Konten dari Pengguna

Menelaah Praktik Politik Transaksional Patron-Klien Dalam Pemilu/Pilkada

Samuel Fetanin Djetul
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana Yogyakarta
2 Februari 2025 13:56 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Samuel Fetanin Djetul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Politik Transaksional (personal collection images)
zoom-in-whitePerbesar
Politik Transaksional (personal collection images)
ADVERTISEMENT
Gejala praktik politik transaksional atau jual-beli suara (vote buying) yang dilakukan oleh patron (calon/pemberi) dengan klien (masyarakat/penerima) dalam setiap gelaran pemilu/pilkada, bak bayangan semu yang tak bisa dielakkan lagi. Praktik politik patronase dan kleintelisme ini, menjadi gambaran bagaimana perpolitikan dan demokrasi kita masih terus dipenuhi dengan praktik politik praktis dan nir-etika politik.
ADVERTISEMENT

Mengenal Politik Patronase dan Klientelisme

Dalam buku "Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme di Pemilu Legislatif 2014" dijabarkan bahwa, patronase adalah politik pemberian dimana patron (politisi/calon) mendistribusikan sesuatu seperti uang, barang, jasa dan keuntungan ekonomi lainnya (misal, kontrak proyek atau jabatan) dan sebagainya, yang ditujukan kepada klien (individu atau kelompok). Biasanya, pendekatan kepada klien (sebagai individu) pendistribusiannya dapat berupa amplop berisi uang tunai dan barang (misal, sembako). Sedangkan pendekatan kepada klien (sebagai kelompok) distribusinya biasanya akan berupa pemberian dana atau hal-hal lain (misal, renovasi gedung) atau lainnya.
Menurut Ardy Yanto (2022), dalam penelitiannya menjabarkan bahwa, patronase merupakan pemberian berupa uang, barang, jasa, dan atau pemberian janji lainnya (seperti pekerjaan, jabatan di pemerintahan ataupun organisasi, proyek, dan sejenisnya). Pemberian tersebut bisa kepada seorang individu ataupun untuk sebuah kelompok.
ADVERTISEMENT
Aspinall dan Sukmajati, mengelaborasi pengertian patronase sebagai politik pemberian berupa materi atau keuntungan lainnya yang didistribusikan oleh patron (politisi/calon) kepada klien (masyarakat/pemilih/pendukung). Sedangkan klientelisme merujuk terhadap karakter relasi antara politisi dan pemilih atau pendukung.
Burhanudin Muhtadi seorang akademikus dan peneliti politik mengatakan dalam pidato guru besarnya bahwa, klientelisme terbagi dalam dua bentuk yakni, klientelisme relasional dan elektoral. Klientelisme relasional merujuk pada hubungan yang berkelanjutan (meskipun asimetris) dan saling ketergantungan. Lebih lanjut, Burhanudin mengutip Hicken (2011), yang mengatakan bahwa dalam klientelisme relasional, pertukaran material bersifat kontingensi, hierarki, iterasi, sebab itu hubungannya tidak sebatas pada masa kampanye. Sedangkan klientelisme elektoral yaitu merujuk pada pemberian imbalan oleh politisi kepada masyarakat (pemilih) yang dilakukan secara eksklusif selama masa kampanye pemilu ataupun pilkada.
ADVERTISEMENT
Menurut Ramadhan & Oley (2019), politik klientelisme lekat pada Perilaku Koruptif dan Demokrasi Banal. Menurut mereka, terdapat dua faktor yang memupuk terjadinya klientelisme yakni, hak kewarganegaraan yang belum terpenuhi dan fungsi representasi yang tidak berjalan. Di Indonesia, tambah mereka, politik klientelisme dijalankan berdasar atas transaksi suplay-demand (penawaran & permintaan) yang berbasis pada relasi kuasa dimana patron memberikan sesuatu kepada klien sebagai yang menerima, kemudian timbal baliknya adalah penerima (klien) memberikan loyalitasnya kepada pemberi (patron). Fenomena patron-klien ini disinyalir praktiknya cukup subur dalam proses demokrasi, seperti pada pemilihan legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah (Muhamad Nastain & Catur Nugroho, 2022).
Edward Aspinall, peneliti di Australia National University (ANU) yang meneliti soal praktik politik patronase dan kleintelisme di Indonesia menjelaskan bahwa, politik patronase dan klientelisme adalah politik pertukaran atau politik timbal balik, dimana patron (politisi yang mengikuti sebuah perhelatan politik) akan cenderung mengeluarkan dan memberikan materi (uang, sembako, pekerjaan, jabatan, dan sejenisnya) kepada penerima atau klien (masyarakat), yang mana timbal baliknya adalah klien memberikan dukungan (suara) kepada patron. Menurutnya, praktik politik patronase-klientelisme ini masih banyak dilakukan di negara-negara demokrasi, baik yang baru berkembang maupun yang sudah mapan demokrasinya.
ADVERTISEMENT
Sebab itu, berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwasannya politik patronase dan klientelisme merupakan sebuah praktik politik transaksional yang mana dalam prosesnya ada suatu pertukaran kepentingan antara patron (calon/pemberi) dengan klien (masyarakat/penerima).
Praktik politik patronase dan klientelisme memiliki beragam istilah mengikuti sosial-budaya-politik yang ada di masyarakat setempat. Misalnya di Thailand, menurut Aspinall, masyarakatnya sering menyebut "malam anjing menggonggong" yang merujuk pada politik transaksional yang dilakukan di malam hari, sehingga sering digonggongi oleh anjing. Sedangkan di Indonesia sendiri, istilah yang cukup dikenal adalah "serangan fajar" yang merujuk pada praktik politik transaksional yang dilakukan disaat pagi hari sebelum pencoblosan. Sedangkan, Burhanudin, memetakan beberapa istilah-istilah populer yang sering diplesetkan dan cenderung dinormalisasi oleh masyarakat Indonesia untuk merujuk pada praktik politik patron-klien ini, seperti "Golput" diplesetkan menjadi "Golongan Penerima Uang Tunai", "KUHP" diplesetkan menjadi "Kasih Uang Habis Perkara", NPWP yang diplesetkan menjadi "Nomor Piro, Wani Piro", dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Istilah-istilah tersebut menunjukkan bahwasannya praktik politik transaksional antara patron dan klien ini masih cukup marak terjadi ditengah masyarakat ketika musim pemilu ataupun pilkada tiba.

Praktik Politik Patronase-Klientelisme pada Pemilu/Pilkada

Aspinall & Sukmajati dalam buku "Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme di Pemilu Legislatif 2014", mengidentifikasi praktik politik patronase dan klientelisme dalam pemilu/pilkada sebagai berikut:
1. Pembelian suara (vote buying)
Praktik pembelian suara (vote buying) sering dilakukan patron (calon/kandidat) dengan mendistribusikan uang ataupun barang kepada klien (masyarakat sebagai pemilih) secara sistematis. Praktik ini terkadang dilakukan menjelang pemilu--dengan harapan impilisit bahwa masyarakat yang menerima akan membalasnya dengan memberikan dukungan politik berupa pemberian suara. Pendekatan ini erat kaitannya dengan istilah "serangan fajar"--sebuah istilah populer di kalangan masyarakat Indonesia yang merujuk pada praktik politik transaksional pada waktu subuh di hari pencoblosan (meski pada kenyataannya praktik ini justru sering dilakukan pada saat beberapa hari menjelang mulainya hari pemungutan suara).
ADVERTISEMENT
2. Pemberian-pemberian pribadi (individual gifts)
Praktik ini merujuk pada upaya patron (calon/kandidat) untuk lebih sistematis dalam melakukan pembelian suara. Dalam praktik ini, patron seringkali memberikan berbagai bentuk pemberian secara pribadi kepada klien (masyarakat/pemilih). Praktik ini biasanya dilakukan patron ketika sedang bertemu klien, baik pada saat kunjungan ataupun disaat kampanye. Praktik ini terkadang dianggap sebagai cara untuk merekatkan hubungan sosial (social lubricant). Dan distribusinya kadang-kadang juga dilakukan oleh tim sukses. Contoh dari praktik ini seperti, pemberian sembako (beras, gula, minyak goreng, mi instan, dls) atau dalam bentuk barang lainnya misalnya, kalender yang terdapat gambar dan nama sang patron (calon/kandidat).
3. Pelayanan dan Aktivitas (services and activities)
Pada praktik ini patron (calon/kandidat) seringkali menyediakan dan atau membiayai serta memfasilitasi berbagai pelayanan, kegiatan atau aktivitas yang dilakukan klien (masyarakat/pemilih). Pendekatan ini biasanya dilakukan patron kepada kelompok atau komunitas yang sedang melakukan suatu kegiatan atau acara--yang mana biasanya dimanfaatkan untuk mempromosikan diri sang calon kepada pemilih. Contoh dari praktik ini seperti membiayai dan menghadiri forum-forum komunitas anak muda, pengajian atau ibadah unit, turnamen keolahragaan, panggung hiburan, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
4. Barang-Barang Kelompok (club goods)
Pada praktik ini, pemberian dilakukan patron (calon/kandidat) kepada kelompok-kelompok tertentu. Biasanya pendekatan dilakukan kepada komunitas-komunitas atau organisasi-organisasi yang memiliki basis suara. Dalam praktik ini, patron sering memberikan uang atau barang dan keuntungan lainnya. Contoh pemberian dari praktik ini yaitu, seperti jaring atau pupuk kepada komunitas nelayan atau petani, peralatan olahraga untuk komunitas olahraga, dan lain sebagainya. Selain itu, ada juga seperti memberikan sumbangan pembangunan atau renovasi infrastruktur, misalnya untuk rumah ibadah, jembatan, jalan, dan lain sebagainya. Praktik ini pada umumnya sering mengandalkan fasilitator seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, ketua-ketua organisasi atau komunitas, dan tokoh atau organisasi lainnya yang berpengaruh—yang bertindak sebagai broker (perantara).
ADVERTISEMENT
5. Proyek-proyek gentong babi (pork barrel projects)
Praktik ini merujuk pada penggarapan proyek-proyek pemerintah yang diperuntukkan untuk wilayah tertentu saja. Sebagaimana diketahui bahwa banyak kandidat sering menjanjikan akan memberikan proyek-proyek atau program-program yang pendanaannya dari dana publik kepada konstituennya, khususnya proyek-proyek yang berskala kecil. Hal ini sering dilakukan sang calon (khususnya petahana) untuk menciptakan rekam jejak (track record), sehingga dapat meyakinkan pemilih bahwa sang calon mampu dalam menghadirkan dan mengeksekusi program kepada masyarakat.
Praktik ini bisa dikatakan sangat lekat dengan calon petahana. Dimana, dalam beberapa kasus, calon petahana diketahui sering dan cenderung menggunakan dana publik, misal, APBN, APBD, atau Dana Desa untuk membiayai ongkos politiknya. Contoh kasus yang paling baru dari praktik ini di Indonesia yaitu, kasus korupsi yang dilakukan oleh Calon Petahana Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah—yang diduga memeras anak buahnya (beberapa Kepala Dinas) hingga Rp7 miliar untuk mengongkosi pertaruangannya di pilkada Bengkulu 2024.
ADVERTISEMENT

Faktor Penyebab Menjamurnya Praktik Politik Transaksional dalam Pemilu/Pilkada

Menurut penelitiannya Dian Narita Putri (2019), disebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat menerima politik transaksional, yaitu:
1. Masalah Ekonomi
Ketimpangan sosial-ekonomi, menjadi salah satu penyebab terjadinya praktik politik transaksional di dalam masyarakat. Patron (calon/kandidat) yang memiliki kedudukan sosial-ekonomi tinggi cenderung memanfaatkan kondisi klien yang sosial-ekonominya rendah. Sehingga, alih-alih menjual gagasan yang solutif kepada masyarakat, ketimpangan sosial-ekonomi yang ada pada masyarakat justru menjadi sasaran empuk sang patron untuk meningkatkan elektoral politiknya. Dalam hal ini, patron memanfaatkan kondisi kemiskinan dari klien (masyarakat/pemilih) dengan cara mendistribusikan uang atau barang, dengan harapan pemberian yang diberikan dapat memperoleh dukungan politik berupa suara (vote) dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
2. Kebiasaan Ketika Pemilu/Pilkada
Salah satu hal yang juga mendorong maraknya praktik politik transaksional di masyarakat, karena adanya kebiasaan ketika pemilu/pilkada tiba. Sehingga masyarakat menganggap praktik politik transaksional patron-klien ini sebagai sesuatu yang selalu lazim terjadi dalam pemilu/pilkada. Ini menunjukkan bahwa praktik politik transaksional patron-klien seakan telah ternormalisasi pada sosial-politik di masyarakat.
3. Pendidikan Politik Rendah
Hal yang menjadi ironi dari semua itu, adalah karena pendidikan politik masyarakat yang masih rendah. Pendidikan politik yang rendah pada masyarakat dapat menyebabkan masyarakat yang pragmatik, sehingga politik hanya akan dilihat secara praktis yang sifatnya jangka pendek. Masyarakat juga tidak terlalu peduli dalam mendalami gagasan dan karakter kepemimpinan dari para calon/kandidat, karena bagi mereka "politik perut" jauh lebih penting. Pada akhirnya hal ini dapat dimanfaatkan oleh patron (calon/kandidat) untuk menjalankan politik transaksional dengan bentuk pemberian uang atau barang kepada klien (masyarakat/pemilih).
ADVERTISEMENT

Penutup

Praktik politik patronase dan klientelisme ini menunjukkan bahwa politik transaksional pada pemilu/pilkada bukan hanya merujuk pada pemberian uang atau barang saja melainkan jika ditelaah lebih dalam ada begitu beragam bentuk dan pendekatannya. Pada sisi lain, praktik politik seperti ini juga dapat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap pemilu/pilkada sebagai "musim panen uang" (season of money) seperti yang diistilahkan Corstange (2012). Masyarakat juga menganggap pemilu/pilkada sebagai sebuah kesempatan untuk "menghukum" dan mengembalikan hak mereka yang dicuri oleh politisi (Kerkvliet, 1991).
Praktik politik transaksional patron-klien ini adalah sebuah benalu yang dapat merusak kulitas pemilu/pilkada dan menciderai demokrasi serta melangkahi etika berpolitik yang baik.

Tentang Penulis

Samuel Fetanin Djetul, adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Ia suka membaca dan menulis, khususnya pada kajian-kajian sejarah, sosial, politik, budaya, dan media.
ADVERTISEMENT

REFERENSI

PolGov., (2015). E-book "Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014".
Yanto, A., (2022). "Fenomena Dan Indikasi Patronase Dan Klientelisme Pada Pilkada Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2020". JURNAL GOVERNANCE DAN ADMINISTRASI PUBLIK.
Nastain, M & Nugroho, C., (2022). "Relasi Kuasa dan Suara: Politik Patron Klien Pada Pilkada Langsung di Kabupaten Grobogan 2020". POLITIKA: Jurnal Ilmu Politik.
Prof. Burhanuddin Muhtadi, S.Th.I., M.A., Ph.D., "VOTES FOR SALE: KLIENTELISME, DEFISIT DEMOKRASI, DAN INSTITUSI"., Pidato Guru Besar bidang Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Putri, D. N. (2019). GOODS POLITICS DALAM PEMILIHAN WALI KOTA SEMARANG TAHUN 2015 (Studi Kasus di Kelurahan Ngemplak Simongan) [Skripsi, Universitas Negeri Semarang].
ADVERTISEMENT