Konten dari Pengguna

Metode Pembagian Harta Warisan Terhadap Anak Angkat di Indonesia

samsul ma'arif
Mahasiswa UIN Syarifhidayatullah Jakarta
22 Juli 2024 11:37 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari samsul ma'arif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto dibuat oleh: Pixabay, https://www.pexels.com/id-id/pencarian/inheritance%20law/
zoom-in-whitePerbesar
Foto dibuat oleh: Pixabay, https://www.pexels.com/id-id/pencarian/inheritance%20law/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Anak angkat adalah anak yang bukan keturunan dari suami istri namun diambil dipelihara dan diperlakukan seperti halnya anak keturunannya sendiri sehingga antara anak yang mengangkat dan orang yang mengangkat anak tersebut timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dan anak kandungnya sendiri. Tindakan pengangkatan anak ini tidak menimbulkan terputusnya hubungan darah antara si anak dan orang tua kandungnya. Tujuan terbesar dalam pengangkatan anak adalah untuk semata-mata meningkatkan kesejahteraan anak angkat itu sendiri terutama dalam kedudukannya mendapatkan harta warisan orang tua angkatnya. Definisi pengangkatan anak terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, pengertian adopsi atau pengangkatan anak dirumuskan sebagai berikut : Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga anak angkat.
ADVERTISEMENT
Masalah pengangkatan anak ini sering terjadi dan menjadi permasalahan yang patut diperhatikan terutama dalam pembagian harta warisan. Setelah dikaji di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mencantumkan tentang kedudukan anak angkat dalam mendapatkan harta warisan tetapi hanya mengatur tentang “kedudukan anak” yaitu dalam Pasal 42 yang berbunyi: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”
Dalam Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 Pasal 5 sampai dengan Pasal 15, kedudukan anak angkat terdapat pada Pasal 12 yang menyamakan “seorang anak angkat dengan anak yang sah dari perkawinan orang yang mengangkat”. Dengan demikian, anak angkat didalam keluarga mempunyai kedudukan yang sama dengan anak kandung atau anak yang terlahir dari orang tua angkatnya. Hal itu pun berakibat terhadap kesamaan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anak angkat termasuk pada pembagian harta warisan orang tua angkatnya apabila meninggal dunia. Jadi kedudukan anak angkat dalam menerima harta warisan sama dengan anak sah seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 42 menyatakan bahwa: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Begitu juga dengan anak angkat walaupun bukan anak sah tetapi mempunyai kedudukan yang sama dimata hukum terutama dalam pembagian harta warisan.
ADVERTISEMENT
Namun, kedudukan anak angkat dalam harta warisan yang akan diberikan oleh orang tua angkatnya terjadi perbedaan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kompilasi Hukum Islam. KUH Perdata tidak mengatur tentang pengangkatan anak hal ini membawa akibat tidak ada pengangkatan anak berdasarkan KUH Perdata. Akan tetapi Perang Dunia II di Belanda telah lahir UU Tentang Pengangkatan Anak, yaitu : Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 yang menyatakan: bahwa anak adopsi memiliki hubungan keperdataan secara hukum dan disamakan kedudukannya sebagai anak yang lahir dari orang tua angkatnya, sehingga dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkatnya.
Aturan yang berkaitan dengan perbuatan hukum tersebut diatur dalam berbagai produk hukum, antar lain dalam Staatsblad No 129 Tahun 1917 tentang Pengangkatan Anak khusus bagi Golongan Tionghoa, Undang Undang No. 4 Tahun 2002 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 23 (c) Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,11 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, 12 SEMA No. 2 Tahun 1979 Jo. SEMA No. 6 Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak. 13 SEMA No. 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak.
ADVERTISEMENT
Pengaturan mengenai Waris dan yang berhubungan dengan ahli waris secara tertulis diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) serta dalam bentuk hukum kebiasaan bagi yang menggunakan sistem Hukum Adat. Dari sinilah akan digali mengenai hak waris anak angkat berdasarkan kedua sistem tersebut.
Di Indonesia memiliki berbagai macam cara dalam pembagian hak waris, penulis akan membahas terkait sistem hak waris pada anak angkat yang berlaku di Indonesia : sistem hukum waris menurut KUH perdata, sistem waris menurut hukum islam, sistem hukum waris menurut hukum adat. Dalam KUH Perdata menggunakan istilah Legitieme Portie karena pewarisan baru ada eksistensinya, bilamana si erflater telah meninggal dunia, maka dengan begitu terdapat peralihan hak milik kepada erfgenaam. Kemudian mengenai bagaimana cara dan siapa yang berhak atas harta waris dari erflater, BW telah mengaturnya dalam dua (2) bentuk yaitu secara keturunan ab intenstato dan berdasarkan testamenteir erfrecht. Sedangkan mengenai subjek yang berhak atas harta waris BW menentukan tiga pihak : Erfgenaam, Negara dan Pihak Ketiga. Berdasarkan pengertian tersebut terdapat syarat-syarat untuk peralihan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya meliputi syarat umum dan syarat mutlak. Adapun yang menjadi syarat umum adalah: a) adanya orang yang meninggal dunia (Pasal 830 KUH Perdata); b) ahli waris yang ditinggalkan (Pasal 836 KUH Perdata); c) tentang hal pembayaran hutang (Pasal 1100 KUH Perdata). Sedangkan yang menjadi syarat mutlak adalah harus ada orang yang meninggal (Pasal 830 KUH Perdata), kecuali dapat terjadi dalam keadaan tidak hadir (Pasal 467 jo Pasal 470 KUH Perdata) bahwa pewaris belum meninggal. Syarat kematian atau harus ada orang yang meninggal ini disamping syarat umum juga merupakan syarat mutlak. pewaris kepada ahli warisnya meliputi syarat umum dan syarat mutlak. Adapun yang menjadi syarat umum adalah: a) adanya orang yang meninggal dunia (Pasal 830 KUH Perdata); b) ahli waris yang ditinggalkan (Pasal 836 KUH Perdata); c) tentang hal pembayaran hutang (Pasal 1100 KUH Perdata). Sedangkan yang menjadi syarat mutlak adalah harus ada orang yang meninggal (Pasal 830 KUH Perdata), kecuali dapat terjadi dalam keadaan tidak hadir (Pasal 467 jo Pasal 470 KUH Perdata) bahwa pewaris belum meninggal. Syarat kematian atau harus ada orang yang meninggal ini disamping syarat umum juga merupakan syarat mutlak.
ADVERTISEMENT
Cara mewarisi ahli waris dalam sistem KUH Perdata terbagi atas 2 (dua) macam yaitu :
a. Ahli waris menurut UU (Ab Intenstato) Ahli waris menurut UU ab intensato adalah ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris. Ahli waris yang berdasarkan undang-undang ini berdasarkan kedudukannya dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1) Ahli waris berdasarkan kedudukan sendiri (Uit Eigen Hoofde). Ahli waris yang tergolong golongan ini adalah yang terpanggil menerima harta warisan berdasarkan kedudukannya sendiri dalam Pasal 85 ayat (2) KUH Perdata dinyatakan : “mereka mewaris kepala demi kepala jika dengan meninggal mereka memiliki pertalian derajat dengan kesatu dan masing masing mempunyai hak dengan diri sendiri.”
2) Berdasarkan Penggantian (Bij Plaatvervuling). Ahli waris yang menerima ahli waris dengan cara menggantikan, yakni ahli waris yang menerima warisan sebagai pengganti ahli waris yang berhak menerima warisan yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Ahli waris Bij Plaatvervuling diatur dalam Pasal 841- 848 KUH Perdata.
ADVERTISEMENT
b. Ahli waris berdasarkan wasiat (testament) Yang menjadi ahli waris disini ialah orang yang ditunjuk atau diangkat oleh pewaris dengan surat wasiat sebagai ahli warisnya (erfstelling), yang kemudian disebut sebagai ahli waris ad testamento. Wasiat atau testament dalam KUH Perdata adalah pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia. Pada asasnya suatu pernyataan kemauan terakhir itu ialah keluar dari salah satu pihak saja dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh pewasiat secara tegas atau secara diam-diam.
Aturan Testament yang terdapat dalam Pasal 874 KUH Perdata ini mengandung suatu syarat yang mana bahwa testament tidak boleh bertentangan dengan Legitime Portie dalam Pasal 913 KUH Perdata dan yang paling lazim adalah suatu testament berisi apa yang dinamakan erfstelling yaitu penunjukan seseorang atau beberapa orang menjadi ahli waris yang akan mendapatkan harta warisan seluruh atau sebagian dari harta warisan.
ADVERTISEMENT
Ahli waris pengganti dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu :
1) Penggantian dalam garis lurus kebawah;
2) Penggantian dalam garis lurus kesamping;
3) Penggantian dalam garis ke samping menyimpang;
Ketentuan Pasal 852 KUH Perdata merupakan bentuk hak untuk mewarisi harta waris seorang anak angkat yang telah diakui secara sah menurut hukum sekalipun ia tidak didasarkan atas suatu testament tertulis. Sedangkan hak mewaris anak angkat yang diangkat secara sah menurut hukum terhadap harta orang tua kandungnya harus ditinjau menurut Stb. No 129 Tahun 1917 dan menurut UU No 23 Tahun 2002.
Pada dasarnya sistem pewarisan atau penentuan siapa yang mempunyai kedudukan sebagai ahli waris adalah didasarkan pada keturunan atau adanya hubungan darah atau ab intestato dan secara wasiat atau testament merujuk pada siapa yang berkedudukan sebagai ahli waris yang mempunyai hak mutlak atau legitieme portie atau bagian harta warisan yang akan diberikan kepada para ahli waris baik dalam garis lurus ke atas maupun ke bawah.26 Oleh karena itu seorang anak angkat tidak memiliki hubungan darah dengan orang tua angkatnya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya berbeda dengan hak mewaris menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pembagian harta warisan, dimana dalam Hukum Islam ahli waris dapat dikelompokkan menjadi tiga (3) bagian yakni : (1) Ashabul furudh, (2) Ashabah, (3) Dzawil Arham. Dalam pengelompokkan ahli waris yang diatur dalam pasal 174 KHI, yaitu:
a. Kelompok ahli waris terdiri dari :
1) Hubungan darah:
- Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek.
2) Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda
b. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda/duda.
Kedudukan anak angkat menurut KHI tetap sebagai anak yang sah berdasarkan keputusan pengadilan dengan tidak memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya, dikarenakan prinsip pengangkatan anak menurut KHI adalah merupakan manifestasi keimanan yang terwujud dalam bentuk memelihara anak orang lain sebagai anak dalam bentuk pengasuhan anak dengan memberikan segala kebutuhan hidupnya.
ADVERTISEMENT
Hak waris anak angkat yang dilaksanakan melalui wasiat wajibah harus terlebih dahulu dilaksanakan dibandingkan pembagian warisan terhadap anak kandung atau ahli waris. Aturan yang menjadi landasan hukumnya terdapat di dalam Pasal 175 KHI, tentang kewajiban ahli waris terhadap pewaris, dimana salah satu kewajibannya tersebut terdapat kewajiban untuk menunaikan segala wasiat dari pewaris. Wasiat ini tetap dilaksanakan, baik diucapkan, atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal dunia.
Wasiat wajibah merupakan wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau bergantung kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap dilaksanakan, baik diucapkan atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal dunia. Jadi pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut tidak diucapkan, dituliskan atau dikehendaki tetapi pelaksanaannya didasarkan pada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut dilaksanakan. Landasan yang bisa digunakan untuk menjadi aturan mengenai wasiat wajibah terhadap anak angkat sebagaimana yang di atur dalam Pasal 209 KHI ini sebagai bagian dari Fiqh hanyalah melalui metode Ijtihad istishlah, urf dan istihan. Sama halnya seperti wasiat wajibah terhadap cucu yatim. Maksudnya dengan pertimbangan kemaslahatan dan adat sebagian masyarakat Indonesia maksudnya (keengganan melakukan poligami walaupun telah bertahun tahun tidak dikaruniai keturunan maka wasiat wajibah untuk orang yang dianggap sebagai anak angkat itu boleh diberikan.
ADVERTISEMENT
Didalam KHI pengaturan mengenai wasiat wajibah disebutkan dalam Pasal 209 ayat (1) dan (2), yang berbunyi sebagai berikut :
1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 di atas, sedangkan bagi orang tuan angkat yang tidak menerima warisan wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkat.
2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah, sebanyak banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Peraturan pemberian wasiat terhadap anak angkat melalui wasiat wajibah ini sesungguhnya dianggap baru apabila dikaitkan fiqh tradisional, bahkan peraturan perundang-undangan mengenai kewarisan yang berlaku diberbagai dunia Islam. Al-Qur’an secara tegas menolak penyamaan hubungan karena pengangkatan anak yang telah berkembang di adat masyarakat Arab Madinah waktu itu dengan hubungan karena pertalian darah.
ADVERTISEMENT
Adapun pemberian wasiat harus memenuhi dua syarat yaitu :
Pertama : Yang wajib menerima wasiat bukan ahli waris. Jika dia berhak menerima pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib wasiat dibuat untuknya.
Kedua : Orang yang meninggal baik kakek maupun nenek, belum memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain seperti hibah umpamanya dan jika dia telah memberikan kurang daripada jumlah wasiat wajibah, maka wajibalah disempurnakan pada saat itu.
Sistem Hukum Waris menurut Hukum Adat, sistem hukum adat adalah hukum rakyat yang hidup dan tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Negara.34 Dengan demikian jelas bahwa keberadaannya lahir dan berakar dalam masyarakat itu sendiri, yang masih digunakan dalam lapangan hukum perdata, khususnya dalam perkara waris yang membahas mengenai “harta peninggalan yang tidak dibagi (harta pusaka), harta benda yang dibagi, harta benda keluarga (familiegoerderen), barang keramat, dan barang keluarga (gezingoderen), barang persekutuan, utang (schulden), dan kedudukam janda.” Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Hal ini berhubungan erat dengan sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaan serta sistem kewarisan. Bagi keluarga yang Parental, Jawa misalnya, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali kekeluargaan antara anak itu dengan orang tua kandungnya. Oleh karenanya selain mendapatkan hal waris dari orang tua angkatnya, dia juga tetap berhak atas hak waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya kedalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya. Demikian halnya di Minahasa, pengangkatan anak berakibat putusnya hubungan si anak dengan orang tua angkatnya dan menjadi bagian dari keluarga yang mengangkatnya menjadi anak, dengan membawa nama keluarga baru tersebut dan meneruskan keturunan dan kedudukan orang tua angkatnya. Seperti yang terjadi dalam hukum adat Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya. Jadi terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa, yaitu :
- Anak angkat berhak atas harta warisan orang tua asal (kandung)
- Anak angkat berhak atas harta warisan orang tua angkat dengan bagian tertentu atau jumlah terbatas (tidak boleh melebihi bagian anak kandung)
- Anak angkat berhak atas harta gono-gini.
Putusan Mahkamah Agung (MA) RI Hak Mewaris Anak Angkat atas Perkara : Ahmad K, lawan Ny. Rukmini Cs. No. 82 K/Sip/1957 tanggal 5 Maret 1958. Menurut Hukum Adat Peringanan seorang anak kukut atau seorang anak angkat tidak dapat mewaris barang-barang pusaka (asli) dari orang tua angkatnya. Barang pusaka itu hanya dapat diwaris oleh ahli waris keturunan darah (dalam perkara ini saudara-saudara) dari yang meninggal.
ADVERTISEMENT
Menurut Hukum Adat di Jawa Tengah anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta goni-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (asli) anak angkat tidak berhak mewarisinya hal ini tergali dari Perkara: Ny. Suriyah lawan Kartomejo Cs. MA. No. 37 K/Sip/1959 tanggal 18 Maret 1959. 38 Menurut Hukum Adat yang berlaku berhak mewarisi harta gono-gini orang tua angkatnya sedemikian rupa, sehingga ia menutup hak mewaris para saudara orang tua angkatnya (ahli waris asli) Perkara: Kasrim lawan Ny. Siti Maksum Cs. MA. No. 102 K/Sip/1972 tanggal 23 Juli 1977.
Dari putusan M.A R.I di atas terlihat jelas bahwa hak mewaris dari anak angkat dirumuskan sebagai berikut :
1. Anak angkat berhak mewaris terbatas pada harta gono-gini (harta bersama)
ADVERTISEMENT
2. Anak angkat tidak berhak mewaris terhadap harta pusaka (asli)
3. Anak angkat bisa menutup hak mewaris ahli waris asal.
Mengenai pengangkatan anak di Indonesia sampai sekarang belum mempunyai Undang Undang Pengangkatan Anak secara nasional. Hanya ada satu ketentuan-ketentuan yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung yang berisi pedoman dan petunjuk bagi para Hakim untuk mengambil keputusan atau membuat ketetapan bila ada permohonan pengangkatan anak yaitu SEMA No. 2 Tahun 1917 yang telah disempurnakan oleh SEMA No. 6 Tahun 1983, serta Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan adanya penyempurnaan tersebut maka dimungkinkan adanya suatu kepastian hukum terhadap adanya proses pengangkatan anak dan biasanya pengangkatan anak dilakukan dengan cara adat saja dan hanya ada beberapa orang tua angkat yang mau datang ke Pengadilan Negeri untuk meminta pengesahan pengangkatan anak yang mereka lakukan agar mempunyai kepastian hukum.
ADVERTISEMENT
Samsul Maarif, Mahasiswa Hukum Pidana Islam, UIN Syarifhidayatullah Jakarta