Pemilu 2024 dan Wacana Indonesia Emas 2045

Sandi Kurniawan Pratama
Mahasiswa Departemen Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Padang
Konten dari Pengguna
3 Januari 2023 10:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sandi Kurniawan Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tulisan Demokrasi sumber :Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Tulisan Demokrasi sumber :Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Bulan Februari 2024 menjadi hari bersejarah bagi demokrasi Kita, karena pada saat tersebut dilakukan pemilihan legislatif, dan eksekutif secara serentak. Berbagai tingkatan pemilu dilakukan mulai dari tingkat pusat, sampai tingkat daerah. Tujuannya hanya satu, mencari pemimpin yang paling layak dan berkompeten untuk memimpin negeri. Tahun 2024 menjadi tahun penting untuk menuju Indonesia Emas 2045, karena 21 tahun setelahnya Indonesia akan mencapai masa emasnya pada tahun 2045.
ADVERTISEMENT
Demokrasi yang diterapkan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari adopsi sistem demokrasi barat. Revolusi Perancis menjadi awal penerapan sistem demokrasi di masa modern, yang mana sebelumnya sistem demokrasi ini sudah diterapkan di Eropa pada masa Yunani. Seiring nasionalisme Asia-Afrika Indonesia lahir menjadi sebuah negara, sedari awal Indonesia telah mendesain dirinya sebagai negara demokrasi. Namun setiap rezim pemerintahan memiliki tafsiran tersendiri atas apa yang disebut demokrasi itu. Setelah reformasi yang menuntut perbaikan sistem dalam demokrasi kita, dan dilakukan perombakan dalam sistem tata kelola negara.
Selepas tumbangnya rezim orde baru, Indonesia pertama kali melaksanakan pemilihan presiden pada tahun 2004, kemudian pada tahun-tahun berikutnya dilakukan pemilihan presiden pada tahun 2009, 2014, dan terakhir 2019. Kemudian di tahun 2024 akan dilaksanakan pemilu dengan skala besar, yang berlangsung 26 tahun pasca reformasi, akankah pemilu ini akan melahirkan pemimpin berkompeten ?, ataukah pemilu kali ini akan menghasilkan pemimpin pesanan oligarki semata ?.
ADVERTISEMENT
Jalan Panjang Demokrasi Kita
Ilustrasi peperangan sumber : Pixabay.com
Selepas kemerdekaan Indonesia merupakan sebuah ketidakmungkinan untuk melaksanakan sebuah Pemilu.Hal tersebut dikarenakan pemerintahan yang baru seumur jagung, ditambah lagi para penjajah masih kekeh ingin berkuasa kembali. Baru di tahun 1955 Indonesia melaksanakan pemilu pertama, hal ini menandai langkah awal pemilihan dalam sistem demokrasi Kita. Pada saat pemilu 1955 Indonesia berada dalam periode Demokrasi Parlementer/Demokrasi Liberal, pada saat itu kekuasaan atas pemerintahan dipegang oleh perdana menteri, dan presiden dan wakil hanya berfungsi sebagai lambang negara.
Pemilu 1955 dikatakan sebagai pemilu yang paling demokratis, hasil dari pemilu ini melahirkan 4 kekuatan politik pada saat itu yakni : PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Keempat partai ini mencerminkan 3 aliran politik yang ada pada saat itu yakni : nasionalis sekuler, nasionalis Islam, dan nasionalis kiri. Melansir dari Kompas.com, jumlah pemilih pada saat itu adalah 43.104.464 jiwa dan yang menggunakan hak pilihnya 37.875.229 jiwa (87,65%). Dalam pemilu pertama ini dilakukan pemilihan DPR dan Konstituante namun dalam pelaksanaanya, wilayah Irian Barat tidak bisa dilakukan pemilu karena masih dikuasai kolonial Belanda.
ADVERTISEMENT
Ketika zaman Demokrasi Terpimpin tidak sama sekali dilakukan pemilu, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 anggota DPR ditunjuk presiden sendiri tanpa melalui proses pemilu. Latar belakang belakang Demokrasi Terpimpin adalah kegagalan sistem Demokrasi Parlementer, karena pada masa demokrasi parlementer situasi politik tidak stabil karena sering terjadi pergantian kabinet. Pemerintahan orde lama menafsirkan sila keempat yakni “ Kerakyatan yang dipimpin hikmat……..” , kekuasaan presiden Soekarno pada masa ini sangatlah absolut dan perkataan presiden menjadi hukum.
Selepas peristiwa 65 yang menjadi titik awal pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, kemudian dilakukan pembersihan unsur komunis dalam kabinet dan MPR dengan Supersemar, pembersihan besar-besaran juga dilakukan kepada orang yang dianggap simpatisan PKI. Masuk ke dalam periode kekuasaan orde baru pemilu dilakukan beberapa kali mulai dari tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pada saat masa tersebut, dilakukan pemilihan DPR dan Soeharto terpilih sebagai presiden berkali-kali dengan beberapa orang pergantian wakil presiden. Mekanisme pemilihan presiden kala itu dilakukan secara perwakilan melalui MPR.
Foto pembangunan gedung DPR/MPR, sumber: MPR.go.id
Tahun 98 menjadi gerbang Indonesia menuju orde Reformasi. Reformasi bertujuan untuk perbaikan dalam berbagai aspek politik dan kenegaraan, kemudian juga dilakukan amandemen terhadap UUD. Di orde Reformasi mulai dilakukan pemilihan presiden mulai tahun 2004, 2009, 2014, 2019, dan 2024 mendatang. Reformasi adalah perubahan dalam sendi bernegara Indonesia, yang mana pada masa sebelumnya terjadi pemerintahan yang sentralistis dan otoriter sehingga demokrasi tidak berjalan sepenuhnya. Diharapkan dengan pemilihan presiden secara langsung dapat mencerminkan kedaulatan rakyat. Lantas timbul pertanyaan, apakah demokrasi era reformasi ini telah berhasil ?.
ADVERTISEMENT
Melansir data Kompas Id, Economist Intelligence Unit (EIU) menyampaikan indeks demokrasi Indonesia tahun 2021 mencapai angka 6,71 mengalami perbaikan dari tahun 2020 lalu. Hal ini tentu patut diapresiasi, namun masih banyak perlu perbaikan yang perlu Kita perbaiki dalam sistem demokrasi Kita. EIU menyampaikan bahwa 2 hal yang menjadi penyebab naiknya indeks demokrasi Indonesia yakni, putusan MK mengenai UU Ciptaker dan kemampuan Presiden Jokowi dalam mengakomodasi kelompok-kelompok politik di dalam kabinet.
Ilustrasi sumber : Pixabay.com
Pemilihan presiden secara langsung memang sudah mengakomodir kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin. Namun yang perlu Kita perhatikan adalah setiap presiden dan masa jabatannya memiliki gaya dan karakteristik tersendiri. Kita terjadi peralihan kekuasaan menyebabkan pembangunan dilakukan dengan cara yang berbeda, oleh sebab itu menurut hemat penulis perlu dirumuskan kembali GBHN (Garis Besar Haluan Negara) oleh MPR. Walaupun presiden berganti-ganti namun arah kebijakan negara secara garis besar tidak boleh berubah, boleh saja presiden memiliki gaya dan stylenya sendiri dalam memimpin, namun harus tetap berpegang teguh kepada GBHN. Hal ini bertujuan agar pembangunan segala lini dan sektor, menjadi terarah walaupun sering terjadi pergantian pimpinan politik. Dan pemilu tidak hanya sekedar menghabiskan APBN semata.
ADVERTISEMENT
Kembali melihat data yang disampaikan Economist Intelligence Unit (EIU) memang indeks demokrasi Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, namun semenjak tahun 2016 sampai 2020 trennya mengalami penurunan. Ada berbagai aspek yang menjadi patokan EIU dalam mengkalkulasikan indeks demokrasi diantaranya: penyelenggaraan pemilu, pluralisme, fungsi pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.
Kalau Kita mengingat cita-cita dan tujuan Reformasi adalah perbaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbaikan tersebut tidak boleh hanya stagnan di masa reformasi terjadi saja, perbaikan tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan dengan penyesuaian dengan jiwa zaman, serta nilai dan norma yang berlaku secara umum. Kalau Kita melihat secara umum antara sistem pemilu, pemimpin, dan kebijakan itu sinkron. Pemilu menginginkan peralihan kekuasaan secara damai, pemimpin memiliki otoritas atas sumber daya negara, kemudian menggunakannya sesuai dengan kebijakan yang ia terapkan. Oleh sebab itu, pemimpin yang dihasilkan harus berkompeten dan tidak hanya bermodal populer. Ia paham posisinya sebagai seorang eksekutif, mampu menyeimbangkan kekuatan politik internal negara, dan mampu mengarahkan kebijakan negara keluar. Memang berat kalau mau jadi pemimpin !, siap dicaci !, siap dihina !, siap dipuji !, dan harus siap dengan semua persepsi !.
ADVERTISEMENT
Kita selalu mengharapkan figur-figur yang terjaring sebagai pemimpin adalah para figur yang paham akan sejarah bangsa, paham apa itu dasar negara, dan paham apa itu demokrasi. Dan yang paling penting tidak anti kritik, telah menjadi budaya bagi masyarakat Kita bahwa kritik merupakan sebuah ancaman terhadap kekuasaan, oleh sebab itu Kita harus mulai merubahnya. Semoga kedepannya figur-figur yang demikian dapat terjaring, walaupun tak semua yang berkompeten bisa menjadi pemimpin. Harus ada perbaikan terus menerus terhadap sistem pemilihan yang ada, tidak ada demokrasi yang ideal, yang ada adalah demokrasi yang disesuaikan dengan keadaan.
Presidential Threshold antara Sistem yang Bagus dan Langkah Saling Menjegal
Wacana dan pembahasan mengenai presidential threshold merupakan bahasan yang selalu panas untuk diikuti dari pemilu ke pemilu. Ambang batas parlemen sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil ini, selalu panas dalam pembahasannya, tak jarang para pengamat dan politisi perang urat saraf ketika membahas hal ini. Mengapa bisa demikian ?, ada kepentingan yang terganggu, atau ada apa ?, mana yang harus Kita percaya, pengamat ?, atau politisi ?.
Foto Kotak Suara, sumber : Pixabay.com
Sedikit membahas tentang threshold (ambang batas suara), ada 3 macam threshold yang diterapkan di Indonesia yakni presidential threshold, parliamentary threshold, dan electoral threshold. Ketiga macam ambang batas ini berlalu dalam pemilihan di Indonesia, dalam presidential threshold seorang capres harus memiliki suara 20% dari pengusungnya, didalam parliamentary threshold sebuah partai harus mencapai perolehan suara 4 % secara nasional untuk mendapatkan pembagian kursi legislatif, sementara electoral threshold dijadikan syarat bagi sebuah partai untuk ikut dalam pemilu selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari berbagai threshold yang diterapkan di Indonesia, pembahasan mengenai presidential threshold merupakan bahasan yang selalu panas. Apalagi bila Kita berkaca kepada 2 kali pemilu kebelakang, telah terjadi pembelahan/polarisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada yang merasa sebagai yang paling Pancasila, dan Pancasila itu sendiri fungsinya bertambah yakni sebagai alat pukul politik. Tujuan dari pemilu pada dasarnya adalah peralihan kekuasaan dengan jalan damai, bukan hanya berlarut-larut dengan kekalahan pasangan yang Kita dukung. Ada yang merasa kecewa dengan masuknya salah satu peserta Pemilu Presiden 2019, menjadi Menteri di kabinet pemerintahan. Itu merupakan sebuah hal yang wajar dalam dunia politik, karena tidak ada musuh abadi dan tak ada kawan sejati.
Penerapan presidential threshold sudah semenjak lama dilakukan, yakni semenjak pemilihan presiden pertama pada waktu itu tahun 2004. Pada waktu itu batasan presidential threshold adalah 15 %, yang menjadi dasar pijakan yuridis pada waktu itu adalah UU no 23 tahun 2003. Ketika pemilu 2009 terjadi perubahan atas threshold dalam pemilihan presiden, terjadi peningkatan ke angka 20 % dan yang menjadi landasan yuridis adalah UU no 42 tahun 2008. Jumlah threshold yang sama masih diterapkan dalam beberapa kali pelaksanaan pemilu yakni di tahun 2014, 2019, dan 2024 mendatang.
ADVERTISEMENT
Pada pemilu 2004 dan 2009 banyak pasangan calon yang menjadi calon presiden dan wakil, berbeda polanya mulai tahun 2014 dan tahun 2019 yang mana pasangan calon presiden dan wakil hanya terdiri atas 2 pasangan calon. Semua Kita dapat merasakan secara empiris pada pemilu 2019, merupakan pertarungan politik yang amat panas menuju istana. Namun dampak pemilu ini masih bisa Kita rasakan hingga saat ini yakni dengan masih adanya segmentasi dan polarisasi di dalam masyarakat.
Sebenarnya tujuan awal dari presidential threshold amatlah baik, sebagai metode seleksi alamiah terhadap partai-partai politik, ini merupakan konsekuensi dari sistem multipartai yang Kita gunakan. Berbeda dengan Amerika yang menggunakan sistem 2 partai, China dengan satu partai. Threshold membuat kedudukan presiden lebih aman dalam menjalankan pemerintahan, atau dengan kata lain menciptakan sebuah kestabilan dalam pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Dalam dalam konteks Indonesia dalam beberapa kali pelaksanaan pemilu di Indonesia yakni di tahun 2014, dan 2019. Pasangan calon presiden dan wakil, selalu terkotak menjadi 2 pasangan calon. Sebagaimana yang telah Kita singgung diatas bahwa, semenjak pemilu 2019 polarisasi dalam masyarakat Kita masih terasa hingga saat ini. Semoga saja di pemilu 2024 polarisasi semacam itu tidak terjadi lagi, karena hakikat dari pemilu adalah “peralihan kekuasaan secara damai”, bukan “polarisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara !“.
Ambang batas/threshold yang Kita bahas di atas sudah beberapa kali digugat ke Mahkamah Konstitusi, gugatan tersebut selalu mental. Diantara hakim konstitusi selalu terjadi dissenting opinion / perbedaan pendapat dalam memutuskan perkara threshold pencalonan presiden tersebut. Semoga untuk pemilu 2024 calon presiden dan wakil tidak hanya 2 pasangan calon, supaya polarisasi masyarakat yang tak berkesudahan tak terjadi lagi. Walaupun realitanya peta politik di Senayan, mayoritas partai sudah condong ke istana. Semoga manuver-manuver politik yang terjadi menciptakan pemilu yang sehat.
ADVERTISEMENT
Urgensi Pendidikan Politik
Foto demonstrasi, sumber : Pixabay.com
Dalam UUD 1945 pasal 22E disebutkan bahwa pemilu adalah sarana demokrasi rakyat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Disamping rakyat dituntut aktif dalam menyalurkan hak pilihnya, namun rakyat juga harus berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pemilu. Pembentukan badan adhoc seperti PPK, PPS, dan PPLN merupakan bentuk pendidikan politik secara empiris terhadap masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan paham tentang mekanisme politik yang diterapkan di negeri Kita ini, disamping mendapatkan honor, menjadi penyelenggara pemilu merupakan sebuah pengalaman yang istimewa. Adapun yang tidak bertugas sebagai penyelenggara pemilu, memiliki kewajiban agar memantau pemilu dapat berjalan secara jujur dan adil.
Politik dalam artian positif diartikan sebagai upaya untuk mensejahterakan, sementara dalam artian negatif adalah perebutan kekuasaan. Namun ruang lingkup politik tidak hanya itu, sebagaimana yang diungkapkan Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik “ berbagai konsep dalam politik adalah negara/ state, kekuasaan/power, pengambilan keputusan/decision making, kebijakan/policy, distribusi/alokasi “. Pemilu sendiri merupakan bagian dari mekanisme politik yang terjadi dalam negara, yang erat kaitannya dengan pergantian kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Lantas timbul pertanyaan, apa peranan Kita sebagai warga negara dalam urusan politik ?. Apakah Kita memiliki hak untuk ikut andil dalam urusan politik ?, bukannya urusan politik itu hanya urusan bagi pejabat negara semata. Berbagai pernyataan tersebut acap kali muncul ketika masyarakat awam berbincang-bincang mengenai urusan politik, apalagi ada isu-isu yang mereka lihat di dalam televisi. Disini pentingnya pendidikan politik bagi warga negara, supaya mereka dapat paham dengan posisi dan kedudukannya dalam negara.
Mengenai pendidikan politik secara umum sudah didapatkan masyarakat melalui mata pelajaran PKN/ Pendidikan Kewarganegaraan. Pembelajaran yang didapatkan di bangku sekolah dasar, menengah, dan perkuliahan adalah pendidikan politik yang bersifat teoritis. Dan memiliki tujuan utama untuk meningkatkan nasionalisme dan patriotisme masyarakat. Beda dengan pendidikan politik secara empiris dimana masyarakat ikut serta dalam mekanisme politik, salah satunya adalah pemilu. Kalau di tingkat legislatif, mungkin Sebagian dari Kita pernah melihat di TV tokoh masyarakat yang diundang ke DPR untuk dengar pendapat dalam penyusunan berbagai aturan perundangan, itu merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam mekanisme politik.
ADVERTISEMENT
Setelah Reformasi 98 kebebasan berpendapat semakin terbuka, ditambah lagi dengan kebebasan pers, hal ini merupakan buah dari Reformasi 98. Seharusnya pendidikan politik bagi masyarakat lebih dikedepankan lagi, supaya masyarakat tidak hanya jadi pion semata. Banyak opsi pendidikan politik yang dapat dilakukan, terutama dengan diskusi-diskusi ilmiah terbuka antara tokoh-tokoh nasional yang membahas permasalahan yang dihadapi. Kemudian penyadaran masyarakat tentang posisi dan kedudukan mereka harus dipertegas lagi, dan yang paling utama adalah pelaksanaan, jangan sampai katanya ingin mencerdaskan bangsa, ketika ada kritis sedikit langsung dibungkam.
Mewujudkan Wacana “Indonesia Emas 2045 “
Karikatur presiden-presiden Indonesia, sumber : Pixabay.com
Kemajuan teknologi informasi merupakan sebuah keniscayaan yang tak dapat dielakkan. Akankah Indonesia akan tetap eksis kedepannya ?, dengan globalisasi membuat batasan teritorial antara negara semakin kabur. Disamping itu nasionalisme menghadapi ancaman pemudaran, terutama pada kalangan muda karena gadget yang mereka pakai. Teknologi ini ibarat pisau bermata 2, bisa digunakan untuk memasak maupun untuk membunuh.
ADVERTISEMENT
Kalau membahas wacana Indonesia Emas 2045 teramat banyak aspek yang harus Kita bahas, disamping itu pemahaman penulis terlalu dangkal untuk menguraikan berbagai aspek tersebut. Namun yang perlu Kita ketahui Indonesia Emas akan menjadi sebatas wacana semata, apabila pembangunan negara Kita hanya stagnan segitu-gitu saja. Kita harus mampu bersaing dengan negara-negara di Dunia. Baik itu dari segi SDM, kalau SDA tak usah ditanya, dari dahulu di SDA Kita selalu unggul. Karena keunggulan SDA itulah penjajah datang ke negeri Kita ini. Lantas Kita bertanya, apakah kualitas SDM Kita rendah ?. Jawabannya TIDAK, SDM Indonesia ini hanya kurang kesempatan bukan kurang kualitas. Banyak SDM Kita yang enggan pulang ke negeri ini, karena berbagai keterbatasan yang mereka dapati.
ADVERTISEMENT
Kembali lagi kepada substansi mengenai pemilu dan wacana Indonesia Emas 2045. Diawal Kita menyatakan bahwa pemilu adalah peralihan kekuasaan secara damai, lantas apa hubungannya dengan Indonesia Emas 2045 ?. Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika dan India, tentu pergantian tampuk kepemimpinan terus berlangsung setiap periode waktu tertentu. Tentu dengan pergantian kepemimpinan yang bergulir, tentu Kita selalu mengharapkan pembangunan selalu sinkron. Tidak ganti pemimpin, ganti arah kebijakan, kebijakan ini belum selesai sudah ada kebijakan yang baru. Jangan pembangunan itu hanya menjadi proyek bagi segelintir pihak.
Oleh sebab itu seperti kita singgung diatas perlu dihidupkan kembali GBHN (Garis Besar Haluan Negara), supaya rencana Indonesia kedepannya menjadi lebih pasti. Indonesia berbeda dengan Amerika, yang mana presiden sudah berganti berkali-kali namun kebijakan negerinya secara garis besar tidak berubah. Dapat Kita lihat Amerika saat ini masih menjadi pengendali dunia. Disamping itu mekanisme pemilu baik dan sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi Indonesia harus ditemukan, agar orang-orang yang paling berkompeten dapat memiliki kesempatan dalam memimpin dan tidak hanya modal populer saja. Dan masyarakat memiliki banyak opsi dalam menentukan pemimpin, dan tidak hanya terkotak menjadi 2 pasangan calon. Semoga wacana Indonesia Emas 2045 tidak menjadi wacana dan angan semata…
ADVERTISEMENT