Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Gagasan Kedaulatan Pangan, Antara Realita dan Narasi Belaka
27 Oktober 2022 17:17 WIB
Tulisan dari Sandi Kurniawan Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pangan merupakan hal yang harus dipenuhi, untuk keberlangsungan hidup manusia. Tanpa pangan manusia tidak bisa makan, mesin bekerja membutuhkan bensin, manusia bekerja membutuhkan makan. Oleh sebab itu keamanan sumber pangan merupakan hal yang esensial dan mendasar bagi manusia, dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Aktivitas pertanian bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Pertanian dalam artian luas juga melingkupi : perikanan, kehutanan, dan pertanian itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Petani memegang peranan vital bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia yakni, makan. Tanpa kehadiran petani, mana mungkin kita bisa memenuhi naluri lapar Kita sebagai manusia. Namun problem di lapangan, harga beli di kalangan petani rendah, namun harga barang-barang di pasaran cenderung mahal. Terutama barang-barang yang berkaitan untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
Apalagi semenjak wabah Covid 19 datang, membuat banyak sektor ekonomi kita lumpuh, terutama yang berkaitan dengan jasa. Sekolah semenjak pandemi tidak dapat mengadakan pembelajaran secara langsung, kantor swasta dan pemerintahan banyak yang tutup, dan masyarakat kalangan bawah merasakan lesunya aktivitas perekonomian mereka. Namun menarik untuk sektor pertanian, pertanian tidak terlalu terdampak akibat Covid 19, malahan sektor pertanian menjadi back up perekonomian Kita yang lesu akibat pandemi.
ADVERTISEMENT
Akar Sejarah Budaya Pertanian Manusia Indonesia dan Perkembangannya Pasca Kemerdekaan
Pada awalnya manusia memenuhi kebutuhan perutnya dengan melakukan aktivitas berburu dan meramu/food gathering. Kemudian sering dengan perkembangan akal dan kemampuan manusia, mereka mulai memproduksi makanan dan tinggal menetap Terjadi peralihan ke food producing, manusia yang telah mampu memproduksi makanan tinggal menetap bersama dan membentuk sebuah peradaban.
Pertanian di Indonesia apabila Kita tarik akar sejarahnya, telah berlangsung semenjak zaman prasejarah. Sebelum Nusantara masuk ke dalam zaman sejarah, orang-orang di Nusantara telah mampu melakukan aktivitas pertanian, ketika terjadi migrasi ras proto melayu, kemudian disusul ras deutro melayu. Sebelumnya Nusantara telah dihuni oleh ras melanesoid yang lebih dahulu bermigrasi dibandingkan kedua ras tersebut. Kemudian masuk ke dalam periode sejarah dengan munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, dapat kita temukan pula bukti-bukti pertanian dalam ukiran-ukiran di berbagai candi dan prasasti.
ADVERTISEMENT
Aktivitas pertanian di Indonesia sangat didukung oleh faktor geografis Indonesia. Indonesia yang mendapat sinar matahari sepanjang tahun, menyebabkan aktivitas pertanian bisa dilakukan setiap saat. Kemudian Indonesia yang berada dalam jalur cincin api/ring of fire, yang kaya akan tanah humus makin mendukung aktivitas pertanian di wilayah ini. Kalau posisi geografis yang sangat menguntungkan tak usahlah kita singgung, karena dari dahulu wilayah ini sudah menjadi jalur perdagangan dunia semenjak sebelum Masehi.
Ketika kekuasaan kolonial mulai menancap, mereka pada awalnya hanya tertarik kepada monopoli perdagangan rempah semata. Kemudian lambat-laun kolonial Belanda, melakukan pembukaan lahan dan perkebunan seperti : karet, teh, kopi,dsb. Karena komoditas-komoditas tersebut merupakan komoditas yang laku keras di pasaran Eropa. Melalui politik etis, pemerintah kolonial berusaha juga untuk memperhatikan para petani dengan pembangunan irigasi, namun sama juga dengan bidang edukasi, masih belum optimal. Ketika Jepang berkuasa mereka, memanfaatkan tanaman karet untuk kepentingan industrinya. Bukan hanya karet, namun semua komoditas pertanian serta perkebunan dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan perang bagi tentara Kekaisaran Jepang.
ADVERTISEMENT
Selepas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pemerintah terlalu sibuk untuk mengusir penjajah yang kembali datang ke Indonesia, sehingga sektor modernisasi pertanian belum terlalu diperhatikan. Kemudian pada masa pemerintahan orde lama orientasinya ke luar, bukan ke dalam, ditambah lagi banyaknya upaya pemberontakan yang terjadi pada tahun 1950-an. Baru ketika pemerintahan orde baru melalui Revolusi Hijau, dilakukan modernisasi pertanian, kemudian Indonesia juga berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984-1989. Pada kala itu, Indonesia mampu mencukupi kebutuhan beras dalam negeri bahkan mengekspor keluar negeri.
Ketika reformasi terjadi pada 1998, Indonesia mengalami gonjang-ganjing yang menuntut adanya reformasi dan perbaikan di semua sektor. Indonesia pada kala itu perekonomiannya sangat terpuruk, pada kala itu pertanian menyumbangkan dampak positif bagi perekonomian nasional walaupun sedang berada di masa krisis. Dalam buku Pembangunan Pertanian Era Reformasi terbitan Sekretariat Jenderal Pertanian menyebutkan, “ ekonomi nasional mengalami kontraksi 13,5 %, pertanian tumbuh positif 0.26 % “.
ADVERTISEMENT
Masuk tahun 2008 ketika terjadi krisis ekonomi nasional, pertanian masih tetap mampu tumbuh positif. Laporan BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan sektor pertanian masih tetap mampu tumbuh 4,8 %, di tengah penurunan PDB (pendapatan domestik bruto) sebesar 6,01 %. Krisis ekonomi yang terjadi tahun 2008 merupakan imbas dari krisis keuangan yang terjadi di Amerika dan menjalar ke seluruh dunia.
Di Tahun 2022 menjadi momentum kebangkitan Kita pasca pandemi, pertanian masih juga menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional walaupun tidak dijadikan sebagai leading sector/ sektor unggulan. Dilansir dari situs Kemenkeu RI pertumbuhan ekonomi pada kuartal 2 tahun 2022 (year on year) sebesar 5,4 %, sementara pertanian sendiri tumbuh 1,4 % (year on year ). Hal ini dikarenakan sektor pertanian merupakan sektor informal yang tidak terlalu berdampak dengan pandemi Covid 19. Dapat kita lihat bahwa para petani masih bisa melakukan aktivitas pertanian, dan para nelayan masih bisa melakukan aktivitas penangkapan ikan.
ADVERTISEMENT
Dari uraian sejarah singkat dan perkembangan ekonomi di atas Kita dapat menyimpulkan bahwa sektor pertanian walaupun tidak menjadi perhatian utama, namun masih tetap bisa memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Pada dasarnya wilayah geografis Indonesia yang terletak di khatulistiwa sangat mendukung untuk aktivitas pertanian, namun sektor ini masih belum menjadi sektor utama. Hal ini dikarenakan fokus pengembangan kepada sektor industri berat, walaupun pada realitasnya sektor pertanian berperan besar dalam penyerapan angkatan kerja.
Melansir Republika.co.id, penyerapan angkatan kerja di sektor pertanian merupakan yang paling besar pada tahun 2022. Untuk “penyerapan tenaga kerja di sektor dalam kurun waktu Februari 2021-Februari 2022 mencapai 1,86 juta orang“ kata Margo Yuwono kepala BPS. Untuk persentase dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 29,96 % dari jumlah angkatan kerja Indonesia yang saat ini berjumlah 135,6 juta orang angkatan kerja. Tentunya apabila sektor pertanian lebih diperhatikan pasti akan lebih banyak menyerap angkatan kerja, sektor pertanian merupakan sektor akar rumput yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT
Keengganan Angkatan Muda Menjadi Petani
Petani merupakan pekerjaan fundamental dalam pemenuhan kebutuhan pangan yang bersifat mendasar. Kita coba bayangkan apabila tidak ada yang mau lagi menjadi petani, yang memenuhi kebutuhan beras / pangan kita siapa ?. Dilema menjadi petani dapat kita lihat berdasarkan 2 perspektif atau sudut pandang, yakni sudut pandang ekonomis dan sudut pandang sosial.
Dari sudut pandang ekonomis petani bukanlah pekerjaan yang menjanjikan, petani memiliki prospek pendapatan yang rendah, kecuali beberapa jenis pertanian seperti : penanaman kayu gaharu, cengkeh, dan beberapa jenis tanaman lain. Namun pada umumnya seorang petani sulit mendapatkan keuntungan besar dalam aktivitas pertaniannya, belum lagi permainan harga, pembukaan keran impor, dan cuaca yang abnormal membuat pendapatan petani menjadi tidak menentu. Terkadang para petani rugi dalam melakukan aktivitas penanaman, karena modal lebih besar dari pada laba. Ibarat kata pepatah besar pasak daripada tiang. Sebagai contoh para petani cabai yang sering gagal panen akibat musim pancaroba.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang sosial, pekerjaan petani sering mendapat stereotip/prasangka buruk, identik dengan pekerjaan kumuh, kotor, dan gaji yang kecil. Banyaknya para tamatan sekolah tinggi/para sarjana enggan menjadi petani lebih banyak dikarenakan gengsi. Seharusnya apabila sektor pertanian ini lebih banyak peminatnya maka, peluang membuka kesempatan kerja menjadi semakin tinggi. Mungkin sebagian dari para pembaca yang berasal dari keluarga petani pernah mendengar ungkapan begini dari orang tuanya, “Nak!, kamu yang serius sekolah ya!, supaya tidak bekerja seperti ayah!”. Secara tidak langsung keengganan menjadi petani masuk ke alam bawah sadar Kita.
Seiring dengan perkembangan zaman dan industrialisasi yang terjadi, profesi petani menjadi tidak populer. Kemudian dengan adanya perubahan struktur masyarakat petani menuju masyarakat urban membuat profesi petani semakin kecil jumlahnya. Kita dapat melihat di lingkungan sekitar Kita, kawan-kawan seumuran Kita banyak yang sangat anti dengan aktivitas pertanian. Industrialisasi memang sebuah kepastian, namun opsi lain yang bisa Kita gunakan adalah industrialisasi pertanian. Dengan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian akan meningkatkan kuantitas pertanian. Kemudian rencana jangka panjang sektor pertanian harus dibuat, dengan tujuan akhir tercapainya “Kedaulatan Pangan”. Kita dapat berkaca kepada sejarah swasembada pangan zaman Orba, namun yang kurang adalah mempertahankan kedaulatan pangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Kemudian penghilangan anggapan bahwa petani itu adalah pekerjaan yang tak menjanjikan harus kita hapuskan. Tentu harus kita mulai lebih dengan perbaikan nasib dan pendapatan para petani baru, anggapan-anggapan yang demikian baru perlahan-lahan dapat Kita hilangkan.
Urgensi Kedaulatan Pangan
Di tengah arus globalisasi serta penghilangan batas atas negara menyebabkan ketergantungan antar negara semakin tidak terelakkan. Proses ekspor-impor antar negara telah membentuk jaringan niaga yang begitu besar, ketergantungan ini membuat Kita tidak bisa berdaulat. Memang tidak salah melakukan aktivitas niaga dengan negara lain, apa salahnya sesekali Kita yang jadi produsen ?. Apabila Kita sudah mampu memproduksi suatu barang serta memasarkannya, tentu Kita akan jadi seperti China, ataupun Amerika yang seenaknya bisa menekan negara lain, dengan kekuatan dagangnya.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan sektor pangan, kedaulatan pangan haruslah Kita wujudkan. Masak urusan perut Kita sendiri kita tak mampu mencukupinya, apalagi yang kurang dari kita?, SDA ?, SDM ?. Apakah para sarjana pertanian Kita tidak bisa mengatasinya ?. Kalau terus-terusan Kita tergantung dengan pihak luar Kita akan dikontrol serta dikendalikan. Sebagaimana yang dikatakan Henry Kissinger, "Control oil and you control the nations; control food and you control the people".
Pertanian telah menjadi tulang punggung ekonomi nasional, dikala krisis tetap memberikan sumbangsih. Walaupun seperti di anak tirikan, karena Kita terlalu berfokus kepada pengembangan industri, terutama industri berat. Banyak masyarakat Kita yang bergantung terhadap sektor pertanian, dengan pengembangan di sektor ini akan membuat ekonomi masyarakat kelas bawah menjadi terbantu. Sehingga petani menjadi sejahtera, serta kedaulatan pangan tidak menjadi angan belaka.
ADVERTISEMENT