Konten dari Pengguna

Penerimaan Siswa Baru Melalui Sistem Zonasi, Perlukah Diganti?

samsul marpitasa
Dosen di Universitas Pamulang
13 Juli 2024 23:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari samsul marpitasa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi sekolah (pixabay.com/Brigitte Werner)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi sekolah (pixabay.com/Brigitte Werner)
ADVERTISEMENT
Penerimaan siswa baru melalui sistem zonasi pertama kali diberlakukan pada tahun 2017, pada saat Bapak Muhadjir Effendy masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagaimana yang diungkapkan beliau:
ADVERTISEMENT
Dari pernyataan di atas, sudah sangat jelas bahwa tujuan pemberlakuan sistem zonasi untuk penerimaan siswa baru sangatlah mulia, namun sudah barang tentu setiap kebijakan yang diputuskan dan kemudian masuk pada fase implementasi, terdapat celah yang memungkinkan untuk direvisi kembali dan pemerintah pusat tidak menutup mata tentang hal tersebut dan terbuka atas segala masukan demi perbaikan ke depannya, hal tersebut tercermin dari perbedaan jumlah kuota antara zonasi PPDB 2019 dan PPDB 2020.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem zonasi PPDB 2019, kuota jalur zonasi adalah minimal 80 persen dari total 100 persen. Sisanya diperuntukkan untuk jalur prestasi dan jalur perpindahan. Pada tahun PPDB 2020, kuota jalur zonasi berkurang menjadi 50 persen. Dengan demikian skema kuota jalur zonasi PPDB 2020 berubah menjadi: jalur zonasi 50 persen, afirmasi 15 persen, pindahan 5 persen dan jalur prestasi 30 persen (Kompas, 20/12/2019).
Di dalam perjalannya, penerimaan siswa melalui sistem ini, banyak menuai keluhan di masyarakat karena dinilai menyulitkan calon siswa untuk mendapatkan sekolah serta diwarnai juga manipulasi Kartu Keluarga (KK) dan piagam agar calon siswa bisa lolos seleksi ke sekolah yang dituju, bahkan kritikan terhadap sistem zonasi ini bukan hanya disampaikan oleh masyaratkat, namun dari wali kota hingga anggota DPR juga turut mengkritik kebijakan ini.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari detiknews (6/7/2023), mantan Wali Kota Bogor, Bima Arya menyatakan “PPDB melalui jalur zonasi belum bisa diterapkan selama sistem dan infrastruktur sekolah belum merata.”
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih juga ikut menyampaikan kritiknya terhadap pelaksanaan PPDB, beliau menyatakan "Alih-alih pemerintah menciptakan pemerataan pendidikan yang lebih berkeadilan, persoalan PPDB malah menimbulkan sarang masalah setiap tahunnya." (www.dpr.go.id).
Sebetulnya, jika diteliti serta diamati lebih mendalam, persoalan atau kasus yang terkait penerimaan siswa baru, sudah muncul sejak zaman dahulu, misalnya kasus tentang jual beli-kursi atau pungutan liar dan titip kartu keluarga (KK), jadi yang menjadi sumber masalahnya, sesungguhnya bukan terletak pada sistem atau mekanisme penerimaan siswa baru namun ada pada integritas orang – orang yang berkepentingan di dalamnya, bisa dari oknum di lingkup satuan pendidikan dan lain sebagainya, kemudian jika ada oknum yang melakukan pungutan liar atau jual beli kursi di dalam proses penerimaan siswa baru harus ditindak tegas, sehingga diharapkan ada efek jera sebagai bagian pelajaran penting bagi siapapun yang memiliki niat untuk melakukan hal serupa, seperti yang telah dilakukan oleh Mantan Wali Kota Bogor, Bima Arya memecat Kepala Sekolah yang memberhentikan guru honorer karena membongkar kasus pungli pada masa pendaftaran peserta didik baru (PPDB) 2023 (Kompas, 14/9/2023).
ADVERTISEMENT
Tindakan Mantan Wali Kota Bogor, Bima Arya patut diacungi jempol karena telah berani melakukan tindakan tegas dan semoga hal serupa dapat dilakukan oleh para Kepala Daerah lainnya agar kasus-kasus pungli atau jual beli kursi yang marak terjadi di masa penerimaan peserta didik baru (PPDB) tidak terulang kembali, dengan demikian diharapkan, semakin bersihnya penerimaan siswa baru dari oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab, akan dapat mengangkat harkat dan martabat serta marwah sekolah sebagai ujung tombak di dalam membentuk generasi unggul dan berakhlakul karimah.