Konten dari Pengguna

Menyoal Tiket KRL Berbasis NIK

Budi Prayitno
Analis Kebijakan - Lembaga Administrasi Negara RI
8 September 2024 16:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Budi Prayitno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah calon penumpang memasuki gerbong kereta rel listrik (KRL) Commuter Line Jabodetabek di Stasiun KA Tanah Abang, Jakarta, Rabu (5/1/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah calon penumpang memasuki gerbong kereta rel listrik (KRL) Commuter Line Jabodetabek di Stasiun KA Tanah Abang, Jakarta, Rabu (5/1/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.
ADVERTISEMENT
Sepekan terakhir ruang publik kita dipenuhi dengan polemik mengenai rencana ticketing penumpang KRL berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tertuang dalam Nota Keuangan RAPBN 2025. Reaksi pun bermunculan karena kebijakan ini dikhawatirkan akan membuat ongkos transportasi yang dikeluarkan para pekerja baik kelas bawah hingga menengah di wilayah aglomerasi Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang bekerja di Jakarta menjadi membengkak di tengah stagnasi pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Rencana ini tentu menuai penolakan para pengguna komuter dan menunjukkan ketidakpekaan pemerintah terhadap kondisi perekonomian yang saat ini menghimpit para penggunanya yang berpenghasilan pas-pasan, rendah hingga menengah.
Apalagi, data empat bulan terakhir menujukkan saat ini tengah terjadi deflasi disusul dengan penurunan kelas menengah mencapai sepuluh juta orang. Hal ini terjadi karena pendapatan riil masyarakat mengalami penurunan (disposable income), sedangkan biaya hidup semakin naik.(Kumparan, 7/9).

Ongkos Transportasi

Membincang rencana penerapan tiket KRL berbasis NIK, tentu implikasinya adalah penyesuaian tarif yang akan diterapkan oleh pemerintah dengan mengklasifikasikan penumpang berdasarkan kemampuan ekonomi. Penumpang dengan kemampuan menengah ke atas akan dikenakan tarif lebih tinggi, sedangkan penumpang dengan ekonomi lebih rendah bakal mendapatkan subsidi lebih besar. Singkatnya, pemerintah sepertinya ingin menerapkan kebijakan subsidi silang di tengah himpitan kebijakan fiskal yang pemerintah hadapi .
ADVERTISEMENT
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita hitung-hitungan ongkos yang harus dikeluarkan oleh pekerja di wilayah aglomerasi. Selain biaya lain-lain yang harus ditanggung setiap harinya, ongkos transportasi yang harus dikeluarkan para pekerja yang mengandalkan komuter cukup lumayan.
Hitung-hitungan gampang, ongkos yang dikeluarkan pekerja untuk jarak terjauh dari Stasiun Bogor – Stasiun di seputaran Jakarta sebesar Rp 6.000 sekali jalan. Jika pulang-pergi, ongkos yang dikeluarkan sebanyak Rp 12.000. Dari stasiun terdekat menuju ke tempat kerja, ongkos yang dikeluarkan untuk naik angkutan umum sebesar Rp 5.000. Total ongkos pulang pergi sudah Rp 10.000.
Biaya akan membengkak semisal menggunakan ojek online (ojol) dari stasiun terdekat menuju ke tempat kerja. Ditambah biaya parkir motor yang digunakan dari rumah ke stasiun terdekat rata-rata sebesar Rp 6.000 per hari. Jika diakumulasi, uang yang dikeluarkan untuk ongkos transportasi dan biaya parkir dari kantong pekerja dengan hitungan 22 hari kerja adalah sebesar Rp 616.000 per bulan.
ADVERTISEMENT
Ini adalah pengeluaran tetap minimal yang harus mereka keluarkan. Lantas apakah mereka nyaman dengan kondisi transportasi ini? Tanya saja para pengguna komuter pada saat peak hour orang berangkat dan pulang kerja. Jawabannya pasti senada: Penuh berdesak-desakan tanpa sela. Para pekerja rela menggunakan komuter karena transportasi ini jauh lebih hemat biaya dan efisien dari segi waktu untuk mobilitas dibandingkan dengan kendaraan pribadi. Soal kenyamanan menjadi nomor sekian.

Perbesar Subsidi, Tiket Integrasi & Pilihan Komuter

Kembali menyoal rencana pemerintah yang ingin menerapkan tiket KRL berbasis NIK dengan alasan agar yang berhak saja yang menerima, tentu logika ini tidak bisa diterima. Karena menjauhkan semangat agar lebih banyak kalangan, khususnya kalangan atas menggunakan transportasi umum. Lantas apa yang bisa dilakukan?
ADVERTISEMENT
Pertama, pemerintah seharusnya malah memperbesar subsidi bagi transportasi umum dan mempersulit kepemilikan kendaraan pribadi. Memberikan insentif kepada masyarakat untuk beralih ke transportasi umum dengan tiket murah satu harga yang terintegrasi di semua moda transportasilah yang harusnya dilakukan pemerintah. Artinya, harga tiket yang diberlakukan tunggal untuk penumpang ketika mau bergonta-ganti moda transportasi, baik itu KRL, busway atau moda transportasi lain ke tempat tujuan.
Alih-alih melakukan itu, opsi kebijakan yang diambil pemerintah malah kontra-produktif dengan semangat ini, misalnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK 010/2012 yang menetapkan uang muka minimum untuk sepeda motor dan mobil pribadi sebesar 20 persen atau 25 persen. Aturan ini beberapa kali diubah dengan uang muka yang terus diturunkan.
ADVERTISEMENT
Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/2/PBI/2021 menetapkan uang muka 0 persen untuk semua jenis kendaraan, termasuk kendaraan komersial dan rendah emisi. Insentif terbaru yang berkaitan dengan Kendaraan Bermotor Listrik Bertenaga Baterai (KBLBB).
Insentif pajak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2021 hingga subsidi pembelian mobil dan sepeda motor listrik. Subsidi ini mencapai lebih dari Rp 7 triliun. Ironisnya, nilai tersebut jauh di atas rencana subsidi KRL Jabodetabek 2025 yang sebesar Rp. 4,79 triliun. (Rama Permana, "Subsidi Transportasi Publik", Kompas, 8 September 2024, Opini).
Di sisi lain, pemerintah tidak perlu jauh-jauh untuk mengambil contoh praktik terbaik pengelolaan transportasi. Singapura adalah contoh bagaimana pemerintahnya bisa memaksa masyarakatnya untuk menggunakan transportasi umum karena pemerintahnya menerapkan sistem transportasi yang terintegrasi dan juga penerapan sistem kuota pembelian mobil yang cukup mahal dengan pembatasan usia kendaraan hanya selama 10 tahun saja sebagai upaya menekan pertumbuhan kepemilikan mobil. Di samping tentu juga penerapan electronic road pricing.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemerintah bisa menyesuaikan tarif yang hampir delapan tahun terakhir tidak mengalami kenaikan. Untuk diketahui, tarif KRL wilayah Jabodetabek adalah Rp 3.000 untuk 25 kilometer pertama dan Rp 1.000 untuk setiap 10 kilometer berikutnya.
Sementara biaya riil sebelum subsidi adalah Rp 20.000 untuk satu penumpang dengan jarak 25 kilometer pertama. Artinya pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 17.000. Kenaikan tarif ini tentu harus dilakukan secara rasional dengan memperhatikan kemampuan membayar (ability to pay) para penumpangnya.
Apabila kedua opsi di atas tidak bisa dilakukan, silakan pemerintah memberikan opsi kepada calon penumpang komuter untuk memilih jenis layanan transportasi yang tersedia. Pemerintah melalui PT. Kereta Commuter Indonesia (KCI) bisa menyediakan komuter kelas bisnis dan ekonomi sebagaimana pernah diterapkan pada medio 2000–2011 dengan kehadiran KRL Express, seperti Pakuan Express yang melayani koridor Bogor–Jakarta Kota PP dan Bogor–Tanah Abang PP, Depok Express yang melayani koridor Depok–Jakarta Kota PP dan Depok–Tanah Abang PP, Serpong Express serta Tangerang Express yang melayani koridor Tangerang–Jakarta Kota PP.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, para penumpang dapat memilih layanan yang sesuai dengan kemampuan ekonomi dan isi kantong mereka. Bukan malah membangun sistem transportasi komuter yang tidak inklusif untuk jenis layanan di gerbong dan kereta yang sama.
Ingat, pasal 66 UU BUMN mengamanatkan kepada pemerintah untuk melaksanakan Public Service Obligation atau kewajiban pelayanan publik dalam penyelenggaraan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan jasa dalam jumlah dan kualitas yang memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak serta memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional. Intinya, jangan berdagang dengan rakyat.