Konten dari Pengguna

Jual Beli Buket Uang Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

samsul ma'arif
Mahasiswa UIN Syarifhidayatullah Jakarta
31 Juli 2024 10:42 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari samsul ma'arif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto dibuat oleh: Pixabay, https://www.pexels.com/id-id/pencarian/money%20bouqet/
zoom-in-whitePerbesar
Foto dibuat oleh: Pixabay, https://www.pexels.com/id-id/pencarian/money%20bouqet/
ADVERTISEMENT
Buket uang merupakan serangkaian uang yang disusun sedemikian rupa hingga membentuk rangkain yang cantik menyerupai rangkaian bunga. Tak asing lagi buket uang ini sangat digandrungi di dalam masyarakat, terutama kaum milenial yang biasanya diberikan kepada orang terkasih dalam acara lamaran, wisuda, hari guru, untuk kado ualang tahun, kado pernikahan dan lain-lain sesuai keinginan pemesan. Pembuatan buket uang ini, mempunyai banyak variasi tergantung dari permintaan pembeli, diantaranya bisa berbentuk kipas, berbentuk bunga ataupun lembaran-lembaran yang tersusun. Dengan dihiasi dengan tambahan bunga-bunga yang cantik dan hiasan lainnya membuat tampilan buket semakin mewah dan menawan.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, pembuatan buket dengan uang asli yang diperjualbelikan oleh para pengrajin buket menghasilkan permasalahan hukum antara boleh dan tidak boleh. Dalam kajian hukum Islam, sesuatu dianggap boleh atau tidak boleh, halal atau haram, mesti merujuk pada ketentuan dan prinsip yang telah diatur dalam Islam, apakai sesuai ataukah tidak sesuai. Dan untuk mengetahui bagaimana hukum buket uang asli dalam bahasan ini dapat kita lihat dalam sudut pandang akad transaksi yang dilakukan terhadap buket uang tersebut;
Akad Jual Beli buket Uang Asli
Akad jual beli adalah akad saling tukar menukar antara barang dengan barang (barter), dan atau tukar menukar antara barang (produk) dengan uang. Dalam akad jual beli terdapat ketentuan yang mengikat dan harus terpenuhi sehingga jual beli menjadi sah, halal, dan tidak berdosa, diantaranya ketentuan ketentuan terkait pelaku akad (aqidain), barang yang menjadi objek akad (ma’qud alaih), dan akad itu sendiri (sigat akad). Jika antara pengrajin buket uang asli dengan konsumen melakukan transaksi terhadap buket uang asli tersebut dengan menggunakan pola akad jual beli, maka menurut ulama hal ini termasuk ke dalam kategori riba, yaitu menukar uang dengan uang yang sejenis yang salah satunya terdapat kelebihan atau tambahan. Penentuan keharaman tukar menukar uang sejenis dengan salah satunya terdapat tambahan dan kelebihan dapat diilustrasikan sebagai berikut: “Pengrajin buket uang asli membuat produk buket uang dengan uang asli senilai 1 juta rupiah. Setelah buket uang asli tersebut sudah jadi dengan berbagai model dan hiasan, lalu buket uang asli tersebut dijual kepada konsumen dengan harga 1,3 juta rupiah. Maka pengrajin atau pedagang mendapatkan keuntungan 300 ribu rupiah dari penjual produk buket uang asli tersebut“.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan ilustrasi di atas, pengrajin dan konsumen melakukan pola akad transaksi jual beli terhadap produk barang berupa buket uang, dan menjadikan uang sebagai komoditas. Maka hal ini tidak sejalan dengan ketentuan syariah, yaitu bahwa uang dalam Islam hanya berlaku sebagai alat tukar, sehingga uang tidak bisa dijadikan sebagai komoditas barang yang dapat diperjual belikan, dengan kata lain bahwa jual beli buket uang dalam kasus ini termasuk kategori riba yaitu jual beli atau tukar menukar uang dengan uang yang sejenis yang salah satunya terdapat kelebihan atau tambahan. Dalil larangan yang menjelaskan tidak boleh adanya tambahan dalam pertukaran mata uang yang sejenis di antaranya adalah hadis dari Abu Sa'id alKhudri RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ADVERTISEMENT
لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَاعَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
“Janganlah kalian berjual beli emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian lebihkan yang satu atas yang lainnya. Janganlah kalian berjual beli perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan jangan kalian lebihkan yang satu atas yang lainnya, dan janganlah kalian berjual beli sesuatu (emas/perak) yang tidak hadir (tidak ada di majelis akad) dengan yang hadir (ada di majelis akad).” (HR Bukhari, no. 2031).
Dan hadits nabi saw yang berbunyi:
الذَّهبُ بالذَّهبِ . والفضَّةُ بالفِضَّةِ . والبُرُّ بالبُرِّ . والشعِيرُ بالشعِيرِ . والتمْرُ بالتمْرِ . والمِلحُ بالمِلحِ . مِثْلًا بِمِثْلٍ . سوَاءً بِسَواءٍ . يدًا كيفَ شئْتُمْ ، إذَا كانَ يدًا بِيَدٍ
ADVERTISEMENT
“emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka kalian, selama dilakukan dari tangan ke tangan (kontan)” (HR. Al Bukhari, Muslim no. 1587, dan ini adalah lafadz Muslim).
Foto dibuat oleh: Kindel Media, https://www.pexels.com/id-id/pencarian/sale%20and%20purchase%20agreement/
Praktik jual beli sesama jenis ini adalah bentuk tranksaksi yang tidak hanya menjual benda dengan benda saja, namun menjual kreatifitas dari pembuat sehingga dapat membentuk benda yang biasa menjadi istimewa untuk dijadikan hadiah, dalam praktik jual beli memang dilarang adanya jual beli benda yang sama kecuali dengan sama takarannya, seperti benda yang dijual adalah emas maka apabila melakukan jual beli emas harusnya jumlah emas yang diterima adalah sama takarannya, begitupun uang dengan uang yang sejenis. Dr. Musyaffa’ Addariny, lc., M.A yang dikutip dari akun youtube Fatwa TV Official dengan judul “Fatwa Hukum Jual Beli Buket Uang”, yang di upload pada 24 Oktober 2022 dan di akses oleh peneliti pada tanggal 18 Juni 2023 mengatakan bahwa hukum buket uang hukum asalnya tidak bolehkan, Kenapa? karena adanya riba karena nanti terjadi tukar menukar uang dengan uang yang kadarnya berbeda walaupun ada campuran barang lain tapi yang jelas bagian uangnya besar, bagian uangnya sehingga tidak bisa dikatakan uangnya itu hanya sebagai pengikut karena namanya saja bukan uang ya jadi presentasenya juga besar. Jadi nanti ada jual beli uang dengan uang yang kadarnya tidak sama.
ADVERTISEMENT
Akad Sewa Jasa Buket Uang Asli
Akad ijarah adalah akad sewa manfaat, baik manfaat barang maupun manfaat jasa. Sewa manfaat barang berarti seseorang menyewa dan mengambil manfaat dari suatu barang milik orang lain dalam jangka waktu tertentu dan berkewajiban membayar biaya sewa tersebut. Sewa manfaat jasa berarti seseorang diharuskan membayar atas suatu jasa pekerjaan yang dilakukan oleh orang lain untuknya. Jika antara pengrajin buket uang asli dengan konsumen melakukan transaksi terhadap buket uang asli tersebut dengan menggunakan pola akad sewa jasa (ijarah), maka menurut ulama hal ini termasuk ke dalam kategori yang diperbolehkan. Penentuan kebolehan akad transaksi sewa jasa ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: “ Pengrajin menerima pesanan dari konsumen untuk membuat buket uang asli, konsumen menginginkan bentuk dan model tertentu, buket uang dibentuk dan dipola dengan uang asli senilai 1 juta rupiah. Kemudian pengrajin menentukan harga buket uang tersebut seharga 1,3 juta rupiah jika tingkat kerumitan pembuatan buket uang tersebut rendah, dan harga 1,5 juta rupiah jika tingkat kerumitan dan kesulitannya tinggi. Maka pengrajin menentukan biaya upahnya berdasarkan tingkat kesulitan dari sebuah pekerjaan”.
ADVERTISEMENT
Dari ilustrasi di atas dapat diketahui bahwa keuntungan yang didapat pengrajin bukan keuntungan atas produk barang, melainkan dari sektor upah atas kinerja, dan upah tersebut besar kecilnya dapat ditentukan oleh tingkat profesionalisme maupun tingkat kesulitan suatu pekerjaan. Terdapat dalil-dalil dalam al-Qur’an dan hadist yang menyatakan adanya upah atas kinerja sebagai berikut : Terdapat pada surah dalam Q.S. Al-Thalaq ayat 6, Allah SWT berfirman:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“...Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya...” (Q.S Al-Thalaq: 6).
Tarsir ayat diatas menurut tafsir jalalain adalah pekerjaan menyusui anak orang lain dengan imabalan adanya upah (ujroh).
Selanjutnya terdapat dalam Hadist Riwayat Ibnu Majah:
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah).
ADVERTISEMENT
Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan. Begitu juga dengan uang yang dijadikan buket, dalam transaksi buket ini sama sekali tidak melanggar hukum islam karena adanya campur tangan penjual yang membuat sekumpul uang menjadi sebuah hadiah yang indah dan menawan, sehingga kelebihan uang yang dibayarkan oleh konsumen sebenarnya bukanlah uang yang tidak sebanding, melainkan uang upah yang di terima atas apa yang dipekerjakan juga tambahan aksesoris yang dibutuhkan untuk mempercantik pesanan buket tersebut. Maka dapat disimpulkan penggunaan uang kertas dalam bentuk buket sesuai dengan hukum Islam karena uang yang digunakan bukan sebagai objek jual beli akan tetapi pihak penjual hanya menawarkan jasa pembuatan buket dan mendapatkan upah dari kreatifitasnya. Sehingga dalam pemesanan buket tersebut bukan sebagai akad jual beli, melainkan akad sewajasa, berdasarkan kaidah fikih:
ADVERTISEMENT
“Yang dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan maknanya, bukan lafazh dan susunan redaksinya”
Para ulama sepakat, apabila seseorang mengatakan sesuatu tergantung kepada niat orang yang mengucapkannya. Oleh karena itu, apabila dalam akad secara lisan kalimat yang diucapkan oleh pihak yang berakad dengan lafaz yang jelas, maka hukum yang diperoleh adalah sesuai dengan lafaz itu. Tetapi manakala suatu akad terjadi suatu perbedaan antara niat atau maksud sipembuat dengan lafaz akad yang diucapkannya, maka yang harus dianggap sebagai suatu akad adalah maksudnya selama masih dapat diketahui. Oleh karena itu, jika ada dua orang mengadakan suatu akad dengan lafaz memberi barang dengan syarat adanya pembayaran harga barang itu, maka akad ini dipandang sebagai akad jual beli, karena akad yang terakhir ini adalah ditunjuki oleh maksud dan makna dari sipembuat akad, bukan akad pemberian sebagaimana dikehendaki oleh lafaz, berdasarkan kaidah:
ADVERTISEMENT
“Segala perkara tergantung dengan maksudnya.”
Niat sebagaimana mungkin tercermin dalam kata-katanya, tetapi tidak berlaku dalam urusan akadakad kebendaan. Artinya khusus dalam kasus akad kebendaan, maka makna penting niat sebagaimana dikaidahkan dalam kaidah pokok tidak berlaku. Apa yang dipentingkan adalah bentuk luar dari akad itu sendiri (Azhari, 2015). Dengan demikian, kasus akad kebendaan menjadi kasus pengecualian (istitsna’) bagi kasus-kasus dalam bagian niat. Dalam Penerapan Qaidah Fiqhiyyah Muamalah:
“Yang dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan maknanya, bukan lafazh dan susunan redaksinya.”
Buket Uang dalam Perspektif Hukum Positif
Zaman yang semakin modern membuat pegiat seni terus berinovasi diantaranya inovasi dalam merangkai buket, mereka menciptakan berbagai inovasi dari buket itu sendiri. Secara umum rangkaian buket dikenal terbuat dari bunga, namun kini ada buket yang terbuat dari snack, hijab, perlengkapan bayi dan makanan ringan bahkan masih banyak lagi inovasi-inovasi pengerajin tentang buket, bahkan sekarang ini ada juga buket yang terbuat dari uang kertas asli yang menjadi trend di kalangan masyarakat. Buket yang terbuat dari uang kertas asli sangat banyak diminati oleh kalangan milenial karena memiliki daya tarik tersendiri daripada buket yang lainnya. Meningkatnya permintaan pasar mengenai kerajinan uang pada saat ini menjadi peluang yang sangat besar bagi masyarakat untuk memanfaatkan kreativitasnya menjadi pengrajin uang, yang menyebabkan menjamurnya pengrajin uang di Indonesia, sehingga dengan menjamurnya pengrajin uang kertas, maka menyebabkan permintaan kerajinan uang asli semakin besar. Dengan adanya peningkatan permintaan pasar tersebut membuat pengrajin tidak lagi menghiraukan himbauan Bank Indonesia untuk tidak menggunakan uang asli sebagai pengrajin.
ADVERTISEMENT
a. Prinsip Dasar Jual beli dalam Hukum Positif
Jual beli merupakan perbuatan dua pihak, pihak yang satu sebagai penjual ataupun yang menjual dan pihak yang lain sebagai pembeli ataupun yang membeli, maka dalam hal ini terjadilah suatu peristiwa hukum yaitu jual beli. Jual beli merupakan peristiwa hukum pada ranah perdata. Sedangkan menurut R. Soeroso, jual beli termasuk peristiwa hukum majemuk yaitu terdiri dari lebih dari satu peristiwa yakni pada jual beli akan terjadi peristiwa tawar menawar, penyerahan barang, penerimaan barang. Dalam sejarahnya, perlindungan konsumen pernah secara prinsipal menganut asas the privity of contract. Artinya, pelaku usaha hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban hukumnya sepanjang ada hubungan kontaktual antara dirinya dan konsumen. Sehingga ada pandangan bahwa hukum perlindungan konsumen berkolerasi erat dengan hukum perikatan, khususnya perikatan perdata. Istilah perjanjian jual beli berasal dari terjemahan cantract of sale. Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH Perdata. Yang dimaksud dengan jual beli adalah Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan (Buku III BW/burgerlijk wetboek voor Indonesia atau disebut sebagai Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata) bab ke lima tentang jual beli pada pasal 1457 KUHP perdata.
ADVERTISEMENT
b. Dasar Hukum Atas Penggunaan Uang Asli
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat memiliki simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia. Salah satu simbol kedaulatan negara tersebut adalah Mata Uang. Mata Uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia adalah Rupiah. Rupiah dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam kehidupan perekonomian suatu negara, peranan uang sangatlah penting karena uang mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai alat penukar atau alat pembayar dan pengukur harga sehingga dapat dikatakan bahwa uang merupakan salah satu alat utama perekonomian.
Dengan uang perekonomian suatu negara akan berjalan dengan baik sehingga mendukung tercapainya tujuan bernegara, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Selain itu, jika dilihat secara khusus dari bidang moneter, jumlah uang yang beredar dalam suatu negara harus dikelola dengan baik sesuai dengan kebutuhan perekonomian. Karena melihat perannya yang sangat penting, uang harus dibuat sedemikian rupa agar sulit ditiru atau dipalsukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Di sinilah peran otoritas yang profesional sangat diperlukan untuk menentukan ciri, desain, dan bahan baku Rupiah, di sahkan oleh Setio Sapto Nugroho (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64) Berdasarkan tinjauan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, uang merupakan alat pembayaran yang sah yang beredar di masyarat untuk memenuhi setiap kebutuhan. Setiap orang boleh memilikinya asalkan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan tidak melanggar UU Nomor 7 Tahun 2011 yang telah ditetapkan. Di dalam UU Nomor 7 Tahun 2011 terdapat larangan penyalahgunaan uang kertas seperti halnya disebutkan dalam pasal dan pasal 25 ayat 1 dan 2 yaitu :
ADVERTISEMENT
1) Setiap orang dilarang merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara.
2) Setiap orang dilarang membeli atau menjual Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah.
Seperti penjelasan undang-undang nomor 7 tahun 2011 pada pasal 25 pada ayat (1) sudah sangat dijelaskan larangan terhadap rupiah terkait merusak rupiah. Larangan merusak rupiah memotong, merubah bentuk rupiah untuk merendahkan kehormatan simbol negara. Kemudian pada ayat (2) juga menjelaskan bahwasanya setiap orang dilarang membeli atau menjual rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan atau diubah. Pada pasal 25 ayat 1 dan ayat 2 sudah sangat jelas bahwa setiap orang yang merusak rupiah dengan cara mengubah bentuk rupiah tersebut termasuk sebuah pelanggaran (UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG, 2011). Dalam pembuatan buket uang asli yang dilakukan oleh Rafa florist, @Mimbar kado dan Aqsyf Craft diatas, dalam pembuatannya mereka melapisi uang tersebut menggunakan plastik yaitu dengan palstik kaca (plastik opp). Secara Undangundang mereka tidak melenggar karena mereka tidak memotong, tidak merusak hanya dilipat saja. Sehingga masih terjaga nilai mata uang tersebut. Mereka tidak melanggar seperti dalam UU Nomor 7 Tahun 2011 yaitu adanya larangan penyalahgunaan uang kertas seperti halnya disebutkan dalam pasal 25 seperti yang disebutkan diatas yaitu larangan tidak merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dan membeli atau menjual Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil penelitian mengenai uang asli dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif, peneliti menarik kesimpulan sebagai berikut: Buket uang asli dalam perspektif hukum Islam diperbolehkan jika dalam transaksinya menggunakan akad ijarah (sewa jasa), bukan akad jual beli, sehingga keuntungan yang didapatkan adalah sebagai bentuk upah, bukan keuntungan dari penjualan produk, karena mengandung unsur riba. Buket uang asli dalam perspektif hukum positif diperbolehkan selama tidak adanya larangan yang dilanggar yaitu dalam bentuk untuk merusak, memotong, ataupun mengubah uang (rupiah) sebagaimana fungsinya. Penggunaan buket uang boleh selama tidak bertentangan dengan Undang-undang nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang pada pasal 25 ayat 1 dan ayat 2.
Samsul Maarif, Mahasiswa Hukum Pidana Islam, UIN Syarifhidayatullah Jakarta.
ADVERTISEMENT