Trauma Masa Lalu di Belakang Isu Kebangkitan PKI

Sandi Kurniawan Pratama
Mahasiswa Departemen Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Padang
Konten dari Pengguna
3 Oktober 2022 10:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sandi Kurniawan Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tampak depan Museum Penghianatan PKI, sumber : Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Tampak depan Museum Penghianatan PKI, sumber : Pribadi.
ADVERTISEMENT
Peristiwa 65 / G30S PKI / Gestok / Gestapu, merupakan salah satu peristiwa sejarah yang penting dan menjadi perhatian, terutama setelah Kemerdekaan Indonesia. Bahkan pembahasan mengenai PKI menjadi hangat setiap akhir bulan September. Banyak penamaan untuk peristiwa ini, tergantung yang menyampaikannya. Gestok merupakan istilah yang berasal dari Presiden Soekarno, G30S PKI merupakan istilah rezim orde baru, sementara Gestapu merupakan singkatan dari Gerakan September Tiga Puluh.
ADVERTISEMENT
Selepas Indonesia Merdeka, Indonesia memasuki beberapa periode sejarah yakni, periode revolusi, periode demokrasi liberal,periode orde lama, dan periode orde baru. Peristiwa G30S PKI menjadi titik transisi kekuasaan dari orde Lama menuju orde baru, yang bersifat sentralistik dan militeristik.
Tragedi tahun 1965 , masih tertinggal didalam memori kolektif Bangsa Indonesia, apalagi para generasi-generasi yang merasakan peristiwa yang terjadi setengah abad yang lalu, menjadi saksi hidup bagi Kita untuk merefleksikan betapa mencekamnya keadaan pada waktu itu.
Setiap memasuki akhir September narasi-narasi tentang Peristiwa 65 / G30S PKI acapkali bermunculan. Apalagi semenjak tahun 2017 lalu, ketika awal pemutaran kembali Film G30S PKI. Disamping peristiwa ini memiliki dampak besar bagi Bangsa Indonesia, pembahasan mengenai peristiwa ini selalu alot setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Latar Belakang Peristiwa G30S PKI / Gestapu/ Gestok
Dapur umum, Lubang Buaya, Jakarta Timur. Sumber Pribadi.
Ketika Kita mencoba melihat Peristiwa 65 dengan kacamata yang lebih luas, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh 3 kekuatan saat itu yakni : Presiden Soekarno, PKI, dan Angkatan Darat. Presiden Soekarno mencoba menyeimbangkan ketiga kekuasaan tersebut melalui ideologi Nasakom (nasionalis, agamis, dan komunis). PKI yang ketakutan akan disikat oleh Angkatan Darat memilih untuk melakukan pemberontakan. Hal ini dikarenakan Presiden Soekarno kala itu mulai sakit-sakitan.
Sebelumnya Partai Masyumi pada tahun 1960, yang merupakan representasi dari golongan Islam telah dibubarkan, karena terindikasi mendukung PRRI oleh rezim orde lama. Masuk ke tahun 65 terjadi guncang-ganjing politik tanah air, dan berujung pada kudeta / pemberontakan yang dipelopori oleh PKI. Sebenarnya banyak tafsiran dan perspektif lain mengenai Peristiwa 65 ini, tinggal bagaimana Kita menggunakan tafsiran yang paling logis dan objektif serta memaknai peristiwa tersebut dengan sebaik mungkin.
Patung filsuf Karl Marx, sumber utama : Pixabay.com
Banyak spekulasi dan dugaan atas peristiwa ini, hal ini dikarenakan banyaknya perbedaan penafsiran atas peristiwa ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Salim Said, guru besar Universitas Pertahanan di program ILC (Indonesia Lawyers Club) pada tahun 2017 lalu, "Komunisme sudah mati, Soviet telah runtuh pada 1991, China telah menjadi negara kapitalis, namun ajaran Marx tetap dipelajari di universitas ".
ADVERTISEMENT
Dari pernyataan Salim Said ini dapat Kita simpulkan bahwa, komunisme itu memang sudah mati. Karena komunis tidak mampu dalam menjawab tantangan. Sejalan dengan perkataan filsuf sejarah Arnold J. Toynbee, "Challenge and response", bahwa sesuatu tidak akan mampu bertahan apabila tidak mampu menjawab tantangan.
Komunisme di Indonesia sudah bubar, PKI pun telah dilarang melalui Tap MPR. Namun bayang-bayang kebangkitan PKI selalu menghantui. Pasti di pihak anak-anak PKI, maupun korban PKI memiliki trauma masa lalu akibat peristiwa ini, namun bukan berarti Kita harus selalu sibuk menyimpan dendam masa lampau.
Halaman depan Museum Penghianatan PKI. Sumber : pribadi.
Jangan sampai isu kebangkitan Komunis hanya dijadikan sebagai alat politis, untuk menekan kaum tertentu saja. Namun bukan berarti Kita, tidak mewaspadai gerakan-gerakan yang memiliki pola seperti PKI. Terkadang Kita terlalu menghayati trik dan intrik politik semata, dan tidak mencoba menyelami "Zeitgeist" (jiwa zaman), pada tahun 65. Sehingga Kita dapat melihat bagaimana ketegangan antar kekuatan politik waktu itu terjadi. Kita juga harus merefleksikan, serta membandingkannya dengan keadaan saat ini.
ADVERTISEMENT
Refleksi Terhadap Peristiwa G30S PKI / Gestapu/ Gestok
Diorama di Museum G30S PKI, Cipayung, Jakarta Timur. Sumber : pribadi.
Lantas bagaimana Kita harus merefleksikan Peristiwa 65 ?, menyalahkan pemerintah ?, menyalahkan tentara ?, menyalahkan anak keturunan PKI ?. Sangatlah tidak objektif apabila Kita menyalahkan salah satu diantara ketiganya. Kita harus memaknainya sebagai interaksi 3 kekuatan politik kala itu, apalagi pada saat itu Pemerintah menjadikan politik sebagai panglima, sehingga suhu politik menjadi sangat panas kala itu. Dengan demikian Kita akan dapat melihatnya dengan kacamata yang begitu luas.
Kita harus mengambil hikmah dari Peristiwa 65, dan tidak selalu muluk-muluk dengan dendam politik masa lampau. Apabila Kita terlalu sibuk dengan hal tersebut, masalah ini ibarat duri dalam daging yang menyebabkan Kita tidak fokus dengan pembangunan negeri ini kedepannya. Dan Kita harus selalu berusaha memaknai sejarah secara logis dan objektif, walaupun unsur subjektivitas Kita selalu mewarnainya.
Tugu Pahlawan Revolusi, sumber : pribadi. (KKL Departemen Pendidikan Sejarah UNP, 29 Mei 2022)
Sekarang Kita sudah memasuki orde reformasi, pemerintahan orde baru yang bersifat sentralistik dan militeristik sudah digantikan. Seharusnya orde reformasi ini dijadikan sebagai titik tolak Kita, belajar dari sejarah yang telah berlalu, untuk menata masa depan lebih baik kedepannya. Dan Kita harus menghentikan kebencian-kebencian yang ada, serta tidak muluk-muluk dengan dendam masa lalu.
ADVERTISEMENT
Kebenaran absolut hanya milik Allah SWT, dan kepada-Nya Kita bernaung dan berlindung....