Konten dari Pengguna

Pilkada dan Arus Balik Coblos Kotak Kosong

Budi Prayitno
Analis Kebijakan - Lembaga Administrasi Negara RI
11 Oktober 2024 21:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Budi Prayitno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemungutan suara. Sumber : pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemungutan suara. Sumber : pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 saat ini sudah memasuki tahap kampanye. Sebagai bagian integral dari pemilihan, kampanye memegang peran penting apabila ditinjau dari dua sudut pandang, yakni sudut pandang kandidat dan pemilih.
ADVERTISEMENT
Ditinjau dari sudut pandang kandidat, kampanye merupakan fase penting untuk membangun profil dan citra diri di hadapan pemilih, khususnya ide, gagasan dan pilihan kebijakan yang akan diambil apabila terpilih. Masa kampanye biasanya dimanfaatkan pasangan kandidat untuk bertemu dengan konstituen, relawan dan basis massa pendukungnya.
Sementara dari sudut pandang pemilih, masa kampanye menjadi tolok ukur untuk menilai profil, citra, kualitas, kapasitas, serta kebijakan yang ditawarkan kandidat. Bagi pemilih rasional, masa kampanye menjadi bahan evaluasi mereka sebelum menentukan pilihan di bilik suara, khususnya posisi kandidat atas suatu isu atau kebijakan yang akan diambil apabila terpilih.
Di tengah upaya para kandidat berkampanye membangun posisi elektoralnya, ada fenomena menarik yang patut kita cermati akhir-akhir ini, yakni kampanye gerakan mencoblos kotak kosong di sejumlah daerah yang hanya memiliki satu calon pasangan kepala daerah. Gerakan coblos kotak kosong sendiri saat ini sudah muncul di Brebes, Banyumas, Tarakan, Maros, Sukoharjo, Surabaya, dan Ciamis. Gerakan serupa kemungkinan juga akan muncul di daerah lain mengingat dalam Pilkada serentak ini terdapat 37 daerah yang hanya memiliki satu calon pasangan kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Apabila kita cermati, fenomena calon tunggal mengalami eskalasi meskipun dengan dimensi yang berbeda sepanjang gelaran Pilkada di Indonesia. Pada tahun 2015 setidaknya ada tiga calon pasangan tunggal. Angka itu meningkat menjadi sembilan pada Pilkada tahun 2017, kemudian menjadi 16 pada Pilkada tahun 2018, dan menjadi 25 pada Pilkada tahun 2020. Yang menarik dari gerakan coblos kotak kosong ini adalah kemenangan gerakan ini pada Pilkada Kota Makassar tahun 2018 yang mengalahkan pasangan Munafri Arifuddin- Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu).
Arus Balik
Kampanye gerakan mencoblos kotak kosong pada masa kampanye Pilkada serentak 2024 yang diinisiasi elemen masyarakat saat ini setidaknya memberikan beberapa pelajaran.
Pertama, gerakan ini merupakan ekspresi atau bentuk perlawanan terhadap perilaku elite politik yang hanya menghadirkan satu pasang calon dalam kontestasi. Padahal ruang untuk menghadirkan kandidat lebih banyak pascakeputusan Mahkamah Konstitusi perkara No. 60/PUU-XXII/2024 telah terbuka lebar.
ADVERTISEMENT
Kedua, gerakan ini merupakan upaya untuk menegasikan cara tempuh elite politik yang menganggap memenangkan kontestasi akan lebih mudah apabila hanya menyodorkan satu pasang calon ke hadapan pemilih saat memasuki bilik suara.
Ketiga, membangun kesadaran pemilih selaku pemilik hak suara mengenai perlunya perlawanan elektoral terhadap praktik pragmatisme elite politik yang membajak demokrasi dengan melakukan konsensus pra-elektoral tentang siapa yang akan diusung sambil menutup ruang kontestasi.
Politik Perlawanan
Meski gerakan coblos kotak kosong masih dalam skala kecil, gerakan ini tidak bisa dianggap enteng. Penyelenggara pemilu dan DPR sendiri sudah menyiapkan langkah antisipasi apabila ternyata kotak kosong meraih kemenangan, yakni dengan menyelenggarakan Pilkada ulang pada tahun depan. Artinya, penyelenggara memahami adanya pertarungan antara kekuatan elektoral calon kepala daerah dengan perlawananan pendukung kotak kosong.
ADVERTISEMENT
Michael Walzer (2018) dalam artikel berjudul “The Politics of Resistance” menulis bahwa perlawanan yang dilakukan elemen sipil merupakan salah satu bentuk politik defensif dan pembangkangan. Politik defensif yang mengacu pada hukum moral tanpa disertai kekerasan ini timbul karena adanya kemarahan ataupun kekecewaan terhadap perilaku elite politik.
Kampanye coblos kotak kosong sebagai bentuk politik defensif dari masyarakat ini harus kita pandang sebagai upaya positif untuk melindungi suara pemilih yang selama ini lebih banyak dihegemoni oleh elite politik.Meski tidak bermaksud untuk memenangkan Pilkada, kampanye coblos kotak kosong sebagai bentuk perlawanan apabila berhasil setidaknya akan memberikan shock terapy kepada elite politik.