Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Indonesia Tidak Gelap, Hanya Lampu di Rumahmu Saja yang Kurang Terang
21 Februari 2025 14:38 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari samsularifin98 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Aku mencintai negeri ini. Sejak kecil, aku diajarkan bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari iman. Doktrin itu tertanam dalam benakku, disucikan oleh ajaran agama, diwariskan dari generasi ke generasi.
ADVERTISEMENT
Aku adalah anak seorang petani. Negeri ini memberiku tanah yang subur, pohon-pohon yang rindang, air yang jernih, udara yang menyejukkan. Tapi lihatlah sekarang, semuanya perlahan menghitam, kotor, busuk, teracuni. Bukan karena tanahnya yang berubah, bukan karena langitnya yang berbeda, tapi karena aku.
Ya, aku. Aku yang bodoh. Aku yang korup. Aku yang percaya takhayul. Aku yang feodal. Aku yang hipokrit. Semua itu aku.
Itu aku, bukan para pemimpin yang hanya datang meminta dukungan saat pemilu, lalu pergi setelahnya. Bukan para pejabat yang lahir dari ketidakcakapan, tapi tumbuh besar karena menjilat kekuasaan. Mereka bukan masalahnya. Masalahnya adalah aku-kita. Kita yang membiarkan ini terjadi. Kita yang diam, pura-pura buta, lalu mengutuk dalam senyap.
ADVERTISEMENT
Aku ini bodoh. Sungguh, jangan tertawa, aku serius. Aku tidak bisa membaca dengan baik, apalagi memahami isi bacaan yang panjang dan bertele-tele. Tapi lihatlah, di negeri ini, aku tetap bisa menjadi apa saja.
Aku juga tidak bisa menulis dengan benar. Ejaan berantakan, logika kalimat kacau, tapi siapa peduli? Aku bisa membayar orang untuk menulis pidato, laporan, bahkan skripsi dan tesis jika perlu. Lagi pula, untuk berkuasa, menulis itu tidak penting. Yang penting adalah tanda tangan.
Work habit-ku juga buruk. Aku sering datang terlambat, rapat pun kutinggalkan sebelum selesai. Aku lebih suka duduk manis di kursi empuk, mendengar orang berbicara panjang lebar sementara pikiranku melayang entah ke mana. Produktivitas? Ah, itu urusan bawahan. Aku hanya perlu hadir, tersenyum, dan sesekali melontarkan kalimat klise tentang perubahan dan kemajuan.
ADVERTISEMENT
Dan yang paling lucu, aku buruk dalam berkomunikasi. Aku sering bicara berputar-putar tanpa makna, menghindari pertanyaan sulit, menyusun kata-kata seolah berisi padahal kosong. Tapi anehnya, semakin tidak jelas aku berbicara, semakin banyak orang yang mengangguk-angguk paham. Mungkin karena di negeri ini, kebingungan dianggap sebagai kebijaksanaan.
Tapi jangan salah, meski aku bodoh, malas, dan buruk dalam banyak hal, aku tetap bisa naik ke puncak kekuasaan. Karena di negeri ini, kepintaran sering kali dianggap ancaman, kerja keras dianggap bodoh, dan komunikasi jujur dianggap terlalu berbahaya.
Maka aku pun bertanya: Siapa sebenarnya yang lebih bodoh? Aku atau mereka yang membiarkan aku berkuasa?
Setelahnya, Siapa yang Lupa Daratan ?
"Kamu itu siapa?" begitu katanya. "Hanya anak orang miskin yang dikasih kesempatan buat memperbaiki hidup," dan benar, aku memang dari nol. Dulu aku hanya rakyat kecil, berjalan di antara lorong-lorong pengharapan, menadahkan tangan kepada mereka yang lebih berkuasa. Tapi lihat aku sekarang, aku sudah duduk di kursi tinggi, bersandar nyaman, menatap ke bawah seolah dunia ini milikku.
ADVERTISEMENT
Mereka yang dulu membantuku naik kini hanya bayang-bayang di kejauhan. Tangan-tangan yang pernah mengangkatku kini tak lebih dari siluet samar di balik jendela mobil mewahku. Aku tak lagi mendengar suara mereka, karena telingaku sudah penuh dengan pujian dari orang-orang yang ingin mendekat.
Sekali saja aku meraih keberhasilan, aku langsung merasa besar. Sekali saja namaku disebut di media, aku mulai percaya bahwa dunia ini berputar di sekelilingku. Aku lupa bahwa yang membesarkan bukan hanya usaha sendiri, tapi juga tangan-tangan yang pernah mengangkatku.
Tapi aku tak peduli. Ini bukan soal uang, uangku sudah cukup, dari kecil aku tak kekurangan. Ini soal tanggung jawab.
Tanggung jawab untuk pura-pura tuli. Tanggung jawab untuk melupakan mereka yang dulu mendukung. Tanggung jawab untuk membela kepentingan segelintir orang, sambil berkata bahwa aku bekerja untuk rakyat.
ADVERTISEMENT
Aku bukan lagi si anak miskin yang mencari kesempatan. Aku kini bagian dari lingkaran itu, lingkaran yang selalu naik ke atas, tapi lupa melihat ke bawah. dan lucunya, aku tahu, masih banyak yang akan mengikuti jejakku.
Aku Pejuang Keadilan, Sampai Aku Lapar
Jangan salah paham. Kalimat-kalimat satire ini bukan untuk menyindir pemerintah. Tidak, tidak, tidak. Pemerintah kita bersih, jujur, dan penuh integritas. Mereka amanah, bijak, rajin menabung, bahkan sayang kucing! Bayangkan, pemimpin yang sayang kucing. pasti hatinya lembut, bukan? Ah, sudah lah…
Sebenarnya aku tahu. Aku tahu betul bahwa di dalam sana, kebobrokannya minta ampun. Aku tahu ada bangunan megah yang dibangun di atas reruntuhan kepercayaan. Aku tahu ada janji-janji suci yang dijual murah untuk kepentingan sesaat. Tapi aku tetap masuk ke dalamnya. Dengan gagah, dengan dada membusung, aku bilang pada dunia: Aku akan memperbaiki semuanya! Aku akan menjadi pahlawan!
ADVERTISEMENT
Tapi, pahlawan juga butuh makan. Tungku dapur di rumahku tetap harus berasap. Anakku butuh susu dan popok. Istriku butuh uang untuk arisan sosialita, perhiasan untuk gengsi, tas mahal agar tak dipandang sebelah mata.
Sekali lagi saya tegaskan, indonesia tidak gelap, hanya lampu di rumahmu saja yang kurang terang. Jadi, mau bagaimana lagi? Aku berjuang, aku berteriak, aku berusaha melawan, sampai aku sadar bahwa idealisme tak bisa dimakan.
Lalu, ya sudah. Aku menyebur sekalian. Hehe.