Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Absennya Ruang Partisipasi Ketika Pilkada via DPRD
23 Desember 2024 16:59 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Budi Prayitno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pidato Presiden Prabowo Subianto pada saat puncak peringatan Ulang Tahun Ke - 60 Partai Golkar pada Kamis (12/12/2024) mengenai pemilihan kepala daerah melalui DPRD menarik untuk dicermati. Diskursus yang kemudian berkembang adalah wacana mengembalikan Pilkada melalui DPRD. Hal ini dinilai akan lebih efektif dan menghemat biaya yang harus dikeluarkan, baik oleh negara, partai politik, maupun kandidat pasangan calon.
ADVERTISEMENT
Pencalonan kepala daerah secara langsung ataupun melalui DPRD sah-sah saja dan tidak melanggar ketentuan karena UUD 1945 hanya menentukan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Tulisan ini tidak hendak bersikap reaktif terhadap diskursus yang berkembang tetapi untuk melihat beberapa hal yang mungkin hilang apabila Pilkada dikembalikan melalui DPRD.
Pertama, kesempatan calon independen melalui jalur perseorangan yang selama ini terbuka untuk berkontestasi dengan syarat dukungan berdasarkan KTP dalam Pilkada akan tertutup. Jalur perseorangan tidak akan mungkin mampu mengakses partai politik yang memiliki kursi di DPRD jika tidak memiliki banyak kapital (uang). Kedua, calon-calon potensial yang memiliki elektabilitas, rekam jejak, dan popularitas di hadapan pemilih tidak akan muncul dalam bursa Pilkada yang dipilih melalui DPRD karena ruang keterlibatan masyarakat tidak ada. Hal ini berbeda dengan Pilkada langsung saat ini dimana parpol secara tidak langsung dipaksa untuk memperhitungkan elektabilitas kandidat yang akan mereka usung dengan memperhatikan hasil survey yang merupakan cerminan pilihan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks demokrasi, keterlibatan publik dalam proses politik adalah hal yang diharapkan dan dijunjung tinggi, khususnya yang berkaitan dengan artikulasi kepentingan masyarakat. Keterlibatan ini merupakan bentuk kontrol terhadap para pemimpin yang mereka pilih. Pilkada serentak 2024 yang lalu memberikan contoh bagaimana sejumlah incumbent yang berlaga terjungkal dalam kontestasi. Musababnya tak lain adalah para pemilih menilai kinerja selama memimpin tidak sesuai dengan yang diharapkan sehingga mereka memilih kandidat baru yang diharapkan memiliki kinerja lebih baik. Disinilah pentingnya keterlibatan aktif publik dalam proses politik karena mereka mampu menggabungkan preferensi publik ke dalam keputusan kolektif yang sah dan mengikat di dalam bilik tempat pemungutan suara. Kondisi ini tidak akan kita temukan apabila pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD.
ADVERTISEMENT
Klientelisme Elektoral & Pendekatan Teknologi
Ideal demokrasi dalam Pilkada langsung sepanjang hampir 20 tahun terakhir memang belum sesuai dengan yang diharapkan. Ruang keterlibatan publik masih jauh panggang dari api. Burhanudin Muhtadi dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya di UIN Syarif Hidayatullah akhir tahun 2023 yang berjudul Votes for Sale : Kilentelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi mengemukakan relasi antara pemilih dan kandidat sejauh ini masih diwarnai dengan hubungan klientelisme elektoral. Pada relasi ini tidak terjalin hubungan yang berkelanjutan dan relasional antara pemilih dengan kandidat sehingga keterlibatan publik dalam Pilkada langsung tidak berdasarkan program kerja kandidat tetapi lebih kepada motif transaksional dalam bentuk material atau politik uang.
Problem di tingkat pemilih ini juga berkelit kelidan dengan mahalnya ongkos politik yang harus ditanggung kandidat. Biaya sewa kendaraan politik untuk pencalonan, ongkos kampanye politik, membeli dukungan suara adalah fenomena yang tidak terhindarkan dari praktek Pilkada langsung kita. Alih-alih membalik keadaan kembali pada 20 tahun silam, akan lebih baik apabila partai politik membenahi pelembagaan partainya. Selain juga memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi untuk melakukan kampanye politik. Mahalnya biaya pilkada langsung sekarang ini juga merupakan konsekuensi dari keputusan politik yang dibuat para pembentuk Undang-Undang terdahulu yang notabene adalah para politisi.
ADVERTISEMENT
Mahalnya biaya Pilkada justru harus dijawab dengan membangun proses politik yang efektif, efisien,o dan inklusif dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi. Di era sekarang ini akan lebih baik apabila pemerintah mengadopsi teknologi e-Voting dalam pemungutan suara. Dengan basis data e-KTP, e-Voting bisa mengurangi berbagai masalah di lapangan khususnya verifikasi pemilih (coklit), undangan, serta distribusi surat suara, dan rekapitulasi berjenjang surat suara yang selama ini dilakukan secara semi manual dengan banyak pihak yang terlibat. Teknologi e-Voting ini sudah secara terbatas dipraktekkan dalam skala kecil di beberapa pemilihan kepala desa, mulai dari pembuatan surat suara, pemungutan suara, penghitungan, rekapitulasi hingga penayangan hasil secara otomatis. Dengan demikian, keluhan terhadap biaya mahal politik bisa diminimalisasi dengan mengadopsi pendekatan teknologi.
ADVERTISEMENT