Konten dari Pengguna

Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia Tentang Pidana Pengawasan KUHP Terbaru

samsul ma'arif
Mahasiswa UIN Syarifhidayatullah Jakarta
10 Januari 2025 15:25 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari samsul ma'arif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto dibuat oleh: Kat Wilcox, https://www.pexels.com/id-id/pencarian/criminal/
zoom-in-whitePerbesar
Foto dibuat oleh: Kat Wilcox, https://www.pexels.com/id-id/pencarian/criminal/
ADVERTISEMENT
Sistem hukum pidana Indonesia telah mengalami berbagai perubahan signifikan untuk menyesuaikan dengan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya yang terus berkembang. Salah satu aspek penting dalam pembaharuan hukum pidana yang tertuang dalam KUHP Nasional adalah pengenalan pidana pengawasan sebagai upaya menciptakan keseimbangan dalam penegakan hukum yang lebih manusiawi dan adil. Agenda pembaharuan hukum pidana di Indonesia diperlukan analisis yang komprehensif untuk mengembangkan kebijakan pidana pengawasan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengkategoripidana pengawasan sebagai jenis pidana pokok. Untuk memastikan keadilan dalam pemidanaan perlu dipertimbangkan berbagai sudut pandang, termasuk prosedur pelaksanaan pengawasan terhadap pidana pengawasan. Kebijakan pembaharuan hukum pidana hingga saat ini masih terus diperdebatkan pada lembaga legislatif, baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil, serta hukum pelaksanaan pidana.
ADVERTISEMENT
Pembaharuan hukum pidana yang tercantum dalam KUHP Nasional bertujuan untuk lebih memenuhi asas keseimbangan melalui berbagai perubahan signifikan, terutama dalam hal pidana pengawasan. KUHP Nasional memperkenalkan pidana pengawasan sebagai hukuman utama yang memungkinkan pelaku menjalani hukuman di luar penjara dengan pengawasan ketat, memberikan alternatif yang lebih fleksibel dan manusiawi bagi pelaku kejahatan. Pendekatan ini menekankan rehabilitasi dan restorasi, memberi kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki diri dan berkontribusi kepada masyarakat, sejalan dengan prinsip keadilan restoratif. Dengan adanya pidana pengawasan, diharapkan jumlah narapidana di lembaga pemasyarakatan dapat berkurang, sehingga kondisi penjara menjadi lebih manusiawi dan fokus pada rehabilitasi narapidana yang memerlukan pengurungan. Pembaharuan ini juga bertujuan melindungi hak asasi manusia dengan menghindari efek negatif dari pidana penjara yang merusak secara fisik dan psikologis terhadap pelaku kejahatan. Selain itu, dengan memberikan alternatif hukuman seperti pidana pengawasan, sistem hukum pidana diharapkan lebih efektif dalam mencapai tujuan pemidanaan, termasuk pencegahan, penjeraan, dan rehabilitasi.
ADVERTISEMENT
Pendekatan retributif yang bersifat represif masih digunakan dalam sistem hukum di Indonesia saat ini, sehingga banyak pelaku kejahatan yang dijatuhi hukuman penjara. Namun, agar pemidanaan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan dan memenuhi hak semua pihak, diperlukannya perubahan paradigmapemidanaan menjadi restoratif. Perubahangg ini harus dilakukan melalui perubahan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum, sehingga penegakan hukum pidana di Indonesia menjadi lebih efektif.
Upaya mendapat sistem hukum yang adil dalam menangani tindak pidana ringan, diperlukan kebijakan dalam melakukan reformasi hukum pidana. Hal ini bertujuan untuk penggunaan sanksi pidana lebih tepat dan efisien dalam memberantas kejahatan. Aturan-aturan yangmelarang suatu tindakan dan mengancam dengan sanksi pidana harus terintegrasi dalam suatu sistem pemidanaan. Pidana jenis ini berkaitan dengan tuntutan pidana dan harus disusun secara sistematis berdasarkan fakta-fakta terakit tindak pidana yang menjadi dasar bagi kontruksi hukum penuntutan. Penuntutan harus sesuai dengan keadaan pelaku dan korban, serta kondisi sosial masyarakat. Selain itu, untuk mengoptimalkan penuntutan pidana, perlu ditekankan pada nilai-nilai keadilan dengan memberikan akses yang sama kepada semua pihak yang mencari keadilan. Semua hal ini diharapkan dapat berjalan dengan semangat nilai-nilai kejujuran dan keadilan dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pidana pengawasan yang diatur dalam Pasal 79 KUHP Nasional merupakan pengganti pidana bersyarat dan dapat diterapkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara maksimal 7 (tujuh) tahun. Oleh karena itu, pidana pengawasan ini tidak berlaku untuk semua tindak pidana yang berat sifatnya. Menurut Barda Nawawi Arief, batasan ancaman pidana penjara maksimum 7 (tujuh) tahun tampaknya dirancang oleh pembuat konsep untuk memberikan ukuran objektif terhadap tindak pidana yang dianggap tidak terlalu berat. Selain itu, batasan ini juga tampaknya bertujuan untuk mengobjektifkan penilaian terhadap sikap batin pelaku yang dianggap tidak begitu jahat, meskipun ukuran tersebut tidak dinyatakan secara eksplisit.
Jika membandingkan pidana bersyarat dalam KUHP dengan pidana pengawasan, terdapat beberapa perbedaan sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Pidana pengawasan dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau kurang. Sementara itu, dalam WvS, pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam putusan yang memberikan hukuman penjara selama maksimal 1 (satu) tahun atau hukuman kurungan, kecuali hukuman kurungan sebagai pengganti denda. Selain itu, dalam kasus pidana denda hakim harus yakin bahwa pembayaran denda tersebut akan dirasa berat oleh terdakwa.
2. Pidana pengawasan dapat diberlakukan dengan batas waktu maksimal 3 (tiga) tahun, sedangkan masa percobaan dalam pidana bersyarat memiliki durasi 3 (tiga) tahun untuk kejahatan dan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 492, 504, 506, dan 536 KUHP, dan 2 (dua) tahun untuk pelanggaran lainnya.
ADVERTISEMENT
3. Dalam pidana pengawasan, pengawasan dilakukan oleh pejabat pembina yang memiliki kewenangan untuk meminta bantuan dari Pemerintah Daerah, lembaga sosial, atau pihak lain. Sedangkan pada pidana bersyarat terdapat dua jenis pengawasan, yaitu pengawasan umum yang dilakukan oleh jaksa, dan pengawasan khusus yang dilakukan oleh lembaga berbentuk badan hukum, pemimpin rumah penampungan, atau pejabat yang ditunjuk.
4.Pidana pengawasan merupakan hukuman yang berdiri sendiri (standalone punishment),sementara pidana bersyarat adalah metode penerapan hukuman (modality of punishment).
Implementasi pidana pengawasan memerlukan kerjasama yang erat antara berbagai lembaga terkait, termasuk peradilan, lembaga pemasyarakatan, dan lembaga sosial. Pelaksanaan pidana pengawasan memerlukan sumber daya yang memadai, termasuk petugas pengawas yangterlatih dan infrastruktur yang mendukung. Tanpa sumber daya yang cukup, efektivitas program ini dapat terhambat. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa ada dukungan yang memadai dari pemerintah dan masyarakat untuk memastikan keberhasilan implementasi pidana pengawasan. Menjalankan pidana pengawasan dengan efektif,diperlukan peradilan pidana yang memiliki integritas yang baik. Substansi hukum pidana harus disinkronkan untuk menghindari konflik, baik dalam hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Strukturhukum juga harus disinkronkan sehingga semua lembaga penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa, advokat, dan lembaga kemasyarakatan tidak saling menyalahkan satu sama lain. Selain itu, budaya hukum harus dipertimbangkan oleh struktur hukum dalam penegakan hukum pidana. Integrasi peradilan sangat penting untuk memastikan bahwa pelaksanaan pidana pengawasan di masa mendatang berjalan dengan efektif dan tidak menjadi beban baru dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Meskipun KUHP nasional telah menjelaskan mengenai pidana pengawasan, belum ada penjelasan secara rinci mengenai implementasi pengawasan dan hukum acara pidana. Oleh karena itu, perlu dikonsepkanformat penegakan hukum pidana pengawasan sejak awal agar pelaksanannya dapat berjalan dengan efektif, termasuk lembaga yang bertanggung jawab atas pengawasan terhadap terpidana pengawasan.Pidana pengawasan perlu dievaluasi secara terus-menerus untuk mengidentifikasi kelemahan dan mengembangkan strategi perbaikan. Evaluasi yang berkelanjutan penting untuk memastikan bahwa program ini tetap relevan dan efektif dalam jangka panjang. Dengan mengevaluasi dan memperbaiki program pidana pengawasan, sistem peradilan pidana dapat terus meningkatkan efektivitasnya dalam mencapai tujuan pemidanaan.
Asas keseimbangan dalam KUHP Nasional diharapkan mampu menjadi pertimbangan bagi para penegak hukum dalam menegakkan keadilan. Pembaharuan hukum pidana di Indonesia harus bersumber dari ide dasar Pancasila yang merupakan landasan nilai-nilai kehidupan kebangsaan. Dalam menjalankannya tidak hanya berorientasi pada kepastian hukum yang kaku, tetapi juga mengedepankan pada keadilan dan manfaat hukum.Pendekatan ini menekankan rehabilitasi dan restorasi, memberikan pelaku kesempatan memperbaiki diri dan berkontribusi kepada masyarakat, sejalan dengan prinsip keadilan restoratif. Pembaharuan ini juga bertujuan melindungi hak asasi manusia dengan menghindari efek negatif dari pidana penjara yang merusak secara fisik dan psikologis terhadap pelaku kejahatan. Dengan asas keseimbangan, penegak hukum bukan hanya menjadi corong undang-undang, tetapi juga dapat menjalankan peran guna mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
ADVERTISEMENT
Samsul Maarif, Hukum Pidana Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.