Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ketika Rakyat Tak Lagi Percaya: Dari Gerakan Massa ke Perlawanan Akar Rumput
13 April 2025 12:14 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari samsularifin98 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Di tengah dinamika politik yang terus berubah, kita menyaksikan sesuatu yang ironis: bahwa gerakan massa konvensional yang dahulu menjadi alat perubahan kini kehilangan daya gigitnya. Demonstrasi jalanan, yang dulu mampu mengguncang kursi kekuasaan, kini seperti kehilangan taring. Bukan karena semangatnya padam, melainkan karena mereka yang kini duduk di tampuk pemerintahan justru berasal dari generasi yang dulu juga turun ke jalan. Mereka yang pernah memegang megafon kini memegang kekuasaan. Dan entah mengapa, begitu kekuasaan digenggam, ingatan akan perjuangan itu seakan terhapus begitu saja.
ADVERTISEMENT
Realitas ini memaksa kita untuk berpikir ulang. Ketika jalur protes konvensional tidak lagi digubris, dan kekuasaan justru dikuasai oleh mereka yang paham bagaimana melemahkan gerakan dari dalam, maka diperlukan strategi baru. Perlawanan yang lebih adaptif, taktis, dan membumi. Tidak cukup lagi hanya turun ke jalan—kita harus membangun dari akar, memperkuat jaringan, dan menata ulang harapan.
Dalam situasi ini, banyak orang mulai sadar: bahwa siapa pun presidennya, jika sistem yang menopang kekuasaan tetap didominasi oleh oligarki dan elite modal, maka perubahan struktural takkan pernah benar-benar terjadi. Presiden hanyalah simbol. Boneka yang digerakkan dari belakang layar. Rakyat semakin paham bahwa pergantian pemimpin hanyalah ilusi demokrasi, tanpa menyentuh akar persoalan yang sebenarnya: sistem politik dan ekonomi yang timpang, korup, dan jauh dari nilai-nilai keadilan.
ADVERTISEMENT
Proyek SWL yang Katanya “Strategis”
Surabaya menjadi contoh nyata dari wajah pembangunan yang penuh ironi. Proyek ambisius Surabaya Waterfront City berdampak langsung terhadap 12 kelurahan, dari Medokan Ayu hingga pesisir Kenjeran. Proyek yang katanya membawa kemajuan ini justru menciptakan keresahan. Warga digusur, laut direklamasi, akses terhadap sumber daya alam dirampas perlahan. Alih-alih sejahtera, masyarakat pesisir justru kehilangan ruang hidup yang selama ini mereka jaga secara turun-temurun.
Maka lahirlah Forum Masyarakat Madani Maritim, sebuah bentuk perlawanan dari bawah, dari komunitas yang sadar bahwa suara mereka hanya akan didengar jika disuarakan bersama. Forum ini menjadi tempat bertemunya keresahan dan keberanian. Tapi tetap saja, pertanyaan mendasar terus menggema: proyek ini untuk siapa? Jika benar untuk rakyat, mengapa rakyat yang harus dikorbankan?
Jawaban yang muncul pun getir. Masyarakat mulai memahami bahwa di balik narasi pembangunan yang gemerlap, tersembunyi kepentingan elite yang rakus. Mereka menyebutnya "celeng", sebuah simbol dari kerakusan, dari mereka yang tak pernah puas mengeksploitasi tanah, air, dan hidup masyarakat demi keuntungan sepihak. Ini bukan sekadar kehilangan tanah. Ini tentang kehilangan masa depan, kehilangan rasa aman, dan kehilangan makna dari kata "pembangunan" itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Tak kalah penting adalah, bulan Juni mendatang akan menjadi momen krusial dengan rencana terbitnya dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Dokumen ini seharusnya menjadi instrumen ilmiah dan etis untuk menilai dampak ekologis dari sebuah proyek, namun kekhawatiran publik justru bertambah. Sebab, dalam banyak kasus sebelumnya, AMDAL sering kali menjadi formalitas belaka yang mengabaikan suara masyarakat terdampak.
Ironisnya, dalam situasi genting seperti ini, justru sebagian kalangan akademisi dan ilmuwan memilih diam. Kampus-kampus yang seharusnya menjadi pusat lahirnya kesadaran kritis justru bungkam, seolah ilmu pengetahuan kehilangan keberaniannya untuk berpihak. Padahal, diamnya kaum intelektual justru menjadi bentuk kekerasan tersendiri bagi mereka yang sedang tertindas.
Tidak Hanya Gelap, Tapi Juga Tersesat
Beberapa waktu lalu, publik sempat diramaikan oleh tagar #IndonesiaGelap. Sebuah cermin dari situasi bangsa yang carut-marut. Tapi seperti biasa, tagar itu pun lenyap, ditelan arus isu-isu lain: skandal pejabat, korupsi dana publik, kelangkaan gas melon, hingga berita sensasional seputar perselingkuhan para elite. Semua datang silih berganti, menutupi isu lama sebelum sempat diselesaikan. Ini bukan kebetulan. Ini strategi sistemik: mengalihkan perhatian publik agar kasus besar tak pernah benar-benar tuntas. Rakyat diajak lupa, dibentuk untuk tidak lagi peduli, dan perlahan-lahan diseret masuk dalam kubangan keputusasaan.
ADVERTISEMENT
Indonesia hari ini tidak hanya gelap, tapi juga tersesat. Kegelapan bukan sekadar metafora tentang padamnya listrik atau hilangnya transparansi, tapi tentang matinya nurani, dibungkamnya suara kritis, dan hilangnya arah kebijakan yang berpihak pada rakyat. Ketika pembangunan hanya menguntungkan segelintir elite dan proyek-proyek besar mengorbankan ruang hidup warga, maka sesungguhnya bangsa ini telah kehilangan kompas moral. Negara yang seharusnya menjadi pelindung justru berubah menjadi pemangsa, hukum menjadi alat kekuasaan, dan kampus-kampus sebagai pusat ilmu malah membisu di tengah ketidakadilan. Segala hal ditutupi oleh kabut isu-isu sensasional yang silih berganti, membuat rakyat lupa akan persoalan-persoalan pokok yang tak kunjung selesai. Dan ketika rakyat kehilangan ruang, suara, dan kepercayaan, yang tersisa hanyalah perlawanan. Maka jangan heran jika yang muncul bukan sekadar teriakan, tapi keteguhan untuk melawan sistem yang tak lagi memberi harapan.
ADVERTISEMENT
Lantas, kepada siapa rakyat harus berharap? Ketika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, ketika institusi negara justru menjadi alat pemangsa, dan ketika demokrasi dikerdilkan menjadi ritual lima tahunan tanpa makna substantif, apa yang tersisa?
Jawabannya mungkin tidak lagi terletak pada lembaga formal atau tokoh-tokoh nasional. Jawabannya ada pada gerakan akar rumput, pada solidaritas komunitas, dan pada keberanian untuk membangun kekuatan dari bawah. Kita tak lagi bisa mengandalkan puncak, sebab puncak telah lama runtuh. Kini saatnya membangun dari dasar: dari jaringan warga, dari gerakan sipil, dari ruang-ruang kecil yang masih kita miliki.
Ketika rakyat kehilangan ruang hidup, kehilangan suara untuk didengar, dan kehilangan kepercayaan terhadap institusi-institusi negara, maka yang tersisa hanyalah satu hal: perlawanan. Perlawanan ini bukan lagi sekadar reaksi terhadap kebijakan yang sewenang-wenang, tetapi sebuah respons mendalam terhadap sistem yang telah rusak sejak akar. Sistem yang melanggengkan ketimpangan, menormalisasi ketidakadilan, dan membungkam suara-suara kebenaran.
ADVERTISEMENT
Proyek seperti SWL dan berbagai perampasan ruang hidup lainnya harus dilawan, bukan hanya karena mereka menghancurkan tanah dan laut, tapi karena mereka merampas martabat manusia. Dan perjuangan itu tidak akan selesai dalam satu malam. Ia butuh napas panjang, butuh keberanian kolektif, dan yang terpenting: butuh kesadaran bahwa perubahan sejati lahir dari bawah, bukan dari atas.