Konten dari Pengguna

Demokrasi yang Terluka

samsul marpitasa
Dosen di Universitas Pamulang
27 Juli 2024 11:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari samsul marpitasa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi demokrasi (pixabay.com/Gerd Altmann)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi demokrasi (pixabay.com/Gerd Altmann)
ADVERTISEMENT
Pagelaran pilkada lima tahunan adalah sebuah pesta demokrasi yang sejatinya bersih dari berbagai perilaku buruk yang dilakukan karena kepentingan tertentu. Majunya para bakal calon baik presiden, gubernur, maupun bupati/wali kota harus mengedepankan nilai-nilai luhur sebagai pemimpin.
ADVERTISEMENT
Masyarakat harus diberikan kebebasan memilih tanpa harus ada bujukan dari kelompok atau individu tertentu, biarkan rakyat memilih berdasarkan hati nuraninya masing-masing. Politik uang sesungguhnya telah mencoreng-moreng esensi demokrasi, rakyat dibujuk, diberikan imbalan atau hadiah jika mau memilih pasangan calon tertentu.
Adanya politik uang di ekosistem demokrasi kita bukanlah rahasia umum lagi. Sebagaimana yang telah dilansir oleh harian Tempo (14/2/2024) ada dugaan politik uang di Bekasi, Jawa Barat, yang dilakukan oleh salah satu calon anggota legislatif DPR RI pada 12 Februari 2024 dengan cara menyebarkan uang kepada warga sebesar Rp 100 ribu di daerah pemilihannya.
Fakta di atas adalah hanya sebagian kecil dari dugaan politik uang yang terjadi di berbagai daerah. Setidaknya hal ini dipertegas dengan hasil temuan Themis Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), serta organisasi masyarakat sipil lain yang mencoba mengumpulkan informasi kecurangan pemilu dengan dua metode.
ADVERTISEMENT
Pertama, menghimpun aduan publik melalui kanal kecuranganpemilu.com. Kedua, melakukan pemantauan dan liputan jurnalistik kepemiluan.
Metode kedua dilakukan dengan berkolaborasi bersama jaringan masyarakat sipil dan jurnalis di 10 daerah. Sejak diluncurkan pada 7 Januari 2024, terdapat 49 aduan publik dalam kecuranganpemilu.com, 27 aduan di antaranya yang terdapat unsur pelanggaran pidana pemilu diteruskan oleh Themis Indonesia kepada Badan Pengawas Pemilu (https://antikorupsi.org).
Melihat kenyataan di atas, sungguh ironis dengan apa yang terjadi dengan demokrasi kita. Sejatinya demokrasi harus dirawat dengan baik dengan cara rakyat diberikan keleluasaan dan kebebasan di dalam memilih pasangan calon yang disukainya tanpa ada bujuk dan rayu bahkan diberikan sesuatu agar memilih calon pasangan tertentu.
Biarkanlah demokrasi di dalam masa pemilihan baik untuk calon Kepala daerah atau Presiden sekalipun, berjalan dengan apa adanya, niat buruk di dalam merayu, membujuk dengan memberikan sesuatu kepada rakyat untuk memilih calon tertentu berarti menodai arti dari demokrasi itu sendiri.
Ilustrasi pemilu di Kanada. Foto: Alexis Aubin / AFP
Hampir di setiap menjelang pelaksanaan Pemilu atau Pilkada, seringkali ditemukan praktik politik uang yang bukan hanya mencoreng-moreng wajah demokrasi kita, namun juga telah melukai demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang sudah terluka cukup lama ini harus segera disembuhkan dengan dicarikan obat oleh dokter yang tepat untuk menyembuhkan luka yang sebetulnya sudah begitu dalam dan parah.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, seorang penulis dan akademisi, sangat yakin sekali bahwa obat yang paling mujarab di dalam menyembuhkan luka yang ada di demokrasi kita ialah dengan pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, kelompok, dan masyarakat maka kualitas hidup serta cara berpikirnya pun akan meningkat. Dengan peningkatan tersebut maka sulit politik uang akan masuk dan membujuknya untuk memilih pasangan calon tertentu.
Yang kedua adalah. Para kaum cendekia, masyarakat madani harus turun gunung bertemu, berdialog, dengan masyarakat terkait persoalan demokrasi kita. Kenapa harus kaum masyarakat madani, cendekia dan akademisi?
Sulit nampaknya, kita mengharapkan para politisi atau anggota dewan baik dari daerah maupun pusat untuk ikut mencerdaskan masyarakat dalam berdemokrasi di konteks ini. Dengan alasan karena mereka memiliki kepentingan politik masing-masing. Baik kepentingan sebagai individu, anggota partai maupun kepentingan partainya.
ADVERTISEMENT
Maka mengharapkan para kaum cendekia, masyarakat madani dan akademisi untuk turun gunung adalah hal yang sangat realistis dan tepat.