Konten dari Pengguna

Dari Ponsel Jadul ke Era Digital: Cerita dari Perbatasan Indonesia-Filipina

Sandra Medawo
Jurnalis di Lintasutara.com
28 April 2025 15:57 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sandra Medawo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada awal tahun 2000-an, ponsel di wilayah perbatasan Indonesia-Filipina, seperti Kepulauan Sangihe, masih menjadi barang langka.
ADVERTISEMENT
Di banyak rumah di wilayah pedesaan, benda ”mungil” ini hanya dimiliki oleh sedikit orang, dan fungsinya pun sebatas alat komunikasi sederhana dengan fitur yang terbatas pula.
Nokia Tipe 1100 adalah ponsel legendaris di zaman itu. Layarnya monokrom, dengan keypad yang unik– tombolnya dari karet dan lampu latar warna hijau. Fungsinya simpel: telepon dan SMS. Selebihnya? Pilih nada dering, main Snake atau Tetris, lihat-lihat gambar pixel. Tidak ada touch screen, kamera, apalagi internet. Ponsel jadul ini benar-benar jauh kalau dibandingkan smartphone sekarang.
Bagi kami masyarakat perbatasan, fitur sederhana itu sudah cukup menghibur pada masanya. Tapi kalau buat komunikasi, tetap butuh strategi. Isi pulsa harus dihitung cermat, karena jumlah karakter SMS ‘ngaruh ke saldo, dan nelpon? Sebisa mungkin buat yang penting-penting. Soalnya kalau sudah keenakan ngobrol, bisa-bisa pengeluaran pulsa tidak tanggung-tanggung.
ADVERTISEMENT
Masalah utama waktu itu bukan cuma fitur, tapi sinyal. Di banyak kampung di Kepulauan Sangihe, misalnya sekitar Kecamatan Tabukan Selatan, sinyal harus “dijemput” dari tower di kecamatan lain—jaraknya bisa puluhan kilometer.
Untung-untungan kalau dapat tiga atau empat batang sinyal, satu dua batang sudah maksimal dan bikin senang. Kalau kamu pernah nonton film Susah Sinyal, yah, kira-kira begitulah potret kesulitan kami mendapatkan sinyal di tahun-tahun itu.

Ritual Berburu Sinyal

Karena keterbatasan sinyal, mencari sinyal jadi semacam “ritual sosial.” Orang-orang yang punya ponsel harus jalan kaki atau naik motor ke tempat tinggi yang jaraknya bisa kiloan meter. Naik bukit, berdiri di bawah pohon, demi sebatang-dua batang sinyal.
Dego-dego (bangku bambu), gubuk kecil, bahkan pinggir jalan pun berubah fungsi menjadi "pos komunikasi darurat." Di sana, warga berkumpul. Suasana menjadi semarak oleh nada dering, suara tawa, dan kadang keluhan karena sinyal yang tiba-tiba hilang atau telpon yang putus.
ADVERTISEMENT
Semua dilakukan demi bisa terhubung dengan keluarga atau kenalan di luar pulau, walau cuma sebentar. Ajaibnya, teknologi yang serba terbatas itu justru menciptakan ruang sosial yang unik.

Dulu Ponsel Saling Pinjam, Sekarang Lebih Privat

Di masa ponsel jadul, meminjam ponsel teman atau saudara itu hal biasa. Bahkan tak jarang, isi pesan bisa dibaca rame-rame dan jadi bahan candaan. Namun sekarang, ponsel adalah barang yang lebih privat.
Perubahan ini menunjukkan pergeseran budaya dalam pemanfaatan teknologi. Teknologi tidak hanya mentransformasi device yang dipakai, tapi juga cara orang berinteraksi dan menjaga privasi..
Wajar sih, smartphone sekarang ini didalamnya ada foto, video, chat, email, aplikasi perbankan, bahkan e-wallet. Rasanya, meminjamkan smartphone buat urusan selain nelpon butuh pertimbangan lebih.
ADVERTISEMENT

Nuansa Awal Era Digital di Perbatasan

Meski istilah "era digital" sudah lama dikenal, tapi nuansanya baru terasa sekitar 2007–2009 di Sangihe. Ponsel mulai naik level. Nokia 5300 jadi primadona. Dengan layar warna, musik player, dan MP3 player yang bisa dipakai buat dengerin lagu, ponsel tipe ini udah jadi pilihan utama buat anak muda.
Itu belum lagi fitur kamera VGA, meskipun cuma 0.3 MP, tapi sudah cukup keren buat zaman itu. Internet juga mulai bisa diakses, walau masih agak lemot. Bisa browsing, buka Facebook, meskipun loading-nya lebih lambat.
Tapi mencari jaringan internet buat mengerjakan tugas atau dapat informasi baru harus memakai komputer atau laptop. Belum ada kafe atau kantor pemerintah yang kasih WiFi gratis seperti sekarang, atau ponsel yang siap buat hostpot.
ADVERTISEMENT
Di ibu kota Tahuna, saya mengandalkan beberapa titik buat internetan via komputer, kayak kantor pemerintah atau sekolah. Tapi, jangan bayangin internetnya cepat ya, apalagi kalau pas hujan. Loading satu halaman butuh waktu yang lama, mungkin bisa habis satu sesi cerita atau sebanding dengan lamanya waktu memasak mie rebus.
Beberapa tahun kemudian, warnet jadi tempat populer buat anak muda untuk online. Itupun hanya ada salah satu warnet yang populer yang banyak dikunjungi. Disana, para anak-anak muda tidak hanya mengerjakan tugas sekolah atau kuliah, tapi juga Facebook-an. Warnet jadi tempat untuk nongkrong, tempat cari teman, sampai ketemu gebetan.
Orang kerja yang mencari informasi atau bertemu kenalan juga datangya ke warnet, turis lokal atau mancanegara juga 'lari' ke tempat ini buat online. Satu warnet yang dulu saya kunjungi jadi titik awal buat merasakan era digital. Dari sanalah, konektivitas yang makin nyata, informasi makin terbuka.
ADVERTISEMENT

Sangihe Hari Ini: Teknologi Menyentuh Ujung Negeri

Sangihe yang saya kenal dulu sudah berubah drastis. Infrastruktur yang dulu terbatas kini telah berkembang pesat. Jalan-jalan yang menghubungkan desa satu dengan desa lainnya telah dibangun, dan yang paling penting, jaringan komunikasi kini telah meluas.
Jangkauan sinyal yang dulu terbatas hanya ada di Tahuna kini sudah masuk ke pelosok-pelosok desa. Komunikasi jarak jauh yang dulu hanya bisa dilakukan dengan susah payah kini menjadi jauh lebih mudah dan cepat.
Ponsel Nokia 1100 yang dulu saya pakai, sekarang cuma tinggal kenangan. Smartphone dengan berbagai fitur canggih menjadi barang yang umum bagi masyarakat perbatasan.
Whatsapp menjadi pengganti SMS dan nelpon sementera Media Sosial, seperti Facebook, Instagram dan Tiktok, menemani rutinitas masyarakat. Lewat smarthphone, masyarakat perbatasan kini bisa belanja online, kirim uang lewat aplikasi, bikin konten sendiri dan bahkan dapet penghasilan dari situ.
ADVERTISEMENT
Smartphone kini jadi alat yang tidak hanya digunakan buat komunukasi, tetapi juga buat berkarya. Anak-anak muda perbatasan kini bisa ikut tren terbaru di media sosial, belajar edit foto dan video, dan membangun komunitas online, entah lewat lewat Whatsapp, Telegram dan platform media sosial lainnya.
Tidak ketinggalan, para pelaku usaha semakin gampang memasarkan produk atau jasa mereka secara online. Pemasaran bisnis yang dulu terbatas secara geografis, dapat dipasarkan dengan mudah keluar pulau.
Komunitas-komunitas lokal pun mulai tumbuh dan berkembang, memanfaatkan peluang dari dunia digital. Pelatihan-pelatihan tentang teknologi, pembuatan konten, dan literasi digital banyak digelar untuk membantu masyarakat memahami lebih dalam tentang bagaimana teknologi bisa dimanfaatkan. Pemerintah daerah juga ikut mendukung ekosistem digital yang berkembang.
ADVERTISEMENT
Era digital dengan dukungan infrastruktur dan kesadaran akan pentingnya teknologi digital ini telah menjadi peluang baru di berbagai sektor bagi masyarakat perbatasan. Di era digital ini, masyarakat di wilayah perbatasan seperti Kepulauan Sangihe bukan lagi hanya penonton, tapi bagian dari ekosistem digital yang lebih luas.
Meski banyak kemajuan, perkembangan teknologi digital di perbatasan Indonesia-Filipina ini masih menyimpan tantangan yang kompleks. Masih ada area yang belum terjangkau oleh jaringan sinyal, bahkan ada beberapa tempat yang internetnya masih tidak stabil.
Koneksi yang belum stabil ini masih membatasi komunikasi sehari-hari, apalagi ketika teknologi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas masyarakat. Ada juga warga yang belum melek digital, yang belum banyak memahami bagaimana cara memanfaatkan teknologi dengan aman dan maksimal. Sementara dengan semakin terbukanya akses ke dunia maya, keamanan data, hoaks, dan kecanduan gadget masih jadi problem.
ADVERTISEMENT
Ini jadi PR bersama. Semua pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat, perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih aman, lebih inklusif, dan lebih bermanfaat bagi semua.

Teknologi yang Mengubah Wajah Perbatasan

Perjalanan dari ponsel jadul ke smartphone di Sangihe ini lebih dari sekadar cerita tentang perkembangan teknologi di daerah perbatasan. Ini tentang bagaimana teknologi mengubah cara hidup, cara berinteraksi, dan membuka peluang baru di perbatasan.
Sekarang, perbatasan bukan lagi sekadar batas geografis. Teknologi telah menghubungkan kami dengan dunia luar, memberikan kami kesempatan yang sebelumnya tidak pernah ada.
Teknologi telah menyatukan mereka yang jauh, membuka jendela ke dunia. Berbeda dengan generasi X dan milenial tubuh jauh dari keterbukaan informasi dunia, anak-anak Gen Z perbatasan sekarang tidak cuma kenal dunia di sekitar mereka, tapi juga ikut tren global, aktif di media sosial, bahkan bisa bersuara dan berkarya.
ADVERTISEMENT
Cerita tentang perjalanan dan perjuangan untuk terhubung di daerah perbatasan seperti Sangihe ini jadi bukti betapa teknologi bisa menyentuh ujung-ujung negeri. Dunia yang dulu terasa jauh, kini menjadi semakin dekat.