Konten dari Pengguna

Motivasi di Balik Lone Wolf Terrorism

samsularifin98
Samsul arifin adalah seorang dosen di fakultas hukum universitas muhammadiyah surabaya
5 Februari 2025 18:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari samsularifin98 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: Pexles.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: Pexles.com
ADVERTISEMENT
Fenomena lone wolf terrorism atau terorisme tunggal semakin menjadi perhatian dalam studi terorisme modern. Sejak tahun 1970 hingga awal 2000-an, kasus serangan yang dilakukan oleh individu tanpa afiliasi langsung dengan kelompok teroris meningkat hingga 143%, dan tren ini terus berkembang hingga akhir 2010-an. Bahkan, banyak prediksi yang menyebutkan bahwa model serangan ini akan terus berlanjut tanpa batas waktu tertentu.
ADVERTISEMENT
Serangan teroris yang dilakukan secara individu sebenarnya bukan hal baru. Beberapa aksi terorisme paling berbahaya dalam sejarah dilakukan oleh pelaku tunggal, seperti pengeboman Wall Street pada tahun 1920 dan serangan terhadap masjid di Christchurch, Selandia Baru, pada tahun 2019. Namun, yang membedakan aksi lone wolf modern dengan serangan individu di masa lalu adalah semakin kompleksnya faktor-faktor yang berkontribusi dalam proses radikalisasi, terutama dengan kemajuan teknologi dan penyebaran informasi melalui internet.
Salah satu faktor utama yang diduga mempercepat pertumbuhan lone wolf terrorism adalah peran internet dan media sosial dalam membentuk lingkungan radikalisasi yang lebih luas dan sulit dikendalikan. Di satu sisi, internet membawa manfaat luar biasa dalam kehidupan sehari-hari, seperti kemudahan komunikasi dan akses informasi. Namun, di sisi lain, internet juga menjadi sarana bagi individu untuk terpapar ideologi ekstremis, bahkan tanpa harus terhubung langsung dengan kelompok teroris tertentu.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia maya, ideologi ekstremis dapat menyebar dengan sangat cepat. Opini radikal yang sebelumnya hanya ditemukan dalam lingkaran kecil kini dapat diakses oleh siapa saja, kapan saja. Hal ini memungkinkan individu yang awalnya tidak memiliki keterkaitan dengan kelompok teroris untuk menyerap narasi ekstremisme secara perlahan. Proses ini semakin diperkuat dengan adanya algoritma media sosial yang dapat mengarahkan pengguna ke konten yang selaras dengan pandangan mereka, termasuk ideologi radikal. Dengan demikian, seseorang yang awalnya hanya penasaran bisa dengan mudah terjebak dalam spiral radikalisasi tanpa harus berinteraksi langsung dengan perekrut atau anggota kelompok ekstremis.
Selain sebagai media penyebaran ideologi, internet juga mempermudah individu dalam merencanakan serangan tanpa meninggalkan jejak yang mencurigakan. Dari pencarian informasi tentang pembuatan bom, teknik penyerangan, hingga pemetaan target, semua bisa dilakukan secara daring. Bahkan, beberapa kasus menunjukkan bahwa pelaku serangan lone wolf menggunakan forum-forum khusus di dark web untuk berdiskusi dan mendapatkan inspirasi dari aksi-aksi serupa.
ADVERTISEMENT
Implikasi dan Tantangan dalam Pencegahan Lone Wolf Terrorism
Karena karakteristiknya yang berbeda dari terorisme kelompok, lone wolf terrorism menimbulkan tantangan besar dalam upaya deteksi dan pencegahannya. Tidak seperti kelompok teroris yang memiliki struktur organisasi dan jaringan komunikasi yang dapat diawasi, pelaku lone wolf bertindak secara mandiri dan sering kali tidak meninggalkan jejak yang jelas sebelum melakukan aksinya.
Seorang akademisi bernama Simon mendefinisikan lone wolf terrorism sebagai: "Penggunaan atau ancaman kekerasan, termasuk serangan siber dan sabotase non-kekerasan, terhadap pemerintah, masyarakat, bisnis, atau militer (selama tidak dalam perang atau konflik bersenjata) oleh individu yang bertindak sendiri atau dengan dukungan minimal dari satu hingga dua orang. Aksi ini bertujuan politik, sosial, keagamaan, finansial, atau serupa, dan meski tanpa tujuan spesifik, tetap dapat menimbulkan ketakutan, mengganggu kehidupan, serta mendorong respons keamanan yang lebih ketat."
ADVERTISEMENT
Salah satu pendekatan yang menurut saya perlu dipertimbangkan dalam upaya pencegahan adalah meningkatkan kesadaran dan mekanisme pelaporan terhadap dokumen atau pernyataan yang berpotensi sebagai manifesto ekstremis. Namun, langkah ini tidaklah mudah. Manifesto teroris tidak memiliki pola yang seragam, baik dari segi bentuk, bahasa, maupun platform tempat mereka dipublikasikan. Meskipun demikian, penelitian telah mengindikasikan adanya pola tertentu dalam manifesto yang ditulis oleh individu sebelum melakukan aksi teror. Jika pola ini dapat diidentifikasi secara lebih sistematis, maka ada peluang besar untuk mendeteksi ancaman lebih dini dan mengambil langkah pencegahan yang lebih efektif.
Selain itu, saya melihat perlunya kajian lebih mendalam mengenai ambang batas bukti yang diperlukan agar aparat kepolisian dapat mengambil tindakan sebelum aksi teror terjadi. Pelaku lone wolf sangat sulit dideteksi karena mereka tidak memberikan banyak tanda-tanda jelas sebelum bertindak. Jika manifesto dijadikan sebagai salah satu indikator awal, maka sistem hukum harus menyesuaikan diri dengan situasi ini. Mungkin diperlukan kebijakan baru yang memungkinkan tindakan pencegahan lebih cepat, baik dengan menurunkan standar jumlah bukti yang dibutuhkan untuk memulai penyelidikan maupun dengan menerapkan regulasi khusus bagi individu yang menunjukkan potensi radikalisasi. Namun, kebijakan ini harus disusun secara hati-hati agar tidak menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia atau menyebabkan tuduhan yang tidak berdasar.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif saya, penggunaan teknologi dalam deteksi dini aksi terorisme juga masih menjadi tantangan besar. Meskipun algoritma dan perangkat lunak dapat membantu dalam mengidentifikasi dokumen atau pernyataan yang berpotensi mengindikasikan serangan, efektivitas teknologi ini masih perlu diuji lebih lanjut. Bahkan, media sosial besar yang telah menginvestasikan banyak sumber daya dalam sistem keamanan masih gagal sepenuhnya mencegah penyebaran ideologi radikal. Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak manifesto ekstremis yang tidak muncul di platform besar, tetapi justru menyebar di situs-situs tersembunyi yang lebih sulit untuk dipantau.
Oleh karena itu, saya berpandangan bahwa pencegahan lone wolf terrorism tidak bisa hanya mengandalkan satu pendekatan saja. Diperlukan kombinasi strategi yang mencakup pemanfaatan teknologi, kebijakan yang lebih adaptif, serta peningkatan literasi digital di masyarakat agar lebih waspada terhadap tanda-tanda radikalisasi. Jika langkah-langkah konkret tidak segera diambil, bukan tidak mungkin bahwa fenomena lone wolf terrorism akan semakin sulit dicegah di masa depan.
ADVERTISEMENT