Konten dari Pengguna

Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

samsularifin98
Samsul arifin adalah seorang dosen di fakultas hukum universitas muhammadiyah surabaya
31 Januari 2024 13:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari samsularifin98 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber : pexels.com
ADVERTISEMENT
Perilaku menyimpang atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain dampak negatif dari pesatnya pembangunan, globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya hidup di kalangan sebagian orang tua.
ADVERTISEMENT
Perubahan-perubahan sosial tersebut secara signifikan mempengaruhi nilai dan perilaku anak. Selain itu, anak yang kurang mendapatkan kasih sayang, perhatian, bimbingan, dan pembinaan dalam sikap, perilaku, dan penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua atau wali, akan lebih mudah terseret ke dalam pergaulan dan lingkungan yang tidak sehat sehingga menghambat perkembangan pribadinya.
Hakim Agung, almarhum Artidjo Alkostar, pernah menyoroti terkait dengan proses peradilan pidana konvensional yang dianggapnya terlalu menyederhanakan masalah hak, martabat, dan kepentingan korban dan para pemangku kepentingan yang relevan. Hal ini menciptakan kesan bahwa begitu polisi atau jaksa menangani kasus dan pelaku dihukum dengan hukuman penjara atau denda, kekhawatiran dan kesejahteraan korban dan pemangku kepentingan tidak lagi relevan.
Namun, pendekatan ini gagal untuk memenuhi kepentingan moral dan material para korban dan pemangku kepentingan, karena denda yang dijatuhkan kepada pelaku masuk ke kas negara, dan mengabaikan nasib para korban.
ADVERTISEMENT
Untuk mengurangi dampak negatif dari proses peradilan pidana terhadap anak-anak, United Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) memberikan pedoman untuk mengalihkan kasus dari proses hukum formal. Pendekatan ini, yang dikenal sebagai DIVERSI, memberikan otoritas penegak hukum kewenangan untuk mengambil tindakan kebijakan dalam menangani pelanggaran anak.
Penjelasan Umum UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih lanjut menekankan pentingnya mencari penyelesaian alternatif di luar sistem peradilan, khususnya melalui diversi yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan restoratif.
Mengenal Diversi
Menurut Pasal 1 ayat 7 UU No. 11 Tahun 2012, "diversi" adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Hal ini berarti bahwa penyelesaian kasus yang melibatkan anak dialihkan dari sistem peradilan pidana. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk menghindari stigmatisasi dan memungkinkan anak untuk berintegrasi kembali ke dalam masyarakat dengan cara yang lebih tepat, dengan menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak dalam mencapai tujuan ini.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem peradilan pidana anak, proses diversi merupakan perkembangan terbaru di Indonesia, karena sebelumnya tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana. Diversi muncul setelah berlakunya UU No. 11 Tahun 2012 dan berfungsi sebagai sarana alternatif untuk menyelesaikan perkara pidana di luar sistem peradilan.
Menurut penulis, penerapan diversi yang mengacu pada pengalihan pelaku anak dari proses peradilan pidana formal menjadi sangat penting untuk mewujudkan sistem peradilan yang adil dan bermartabat baik bagi pelaku maupun korban tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Tujuannya adalah untuk menemukan solusi yang saling menguntungkan yang menjunjung tinggi martabat manusia dan menjamin keadilan, tidak hanya bagi pelaku tetapi juga bagi para korban, yang sering kali kehilangan rasa keadilan di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Selain bertujuan untuk mewujudkan peradilan yang bermartabat, Pasal 6 UU No. 11 Tahun 2012 menyatakan bahwa tujuan pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana anak adalah untuk mencapai: a) rekonsiliasi antara korban dan anak; b) penyelesaian perkara yang melibatkan anak di luar proses peradilan formal; c) penghindaran dari perampasan kemerdekaan bagi anak; d) mendorong peran serta masyarakat; dan e) menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Tujuan-tujuan tersebut menekankan pentingnya diversi sebagai sarana untuk mempromosikan keadilan restoratif dan rehabilitasi bagi anak yang terlibat dalam tindak pidana, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam prosesnya.
Landasan Pelaksanaan Diversi
Secara teknis, pelaksanaan diversi terdapat dalam semua tahapan. Mulai dari tahapan penyidikan di kepolisian, tahap penuntutan di kejaksaan, dan pengadilan. Salah satu poin penting yang menjadi landasan utama pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana anak ialah landasan sosiologis, dan yuridis.
ADVERTISEMENT
Landasan sosiologis mengacu pada pemahaman bahwa faktor-faktor sosial berkontribusi terhadap kenakalan remaja, seperti pengaruh globalisasi, kemajuan teknologi, pola asuh keluarga, dan pergaulan teman sebaya yang negatif. Untuk mengatasi masalah ini, perlu melibatkan komponen sosial seperti keluarga dan masyarakat, karena interaksi antara faktor sosial dan komponen sosial membentuk paradigma sosiologis untuk menangani pelanggar remaja. Pendekatan ini mengakui pentingnya menangani konteks sosial dan faktor lingkungan dalam menangani kenakalan remaja.
Landasan yuridis, merupakan landasan hukum yang menjadi dasar pelaksanaan diversi dalam konteks penanganan anak pelaku tindak pidana di Indonesia. Landasan yuridis tersebut meliputi Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pengadilan Anak, yang memperhatikan aspek perlindungan khusus bagi anak yang berhdapan dengan hukum (ABH).
ADVERTISEMENT
Ketentuan-ketentuan hukum tersebut menjamin berbagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak anak dan menjadi faktor penting yang mendorong diakomodasinya diversi dalam kerangka hukum di Indonesia.
Sebagai tambahan, secara teknis pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana Indonesia, hanya dapat diterapkan pada tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan ancaman pidana di bawah tujuh tahun dan belum memiliki catatan kriminal sebelumnya. Aparat penegak hukum wajib mengimplementasikan diversi pada tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan dalam sistem peradilan pidana anak.