadapan kekayaan, kejujuran hanyalah bisikan kecil yang kalah nyaring dari suara transaksi.
ADVERTISEMENT
Namun yang lebih mengerikan: ketika kekuatan berbicara, bahkan uang pun tahu diri, dan mundur tiga langkah. Dalam dunia ini, kekuatan adalah bahasa tertua, dan paling ditakuti. Ia tidak butuh argumen, tidak butuh bukti. Hanya tatapan, perintah, dan kadang darah.
Mereka yang duduk di meja pembuat aturan, seringkali adalah yang pertama menendang meja itu ketika aturan mulai mengganggu kepentingannya. Mereka menulis pasal demi pasal dengan pena keadilan, tapi menyelipkan pisau dalam tanda bintang yang tersembunyi. Aturan menjadi rantai bagi yang lemah, tetapi menjadi kunci pembuka bagi yang kuat. Di tangan mereka, hukum bukan lagi pelindung, melainkan senjata.
Dalam permainan ini, sesuatu yang baik tidak lahir dari keheningan. Ia harus diperjuangkan. Diperlukan keberanian untuk menyalakan api di tengah padang ketidakpedulian. Karena para penguasa permainan, mereka tidak tidur. Mereka berjaga, bersaing, saling tikam dalam senyap demi satu hal: kendali atas sumber daya, kendali atas narasi, kendali atas kita semua.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, yang lemah? Mereka duduk diam di pinggir arena. Menunggu. Berharap remah-remah keadilan jatuh dari meja perjamuan kekuasaan. Tidak sadar, bahwa dalam dunia seperti ini, yang tidak ikut bermain sudah ditentukan kalah sejak awal. Karena dunia tidak pernah adil bagi mereka yang hanya berharap, tapi tak berani bertindak.
Kamu Bodoh = Kalah Satu Langkah
Bayangkan seseorang yang menjalani hidup dengan tenang, bekerja, mengurus keluarga, dan merasa tak pernah bersentuhan dengan dunia hukum. Namun tiba-tiba, sebuah surat panggilan datang. Ia didakwa melakukan pelanggaran yang bahkan tak pernah ia sadari sebagai sebuah kesalahan. Terlambat membayar pajak, menyebarkan informasi yang dianggap melanggar UU ITE, atau sekadar melanggar aturan administratif yang rumit. Lalu, semua berubah. Ketenangan berganti kepanikan.
ADVERTISEMENT
Inilah kenyataan pahit yang ditegaskan oleh prinsip klasik dalam hukum: ignorantia iuris nocet, ketidaktahuan terhadap hukum tidak membebaskan seseorang dari tanggung jawab. Negara menganggap setiap warga tahu hukum. Namun faktanya, tidak semua memiliki akses atau pemahaman yang cukup untuk mengerti ratusan bahkan ribuan aturan yang terus berubah.
Ketidaktahuan adalah jebakan yang sunyi, namun mematikan. Sanksi hukum bisa hadir tanpa pernah diundang, dan seseorang bisa kehilangan hak, harta, bahkan kebebasannya hanya karena tidak tahu.
Di sinilah pentingnya kesadaran hukum. Memahami hukum bukan sekadar kebutuhan kaum terpelajar atau aparat penegak hukum. Ini adalah benteng perlindungan bagi setiap orang, agar tidak menjadi korban sistem yang mereka tak pahami.
Hukum memang tidak selalu adil, tetapi ketidaktahuan hukum bisa jauh lebih kejam. Maka, melek hukum adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang diam-diam mengintai. Karena dalam dunia hukum, yang tidak tahu pun tetap bisa dihukum.
ADVERTISEMENT
Narasi di atas menggambarkan ketimpangan kekuasaan dan bagaimana hukum seringkali hanya berpihak pada mereka yang memegang senjata, uang, atau kekuasaan. Dalam konteks revisi UU TNI di Indonesia, kekhawatiran serupa muncul: ketika tentara, sebagai pemegang kekuatan koersif negara, diberi ruang lebih besar untuk masuk ke ranah sipil, maka keseimbangan yang menjadi fondasi keadilan berpotensi runtuh. Revisi ini dapat melahirkan ketimpangan baru, di mana hukum tidak lagi berdiri netral, melainkan tunduk pada logika kekuatan.
Dalam negara hukum yang sehat, hukum harus menjadi penengah antara kekuatan dan kelemahan. Namun ketika institusi yang bersenjata diberi privilege tanpa pengawasan sipil yang kuat, maka hukum bisa berubah menjadi alat dominasi, bukan perlindungan. Sama seperti dalam narasi, hukum yang tidak dilandasi kesetaraan hanya akan menjadi cerita yang dibacakan oleh yang kuat dan dipaksakan kepada yang tak berdaya. Revisi UU TNI, jika tidak dikritisi, berpotensi membawa Indonesia ke dalam babak baru di mana yang bersenjata tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga mulai menentukan arah kebenaran.
ADVERTISEMENT