Konten dari Pengguna

Tak Etis Prabowo Cawe – Cawe

Budi Prayitno
Analis Kebijakan - Lembaga Administrasi Negara RI
13 November 2024 11:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Budi Prayitno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
screenshot IG@ahmadluthfi_official
zoom-in-whitePerbesar
screenshot IG@ahmadluthfi_official
ADVERTISEMENT
Video dukungan Presiden Prabowo Subianto kepada calon gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi – Taj Yasin belakangan ramai beredar di media sosial dan menuai polemik. Dalam video itu, Presiden Prabowo yang juga Ketua Umum Partai Gerindra memberikan endorsement kepada Ahmad Lutfi dan Taj Yasin selaku kandidat yang berkontestasi dalam Pilgub Jateng 2024 agar dipilih dalam pemilihan 27 November mendatang. Lantas pertanyaannya, salahkah dukungan ini?
ADVERTISEMENT
Jika kita tarik ke belakang, dukung mendukung terhadap kandidat yang berlaga dalam kontestasi ini bermula dari dukungan terbuka Jokowi yang saat itu masih menjabat sebagai presiden terhadap calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto yang berpasangan dengan putranya, Gibran Rakabuming Raka. Jokowi menyebut kepala negara boleh melakukan kampanye dan memihak dalam kontestasi Pilpres 2024 dengan merujuk pada Pasal 281 Ayat (1), dan Pasal 299 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pernyataan Jokowi itu kemudian diklarifikasinya secara terbuka melalui televisi sambil membawa kertas karton besar dengan merujuk pada pasal-pasal dimaksud. Kondisi ini menunjukkan bagaimana problematiknya nalar berfikir Jokowi dalam memahami peraturan secara komprehensif. Aturan-aturan yang harus dipahami secara utuh justru ditafsirkan secara sepihak untuk kepentingan politiknya. Langkah ini di kemudian hari menyisakan persoalan di ruang publik kita dengan istilah cawe-cawe.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana dengan endorsement Presiden Prabowo terhadap pasangan Ahmad Lutfi dan Taj Yasin. Jika kita cermati pasal 70 dan 71 Undang Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang, tidak ada klausul yang secara eksplisit menyebutkan mengenai ketentuan bagi presiden untuk berkampanye.
Kepatutan dan Kepantasan
Meski tidak ada ketentuansecara eksplisit, ditinjau dari sudut etis dan dalam kapasitasnya sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan, Presiden Prabowo harusnya bertindak sebagai negarawan dengan berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. Pernyataan Hasan Hasbi yang mengatakan sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo berhak berkampanye untuk mendukung pasangan calon menunjukkan bagaimana sesat pikir cara berlogika seorang Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan. Tindakan melakukan endorsement dengan memberikan referensi tentang siapa yang layak dipilih dalam kontestasi Pilkada di Jawa Tengah justru mempertontonkan bagaimana banalitas tindakan politik seorang presiden.
ADVERTISEMENT
Pilkada sebagai ajang demokrasi di aras lokal harus menjadi ruang kompetisi dan kontestasi yang menjamin kesetaraan, keadilan, dan kebebasan dari campur tangan kekuasaan yang seringkali memanfaatkan instrumen negara untuk bertindak partisan. Dengan posisinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas semua matra angkatan, bukan tidak mungkin endorsement ini menjadi ‘pesan’ bagi misalnya keluarga besar militer ataupun polisi yang masih memiliki hak pilih untuk memilih salah satu kandidat yang didukung presiden.
Hal lain yang menarik untuk dicermati kemudian adalah menyangkut azas kepatutan dan kepantasan tentang apa yang sudah pernah dilakukan Jokowi lalu direplikasi oleh Prabowo. Pantas dan patutkah seorang presiden yang seharusnya berdiri di atas semua golongan dan kepentingan kemudian melibatkan diri secara langsung ke level politik di tingkat lokal untuk memberikan justifikasi dukungan atau menjamin kemenangan salah satu kandidat pasangan calon. Nalar kritis kita kemudian mempertanyakan etika dan sikap kenegarawanan seorang presiden.
ADVERTISEMENT
Sampai pada tahap ini kemudian saya teringat dengan kalimat "My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins" yang pernah diucapkan Manuel L Quezon, Presiden Persemakmuran Filipina (1935-1944). Kalimat yang sama itu pernah pula diucapkan oleh Presiden AS; John F Kennedy (1961-1963). Inti dari pernyataan yang terkenal itu adalah apabila seseorang sudah menjadi pemimpin negara maka kepentingan politik pribadinya harus dikesampingkan demi kepentingan negara.