Menyorot Kegundahan Pelaku Usaha Spa tentang Pajak Hiburan

Sandra Gisela Tandiono
Currently pursuing Bachelor Degree of Public Administration in the University of Indonesia based on the interest in foreign policy and governmental reform. Whilst also passionate about graphic design and content creation.
Konten dari Pengguna
9 April 2024 16:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sandra Gisela Tandiono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Spa. Sumber: Shuttlestock
zoom-in-whitePerbesar
Spa. Sumber: Shuttlestock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dicetusnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuantang Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki landasan untuk memperkuat desentralisasi fiskal dan pelaksanaan proses pembangunan di daerah yang lebih mudah. Menurut Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2022), UU HKPD memiliki empat pilar latar belakang, antara lain: (1) mengurangi ketimpangan secara vertikal dan horizontal; (2) penguatan taxing power pemerintah daerah; (3) peningkatan kualitas belanja daerah; dan (4) harmonisasi belanja antara pemerintah pusat dan daerah.
ADVERTISEMENT
Namun, setelah dua tahun dicetuskan, muncul keresahan baru dalam benak masyarakat, khususnya pelaku usaha spa di daerah. Pelaku usaha yang tergabung dalam Wellness and Healthcare Entrepreneur Association (WHEA), Indonesia Wellness Master Association (IWMA), dan Indonesia Wellness Spa Professional Association (IWSPA) menilai diperlukannya revisi atau uji materi atas peraturan UU HKPD tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, Pasal 55 UU HKPD tumpang tindih dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Kepariwisataan yang menggarisbawahi tentang pengelompokkan jenis usaha yang termasuk ke dalam objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Di dalam UU HKPD Pasal 55 ayat (1) huruf I, pemerintah mengelompokkan jasa spa ke dalam jasa kesenian dan hiburan, seperti halnya diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar. Asosiasi dan pengusaha yang bergerak di bidang spa menilai bahwa spa lebih mengarah ke pelayanan kesehatan sebagaimana tertera pada Permenkes Nomor 8 Tahun 2014 dan program Kementerian Kesehatan yang menjadikan spa sebagai bagian dari pelayanan kesehatan tradisional.
ADVERTISEMENT
Pemasukan dan pengeluaran usaha spa juga akan berpengaruh pada permintaan (demand) dan penawaran (supply) dari industri hulu, seperti pemasok bahan kebutuhan spa dan UMKM yang menunjang spa. Apabila pajak yang tinggi kembali dibebankan, maka tentu akan berdampak signifikan pada kesehatan finansial pelaku usaha dan jumlah pelanggan (customer) yang mau mencoba layanan spa. Selain itu, terdapat potensi terjadinya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai imbas kenaikan tarif pajak.
Spa Sebagai Hiburan vs Kesehatan
Menilik UU HKPD, tarif pajak hiburan jenis barang dan jasa tertentu (PJBT) berkisar antara 40 hingga 75 persen yang berlaku per Januari 2024. Dengan kata lain, penerapan tarif pajak baru berdasarkan UU HKPD baru dilakukan 2 tahun setelah UU HKPD diundangkan. Jika menyelisik Pasal 55 ayat (1) huruf I, maka tarif PBJT yang ditetapkan mencakup kegiatan bisnis hiburan malam, kelab malam, bar, dan diskotek yang memiliki konotasi negatif atau berdampak negatif untuk masyarakat. Di sisi lain, usaha hiburan seperti bioskop, wahana wisata, dan panti pijat hanya dikenai tarif pajak maksimal 10 persen tanpa batas minimum.
ADVERTISEMENT
Klasifikasi tersebut yang mendorong pengusaha spa mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji Pasal 55 ayat (1) huruf I dan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD. Para Pemohon merasa dirugikan karena spa dikategorikan bersama dengan bisnis hiburan malam, kelab malam, bar, dan diskotek dengan definisi yang jelas menyimpang dari bidang usaha spa. Selain itu, terdapat benturan dengan Permenkes Nomor 8 Tahun 2014 yang menjadi pedoman penyelenggaraan usaha spa. Berdasarkan Permenkes tersebut, spa seharusnya berada dalam kategori pelayanan kesehatan tradisional, ketimbang hiburan.
Tidak hanya itu, terminologi yang digunakan untuk pekerja spa adalah “terapis” karena memberikan layanan terapi di spa tersebut secara profesional. Indonesia Wellness Spa Associaton (IWSPA) (2024) mengatakan setidaknya terapis spa harus memiliki dua jenis sertifikat: sertifikat pelatihan dari lembaga pelatihan yang terakreditasi dan sertifikat kompetensi dari BNSP yang diakui dan dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Hal ini erat kaitannya dengan prinsip spa yang berpusat pada wellness tourism atau wisata kebugaran.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada permohonan uji materi teregistrasi dengan nomor perkara 20/PUU-XXII/2024, pembentukan Pasal 55 ayat (1) huruf I dan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD merugikan hak konstitusional dalam mengembangkan perawatan dan peningkatan kesehatan secara tradisional melalui usaha spa, termasuk bertentangan dengan peraturan dan program pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan. Pemohon juga merasa bahwa dengan pencantuman kata “spa” sebagai hiburan di dalam kedua pasal tersebut akan menambah beban para pemohon, yakni pajak tambahan yang berkisar antara 40 hingga 75 persen.
Hingga saat ini, sidang demi sidang uji materiil UU HKPD akan digelar untuk menyempurnakan isi dari undang-undang tersebut, sehingga mampu mewujudkan tujuan yang semula telah dirancang oleh pemerintah pusat dan Kementerian Keuangan.
ADVERTISEMENT