Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Kriminalisasi Gaya Pacaran Living Together di Kalangan Mahasiswa
7 April 2025 8:22 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Sapna Nainggolan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Gaya hidup living together atau tinggal bersama sebelum menikah telah menjadi fenomena yang tidak asing, terutama di kalangan mahasiswa yang sedang berada dalam fase transisi menuju kedewasaan. Bagi sebagian mahasiswa, living together dianggap sebagai cara untuk mengenal pasangan lebih dalam, menghemat biaya hidup, atau bahkan sebagai bentuk kebebasan dari pengawasan orang tua. Namun, di tengah berkembangnya tren ini, muncul pula berbagai pandangan kritis, khususnya dalam konteks norma sosial, agama, dan budaya Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari generasi muda yang sering dianggap sebagai agen perubahan, mahasiswa memiliki peran penting dalam membentuk arah moral dan sosial masyarakat. Namun, pilihan untuk hidup bersama sebelum menikah sering kali memunculkan tantangan, seperti risiko kehilangan fokus terhadap pendidikan, stigma sosial, hingga konflik dengan nilai-nilai agama dan budaya.
Bagi sebagian besar masyarakat, gaya hidup ini dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama, sehingga sering dipandang sebagai bentuk eksperimen yang negatif. Hal ini disebabkan oleh adanya potensi dampak buruk, baik dari segi sosial, psikologis, maupun moral. Perdebatan ini semakin mengemuka karena gaya hidup living together dianggap membawa konsekuensi jangka panjang, tidak hanya bagi pasangan itu sendiri tetapi juga bagi tatanan masyarakat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Kohabitasi
Kohabitasi adalah istilah yang merujuk pada pasangan yang tinggal bersama dan menjalani kehidupan layaknya suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah secara hukum atau agama. Fenomena ini sering disebut juga dengan istilah living together.
Gaya hidup living together di kalangan mahasiswa mencakup berbagai dimensi yang berdampak secara individual maupun sosial. Pertama, dari sudut pandang norma dan nilai-nilai masyarakat, praktik tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan sering kali dianggap bertentangan dengan adat, budaya, dan agama yang kuat dipegang oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dapat memicu stigma sosial, yang bukan hanya berdampak pada pasangan tersebut tetapi juga keluarga mereka. Stigma ini sering kali berbentuk penilaian negatif, pengucilan, atau pandangan sinis dari lingkungan sekitar, yang pada akhirnya menciptakan tekanan sosial bagi para pelakunya.
ADVERTISEMENT
Dari aspek akademik, living together berpotensi mengganggu prioritas utama mahasiswa, yaitu pendidikan. Tinggal bersama pasangan dapat menciptakan gangguan konsentrasi akibat konflik interpersonal, tanggung jawab rumah tangga, atau pengelolaan waktu yang tidak optimal. Ketidakmampuan untuk menjaga keseimbangan antara hubungan pribadi dan tuntutan akademik dapat berujung pada penurunan prestasi belajar, bahkan keterlambatan dalam menyelesaikan studi.
Masalah lain yang cukup signifikan adalah risiko emosional dan psikologis. Mahasiswa yang memilih hidup bersama tanpa ikatan pernikahan sering kali menghadapi tantangan emosional yang lebih besar, terutama jika hubungan tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkan. Ketidakjelasan komitmen dapat menciptakan rasa tidak aman, kecemasan, atau bahkan trauma jika hubungan tersebut berakhir dengan cara yang tidak baik. Selain itu, jika hubungan tersebut melibatkan ketergantungan ekonomi, terutama bagi mahasiswa yang masih bergantung pada orang tua atau pihak lain, maka akan muncul tekanan tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Dari sisi sosial dan moral, gaya hidup ini juga dapat memberikan dampak jangka panjang pada pola pikir dan pandangan generasi muda lainnya. Living together dapat dianggap sebagai normalisasi dari tindakan yang melanggar norma tradisional, yang pada akhirnya memengaruhi tatanan sosial masyarakat secara luas. Dalam jangka panjang, jika praktik ini terus berkembang tanpa disertai kesadaran dan tanggung jawab yang jelas, maka ada risiko terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya yang fundamental di tengah masyarakat Indonesia.
Di Indonesia, kohabitasi menjadi isu hukum dengan dimasukkannya aturan mengenai larangan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan dalam KUHP yang baru. Regulasi ini bertujuan untuk menyesuaikan hukum dengan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat, meskipun juga memicu perdebatan terkait hak privasi dan kebebasan individu.
ADVERTISEMENT
Perspektif Hukum Pidana
Kriminalisasi living together dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) merupakan bentuk respons terhadap norma sosial yang berlaku di masyarakat. Meskipun sebelumnya belum ada aturan yang secara eksplisit mengancam sanksi pidana bagi pelaku hubungan di luar pernikahan yang sah, dalam perkembangan hukum, regulasi ini dimasukkan untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia.
Dalam konteks hukum pidana, kriminalisasi suatu perbuatan harus didasarkan pada pertimbangan bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan norma sosial, moral, atau kepentingan umum yang dijunjung tinggi. Namun, penerapan hukum juga harus memperhatikan aspek hak asasi manusia serta prinsip non-diskriminasi. Oleh karena itu, regulasi ini menuai pro dan kontra, di mana sebagian pihak mendukung atas dasar nilai moral dan agama, sementara yang lain menolaknya karena dianggap melanggar hak privasi individu.
ADVERTISEMENT
Pasal 412 KUHP baru ayat 1"Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II."
Selain itu, pendidikan seks menjadi bagian penting dalam pencegahan ini. Pendidikan ini harus mencakup tidak hanya aspek biologis, tetapi juga aspek emosional, psikologis, dan sosial, sehingga mahasiswa dapat memahami risiko dari hubungan tanpa komitmen yang jelas, seperti konflik emosional, ketidakseimbangan tanggung jawab, atau dampak sosial. Program pendidikan ini bisa dimasukkan ke dalam kurikulum atau dilakukan melalui seminar dan workshop yang melibatkan mahasiswa secara aktif.
Peran keluarga juga sangat krusial. Orang tua perlu membangun komunikasi yang terbuka dengan anak-anak mereka, bahkan ketika mereka sudah berada di bangku kuliah. Hubungan yang sehat antara orang tua dan anak dapat menjadi fondasi bagi mahasiswa untuk merasa nyaman berbagi masalah dan menerima nasihat. Selain itu, keluarga dapat memberikan teladan yang baik mengenai pentingnya menjalani hubungan yang sehat, bertanggung jawab, dan sesuai dengan norma.
ADVERTISEMENT
Di lingkungan kampus, institusi pendidikan memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan suasana yang mendukung pengembangan karakter mahasiswa. Kampus dapat mengadakan kegiatan pembinaan karakter melalui seminar, pelatihan, atau program mentoring. Selain itu, kebijakan kampus yang jelas mengenai tata tertib asrama atau pengelolaan fasilitas mahasiswa juga perlu diperhatikan. Pengawasan terhadap fasilitas yang memungkinkan interaksi yang tidak sehat, seperti asrama campuran tanpa aturan, harus lebih diperketat.
Masyarakat dan pemerintah juga berperan penting dalam pencegahan ini. Sosialisasi mengenai dampak negatif living together perlu dilakukan secara lebih luas, baik melalui kampanye publik, media sosial, maupun program komunitas. Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan, organisasi keagamaan, dan tokoh masyarakat untuk menyampaikan pesan-pesan positif yang mendukung gaya hidup yang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama. Selain itu, kebijakan yang mendukung pembentukan keluarga harmonis, seperti program konsultasi pranikah atau pembinaan pasangan muda, juga dapat menjadi langkah preventif untuk mengurangi normalisasi gaya hidup living together.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa sendiri perlu diarahkan untuk lebih fokus pada tujuan utama mereka, yaitu menyelesaikan pendidikan dan mempersiapkan masa depan. Melalui bimbingan karier dan pengembangan diri, mahasiswa dapat diajarkan untuk memprioritaskan hal-hal yang lebih bermanfaat, seperti membangun kompetensi diri, memperluas jaringan profesional, dan merencanakan masa depan dengan matang. Komunitas positif di kampus juga dapat menjadi wadah yang mendukung mahasiswa dalam menjalani kehidupan yang sehat dan bertanggung jawab.
Dengan pendekatan yang menyeluruh ini, pencegahan gaya hidup living together di kalangan mahasiswa dapat dilakukan secara efektif. Tips ini tidak hanya membantu mahasiswa menghindari risiko dari gaya hidup tersebut, tetapi juga mendorong mereka untuk menjalani kehidupan yang lebih produktif, sesuai dengan nilai-nilai moral, sosial, dan budaya yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Sapna Welindah Nainggolan, anggota Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT) Universitas Katolik santo Thomas