Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Proses Pembuktian Jarimah Pemerkosaan menurut Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014
9 Juli 2024 6:01 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari samsul ma'arif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki kekhususan dalam menerapkan syariat Islam secara formal melalui Qanun atau peraturan daerah yang mengatur tentang hukum Islam. Salah satu qanun yang paling signifikan adalah Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Pembentukan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat di Aceh (selanjutnya disebut dengan Qanun Jinayat ) merupakan suatu upaya untuk mengisi kebutuhan hukum positif dalam pelaksanaan Syari‟at Islam. Qanun yang disahkan di Banda Aceh pada tanggal 24 September 2014 dibentuk sebagai upaya untuk mencegah, mengawasi dan menindak pelanggaran Syari’at Islam di Aceh khususnya tentang hukum jinayah (pidana Islam). Qanun Jinayat ini mengatur 10 jenis jarimah diantaranya khamar, maisir, khalwat, ikhtilat, zina,pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf, liwath, dan musahaqah. Artikel ini akan membahas tinjauan yuridis terhadap pembuktian jarimah pemerkosaan berdasarkan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014.
ADVERTISEMENT
Pasal 1 angka 30 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 dijelaskan bahwa pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur orang lain sebagai korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban. Penjelasan mengenai tindak pidana pemerkosaan yang diberikan oleh Qanun Jinayat lebih luas dari penjelasan yang dijelaskan oleh KUHP. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan yang lebih detil mengenai cara yang digunakan dan alat yang digunakan dalam tindak pidana pemerkosaan.
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 mendefinisikan pemerkosaan sebagai jarimah yang melibatkan hubungan seksual tanpa persetujuan dari salah satu pihak, yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Definisi ini mencakup unsur-unsur berikut:
ADVERTISEMENT
1. Hubungan seksual tanpa persetujuan: Melibatkan penetrasi tanpa persetujuan dari korban.
2. Kekerasan atau ancaman kekerasan: Penggunaan kekerasan fisik atau ancaman untuk memaksa korban.
R.Soesilo menyatakan bahwa yang diancam hukuman ialah orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia dengan cara yang sedemikian rupa,sehingga akhirnya tak dapat melawan lagi dan terpaksa mau melakukan persetubuhan.
Pasal 1 angka 30 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 dijelaskan bahwa pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur orang lain sebagai korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban. Penjelasan mengenai tindak pidana pemerkosaan yang diberikan oleh Qanun Jinayat lebih luas dari penjelasan yang dijelaskan oleh KUHP. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan yang lebih detil mengenai cara yang digunakan dan alat yang digunakan dalam tindak pidana pemerkosaan.
ADVERTISEMENT
Qanun Jinayat ini selain mengatur mengenai tata cara pembuktian dan pemeriksaannya juga mengatur mengenai alat bukti permulaan. Alat bukti permulaan ini disertakan oleh korban pemerkosaan untuk dapat mengajukan pengaduan kepada penyidik. Ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 52 ayat (1) Qanun Jinayat menyatakan bahwa “setiap orang yang mengaku diperkosa dapat mengajukan pengaduan kepada penyidik tentang orang yang memperkosanya dengan menyertakan alat bukti permulaan”. Kemudian pada Pasal 52 ayat (2) Qanun Jinayat menyatakan “setiap diketahui adanya jarimah pemerkosaan, penyidik berkewajiban melakukan penyidikan untuk menemukan alat bukti permulaan.
Pada Pasal 52 khususnya ketentuan dalam ayat (1) Qanun Jinayat tidak menjelaskan alat bukti permulaan dan justru memberikan beban ganda kepada korban perkosaan karena korban dibebani untuk memberikan alat bukti permulaan. Hal ini tidak konsisten dengan ketentuan ayat (2) yang mengikuti sistem Hukum Acara Pidana dimana penyidiklah yang diwajibkan untuk mencari bukti-bukti.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut lagi pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Penyidik memiliki fungsi dan kewajiban untuk mengumpulkan alat bukti. Selain itu Pasal 52 ayat (1) ini tidak adanya sinkronisasi dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP sehingga bermakna dalam hal orang yang mengaku diperkosa tidak menyertakan alat bukti permulaan, maka dirinya tidak dapat mengajukan pengaduan kepada penyidik.
Hak seseorang yang mengaku diperkosa tidak dapat dibatasi dalam hal melakukan pengaduan atau laporan pidana kepada penyidik, terlebih lagi apabila pembatasan tersebut didasarkan atas kewajiban seorang yang mengaku diperkosa untuk menyertakan alat bukti permulaan. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi pada korban pemerkosaan dalam konteks ini adalah perempuan untuk memperoleh keadilan. Pemberian beban ganda pada korban pemerkosaan menafikan hak-hak korban pemerkosaan.
ADVERTISEMENT
Pembuktian dalam kasus jarimah pemerkosaan diatur secara ketat dalam Qanun Aceh. Pembuktian ini dapat dilakukan melalui beberapa metode, yaitu:
1. Pengakuan Pelaku (Ikrar): Pengakuan sukarela dari pelaku.
2. Kesaksian: Kesaksian dari minimal dua orang saksi yang melihat langsung kejadian.
3. Alat Bukti Lain: Termasuk bukti medis dan bukti lain yang relevan.
Pengakuan atau ikrar pelaku adalah salah satu cara pembuktian yang kuat dalam hukum Islam. Dalam konteks Qanun Aceh, ikrar harus dilakukan tanpa paksaan dan disampaikan secara sukarela oleh pelaku. Pengakuan ini memiliki kekuatan hukum yang signifikan, tetapi juga harus diuji kebenarannya untuk menghindari kesalahan pengadilan.
Kesaksian merupakan cara pembuktian yang penting dalam Qanun Aceh. Saksi harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti berakal, dewasa, dan memiliki integritas moral. Kesaksian dari dua orang saksi yang melihat langsung kejadian dapat menjadi dasar untuk menjatuhkan hukuman. Namun, dalam praktiknya, memperoleh dua saksi yang memenuhi syarat ini sangat sulit, terutama dalam kasus pemerkosaan yang sering terjadi tanpa saksi.
ADVERTISEMENT
Qanun Aceh juga mengakui alat bukti lain seperti bukti medis. Pemeriksaan medis dapat memberikan bukti fisik yang menunjukkan adanya kekerasan seksual. Bukti ini dapat berupa luka, DNA, atau tanda-tanda lain yang relevan. Selain bukti medis, alat bukti lain seperti rekaman suara, video, atau komunikasi digital juga dapat digunakan.
Dalam pasal 52 ayat (3) ketka penyidik menemukan alat bukti namun itu belum cukup memadai, maka orang yang mengaku diperkosa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan sumpah sebagai alat bukti tambahan untuk menyempurnakan. Sumpah tersebut harus diucapkan di depan hakim mahkamah syar’iyah Kabupaten/Kota sebagaimana dalam pasal 52 ayat (4).
Dalam Implementasi Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 dalam konteks pembuktian jarimah pemerkosaan setidaknya akan ada 3 konsekuensi yang akan dihadapi apabila ketika bukti yang ada tidak cukup, sumpah dibalas sumpah mengakibatkan bebas dari uqubat dan apabila tersangka mau bersumpah sedangkan korban tidak mau maka korban terkena jarimah qadzaf, yaitu:
ADVERTISEMENT
a. Apabila tidak cukup bukti maka tersangka bebas dari tuduhan
Setiap orang yang dituduh telah melakukan pemerkosaan berhak mengajukan pembelaan diri bahwa ia tidak melakukan pemerkosaan. Dalam hal alat bukti adalah sumpah maka, orang yang dituduh dapat membela diri dengan melakukan sumpah pembelaan sebanyak 5 (lima) kali. Sumpah yang pertama sampai yang keempat menyatakan bahwa dia tidak melakukan pemerkosaan dan tuduhan yang ditimpakan kepadanya adalah dusta. Dan sumpah yang kelima menyatakan bahwa dia rela menerima laknat Allah apabila ia berdusta dengan sumpahnya. Ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 55 Qanun Hukum Jinayat.
Seorang hakim diperintahkan untuk memutuskan hukum bagi orang yang memiliki bukti yang menunjukkan kejujurannya, baik dia sebagai orang yang menuduh maupun sebagai yang tertuduh. Jika dia bisa mendatangkan bukti, maka apa yang dituduhkannya dianggap benar. Sebagaimana syari’at islam juga menetapkan bahwa sumpah sebagai hujjah bagi orang tertuduh. Jika dia berani bersumpah, maka terbebaslah dia dari tuduhan yang diarahkan kepadanya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu seorang tersangka tidak boleh disumpah di dalam KUHAP namun didalam Qanun ini tersangka diperbolehkan bersumpah, ada ketidaksinkronan antara KUHAP dan Qanun Hukum Jinayat Aceh ini.
b. Apabila Tersangka Mau Bersumpah Dan Korban Tidak Mau Maka Korban Terkena Jarimah Qadzaf
Dalam hal penyidik menemukan alat bukti tetapi tidak memadai orang yang mengaku diperkosa dapat mengajukan sumpah sebagai alat bukti tambahan untuk menyempurnakannya. Penyidik dan jaksa penuntut umum kemudian meneruskan perkara kepada Mahkamah Syar’iyah dengan bukti permulaan serta pernyataan kesediaan orang yang mengaku diperkosa untuk bersumpah di depan hakim. Kesediaan orang yang mengaku diperkosa untuk bersumpah dituangkan oleh penyidik dalam berita acara khusus.
Sumpah yang dimaksud diucapkan 5 (lima) kali. Sumpah yang pertama sampai yang keempat menyatakan bahwa dia jujur dan sungguh-sungguh dalam pengakuannya bahwa dia telah diperkosa oleh orang yang dituduh. Sumpah yang kelima menyatakan bahwa ia rela menerima laknat Allah, apabila dia berdusta dengan tuduhannya. Dan apabila orang yang menuduh setelah didepan hakim tidak bersedia bersumpah, sedangkan ia telah menandatangani berita Acara dianggap telah melakukan jarimah Qadzaf dan diancam dengan „uqubat hudud cambuk sebanyak 80 kali. Ketentuan ini dapat dilihat di dalam Pasal 53 dan 54 Qanun Hukum Jinayat.
ADVERTISEMENT
Jika syarat dakwaan telah terpenuhi di hadapan mahkamah, maka hakim mendengarkannya, kemudian menanyakan kepada yang tertuduh prihal dakwaan tersebut. Jika dia mengakuinya maka hakim memutuskan perkara berdasarkan pengakuannya tersebut karena pengakuan adalah bukti yang mengikat orang yang menyatakannya. Jika si tertuduh mengingkari, maka hakim meminta dari yang menuduh untuk mendatangkan bukti, jika dia dapat mendatangkan bukti, maka diputuskan berdasarkan bukti tersebut, dengan mengabaikan perkataan orang yang tertuduh atau pengingkarannya walaupun disertai dengan sumpah yang keras. Jika yang menuduh tidak dapat menghadirkan bukti, maka sang hakim meminta kepada orang yang tertuduh untuk mengucapkan sumpah. Jika dia bersumpah, maka dia bebas dan otomatis tuduhan itu gugur, jika korban tidak mau bersumpah maka yang korban akan dikenai jarimah Qadzaf.
ADVERTISEMENT
c. Sumpah Dibalas Dengan Sumpah Menghapuskan ‘Uqubat
Pada Pasal 56 Qanun Hukum Jinayat menyatakan apabila keduanya melakukan sumpah maka keduanya dibebaskan dari „Uqubat. Jika pada pasal sebelumnya mengatur tentang apabila tidak memenuhi bukti yang cukup maka tersangka dapat dibebaskan apabila bersedia bersumpah atau apabila korban tidak bersedia bersumpah dalam hal alat bukti tidak memadai dan tersangka bersedia untuk bersumpah maka korban dikenai jarimah qadzaf namun, pada pasal 56 ini mengatur lebih lanjut tentang sumpah dalam jarimah pemerkosaan ini dimana tersangka dan korban bersedia bersumpah maka keduanya dibebaskan dari ‘uqubat.
Menurut Rafiuddin apabila kedua-duanya bersedia bersumpah maka kedua-duanya bebas dari ‘uqubat. Hal ini sah-sah saja karena qanun mengatur tentang hal ini sebagai aturan yang sah, namun yang pasti diantara keduanya pasti ada salah satu yang berbohong dalam hal ini, dan hanya Allah yang maha tahu atas kebenaran yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Samsul Maarif, Mahasiswa Hukum Pidana Islam, UIN Syarifhidayatullah Jakarta