Anak Ingusan dalam Demokrasi Digital: Menakar Kinerja Wali Kota di Indonesia

Sapto Waluyo
Penulis, Center for Indonesian Reform (CIR)
Konten dari Pengguna
6 Juli 2023 17:21 WIB
·
waktu baca 17 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sapto Waluyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemimpin perusahaan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemimpin perusahaan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Politikus senior dari PDIP Panda Nababan tetiba bersuara pedas terkait peluang Wali kota Solo (Gibran Rakabuming Raka) untuk maju pemilihan presiden tahun 2024. Ucapan Panda terlontar saat menanggapi gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) atas Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 169 huruf q tentang yang menetapkan batas usia Presiden RI minimum 40 tahun diubah menjadi minimum 35 tahun.
ADVERTISEMENT
Jika gugatan PSI tersebut dikabulkan MK, maka Gibran (35 tahun) bisa maju sebagai capres atau cawapres. Awalnya, Panda yang dikenal sebagai jurnalis senior menyebut Wali Kota Solo Gibran belum pantas jika maju di Pilpres 2024. Menurutnya, Gibran masih harus banyak belajar di dunia politik (Tempo, 29/6/2023).
"Gibran anak ingusan kok, gimana? Nanti anak itu besar kepala, masih belajar dulu lah," kata Panda saat Diskusi Adu Perspektif yang digelar Senin (26 Juni 2023). Panda menjelaskan proses yang dilakukan seperti sang ayah, Presiden Joko Widodo, saat mencalonkan diri sebagai capres 2014. "Dia butuh proses seperti bapaknya, panjang. Nggak langsung ujug-ujug kayak gitu, kayak dinasti aja," kata Panda.
Padahal, bagi sebagian pengamat karier politik Jokowi juga melompat pesat dari Wali kota Solo (2005-2012), kemudian Gubernur DKI Jakarta (2012-2014) dan kini Presiden RI (2014-2024). Bila Gibran dapat melampaui rekor politik Jokowi, maka patut dicatat dalam sejarah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kritik Panda mendapat respons sengit dari fans Gibran, antara lain Ketua DPP PSI, Ariyo Bimo, yang geram dan menyebut Panda tidak etis. Ariyo beralasan bahwa Gibran sebagai orang nomor satu di Kota Solo mampu mentransformasi Kota Batik itu menjadi kota kreatif dan pertumbuhan ekonominya membaik. Contoh kebijakannya, revitalisasi Solo Technopark Park, Taman Balekambang, dan IKM Mebel Gilingan. Gibran sendiri menanggapi santai dan berterima kasih.
Kritik Panda berlanjut, ia mengaku kecewa dengan mantu Presiden Jokowi, yang kini menjabat sebagai Wali Kota Medan. Bobby Nasution disebutnya belum menunjukkan kinerja dan prestasi untuk kota Medan. "Ini masalahnya sederhana, majunya Gibran di Solo dan Bobby di Medan kita harus waspadai tendensi dinasti. Dianggap anaknya presiden bisa begini-begitu. Saya ajah terus terang kecewa dengan prestasi Bobby, belum kelihatan," cetus Panda dalam wawancara bersama KompasTV (30/6/2023).
ADVERTISEMENT
"Ini yang saya mau warning (peringatkan) kepada mereka (Gibran dan Bobby). Jadi seperti Wali Kota Medan saya sampaikan ke pak Jokowi. Tolong perhatikan prestasi Medan dia mantunya bawa nama Jokowi. Begitu juga Gibran bawa nama jokowi. Mereka harus lebih hebat, lebih berprestasi," jelas Nababan.
Kali ini, kritik Panda dibalas Juru Bicara Ketum Gerindra, Dahnil Anzar Simanjuntak yang meminta Wali Kota Medan Bobby mengundang Panda keliling Kota Medan. Dahnil menilai kritik Panda yang menyebut Bobby minim prestasi kurang tepat. "Mas Bobby menurut saya memang memiliki previllige karena beruntung sebagai menantu Pak Jokowi, tapi kan itu bukan bisa beliau pilih, itu takdir yang beliau dapat. Nah, itu bagus untuk mengakselerasi pembangunan di Medan," ujar Dahnil (INews, 1/7/2023).
ADVERTISEMENT
"Saya lihat Mas Bobby memiliki political will yang baik dan mudah-mudahan itu juga menjadi tanggung jawab semua birokrat, jadi political will nya Bobby itu juga harus menjadi political will nya birokrat di Kota Medan, apa yang dimulai Bobby ini positif," ucapnya.
Center for Infonesian Reform (CIR) melakukan riset pendahuluan tentang kinerja beberapa Wali kota di Indonesia, dipilih 10 Wali kota yang menjadi sorotan publik. Parameter yang digunakan adalah kondisi umum kota dan kondisi khusus sosial-ekonomi, selanjutnya dilengkapi dengan kondisi birokrasi Pemkot dan gaya kepemimpinan Wali kota. Dari situ nanti publik bisa menakar prestasi Wali kota, tentu saja tak bisa diklaim sebagai karya individual karena birokrasi Pemkot sangat berpengaruh, demikian pula Wali kota/Wakil Wali kota sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Dengan bekal pengetahuan perbandingan itu, masyarakat pemilih dapat menimbang lebih objektif: kandidat mana yang pantas memimpin kotanya? Apakah petahana atau pelanjutnya, atau figur baru yang lebih segar? Jangan sampai warga hanya “memilih kucing dalam karung” tanpa mengetahui rekam jejak semua kandidat dan tantangan yang dihadapi Pemkot.
Isu tersebut kini mencuat di Depok dengan beredarnya gambar putra bungsu Jokowi, yakni Kaesang Pangarep (28 tahun) di jalan-jalan utama Kota Belimbing. Kaesang secara terbuka sudah minta izin keluarga untuk maju sebagai Depok Pertama (Wali kota), meski konten podcastnya lebih banyak bersifat lucu-lucuan, bukan membahas visi-misi calon Wali kota dan komitmen untuk melayani warga.

Perbandingan Kinerja Kota

Dalam riset CIR yang dilakukan bulan Juni 2023 disajikan data perbandingan 10 kota di Indonesia, yaitu (menurut abjadiyah): Bandung, Bekasi, Bogor, Depok, Makassar, Medan, Semarang, Surakarta, Surabaya, dan Tangerang Selatan (Tabel 1). Semua kota itu memiliki luas wilayah yang terbatas, mulai dari 46 kilometer persegi (Surakarta) hingga 373,80 kilometer persegi (Semarang). Jumlah penduduknya juga terbatas: 521.007 jiwa (Surakarta) hingga 2.887.223 jiwa (Surabaya). Komposisi suku, agama dan ras sangat beragam, sehingga membuat interaksi antarwarga sangat dinamis.
Sumber: Data BPS 2022
Luas wilayah mempengaruhi sumberdaya alam dan ruang yang bisa dikelola, sementara jumlah penduduk menyangkut sumberdaya manusia yang akan menjadi penggerak utama pembangunan. Komposisi penduduk juga menentukan kompleksitas masalah yang akan dihadapi sebagai akibat interaksi antar warga yang berbeda latar belakang dan kepentingan. Itu semua merupakan pengetahuan dasar seorang kepala daerah.
ADVERTISEMENT

Kondisi Ekonomi Kota

Kondisi ekonomi kota yang menjadi perhatian utama masyarakat, yakni besaran APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dan jumlah PAD (Pendapatan Asli Daerah). Dari sini, publik bisa membayangkan kapasitas Pemkot untuk menyelesaikan masalah secara struktural-ekonomi. Lalu, dilihat laju pertumbuhan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) yang menggambarkan kemampuan Pemkot mengelola sumberdaya, serta Gini Rasio yang menunjukkan output kebijakan Pemkot terhadap pemerataan kesejahteraan (Tabel 2).
Tabel kondisi ekonomi 10 Kota di Indonesia
Untuk menyorot kondisi ekonomi yang dinamis, tim riset CIR mengumpulkan data sejak 2017 hingga 2022. Surabaya memiliki APBD paling besar (Rp 9,1 triliun) pada 2017 dan terus bertumbuh dalam lima tahun (Rp 10,4 triliun). Sementara Solo memiliki APBD yang terbatas, yaitu Rp 1,9 triliun (2017) dan Rp 2,2 triliun (2022).
ADVERTISEMENT
Agak berbeda dengan Makassar, yang luas wilayah dan penduduknya terbatas, ternyata memiliki APBD cukup besar (Rp 3,8-5 triliun), lebih besar dari APBD Depok (Rp 3-3,5 triliun) yang wilayah dan penduduknya lebih besar. Di situ terlihat potensi maritim dan pariwisata menjadi daya tarik utama Makassar, sementara Depok hanya mengandalkan sektor jasa dan pendidikan.
Surabaya berupaya menggenjot perolehan PAD (Rp 4,7-6 triliun) untuk menopang pembangunan, di samping sumber pemasukan lain. Bandung dan Medan (PAD di atas Rp 3 triliun) diikuti Semarang dan Bekasi (PAD sekitar Rp 2,8 triliun) saling mengejar. Depok dan Bogor bekerja keras untuk menembus PAD di atas Rp 1 triliun, sedang Makassar mengejar PAD di atas Rp 2 triliun.
ADVERTISEMENT
Pemkot Solo harus berpikir lebih keras untuk meningkatkan PAD dan APBD, namun potensi hibah luar negeri seperti dari UAE senilai USD 15 juta atau setara Rp 236 miliar sangat menggiurkan (Kompas 29/12/2022 dan Tempo 3/1/2023). Hibah tersebut tidak tercatat dalam APBD. Pada masa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), dana CSR dan kompensasi KLB (Koefisien Lantai Bangunan) pernah menjadi polemik, karena berjumlah besar dan digunakan untuk pembangunan infrastruktur publik. Tetapi berapa besar dana CSR dan KLB, serta bagaimana alokasinya: tidak terungkap dalam pertanggungjawaban publik.
Dengan APBD dan PAD yang terbatas, ternyata Makassar mampu menggerakkan laju pertumbuhan paling tinggi (8,20 persen), meskipun kemudian menurun (5,40 persen), tapi masih di atas pertumbuhan ekonomi nasional (5,31 persen). Sementara itu kota Medan dengan APBD yang besar tidak mampu melaju cepat dan memiliki pertumbuhan terendah (4,71 persen), masih kalah dengan pertumbuhan Depok (5,24), Bogor (5,65) dan Bekasi (4,96) yang APBD-nya lebih kecil. Kreativitas Wali kota dan jajaran birokrasi Pemkot jadi tantangan utama.
ADVERTISEMENT
Tujuan akhir pembangunan adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat atau mayoritas rakyat, dengan risiko ada kelompok yang tertinggal. Koefisien gini mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang dimiliki warga. Semakin tinggi gini rasio menandakan semakin besar kesenjangan. Kota Bandung memperlihatkan kesenjangan yang mengkhawatirkan (0,440 – 0,459), yaitu di atas rata-rata gini rasio nasional (0,381).
Tingkat kesenjangan yang paling rendah atau (dengan kata lain) kesejahteraan yang lebih merata ada di Semarang (0,330) dan Tangsel (0,363), gini rasio kedua kota itu di bawah rerata nasional. Sementara kota-kota yang lain berada di atas rerata nasional: Surakarta (0,392), Depok (0,394), Makassar (0,395), Bogor (0,430) dan Bekasi (0,441).

Kondisi Sosial Warga Kota

Kondisi sosial warga terutama ditandai oleh angka kemiskinan dan tingkat pengangguran. Hal itu merupakan indikator kinerja utama pembangunan kota. Dalam parameter lebih makro adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Beberapa aspek sebenarnya bisa ditelusuri lanjut, seperti data keparahan dan kedalaman kemiskinan, atau angka partisipasi pendidikan dan prevalensi penyakit endemik. Namun kajian CIR, memasukkan data stunting yakni gangguan terhadap pertumbuhan anak yang sedang trend perbincangan public (Tabel 3).
Tabel kondisi sosial 10 Kota di Indonesia
Angka kemiskinan yang paling rendah ada di Depok (2,34-2,53), sedangkan kemiskinan yang paling tinggi di Surakarta (10,65 – 8,84). Angka kemiskinan di Surakarta pada tahun 2017 lebih besar dari tingkat kemiskinan nasional Indonesia (10,12), tetapi pada tahun 2022 dapat diturunkan cukup signifikan, sehingga di bawah kemiskinan nasional (9,57). Kota yang mendekati kemiskinan nasional adalah Medan (8,07), Semarang (7,27), Bogor (7,10) dan Tangsel (5,77).
ADVERTISEMENT
Tingkat pengangguran tertinggi pada tahun 2017 adalah Bekasi (10,87) dan tahun 2022 bergeser ke Makassar (11,82). Kota yang tingkat penganggurannya di atas rerata nasional adalah Bogor (10,78), lalu yang mendekati rerata nasional adalah Bandung (9,55), Medan (8,89) dan Bekasi (8,81). Yang unik kota Solo, meski angka kemiskinan tertinggi, namun tingkat penganggurannya justru terendah (4,47 – 5,83). Apakah hal itu berarti warga Solo banyak yang bekerja, namun penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari sehingga hidup di garis kemiskinan? Masih perlu didalami lebih lanjut faktor penentunya.
Tingkat kesejahteraan secara umum berdasarkan IPM, yang paling tinggi adalah Semarang (82,01 – 84,08). Sedang IPM paling rendah dicapai oleh Bogor (75,16 – 77,17), namun angka itu masih di atas rerata nasional Indonesia (72,91). Salah satu isu yang menjadi perhatian nasional adalah masih ditemuinya gejala stunting, pada tahun 2017 prevalensi stunting Indonesia 29,6 persen dan tahun 2022 menurun jadi 21,6 persen. Kota dengan stunting tertinggi tahun 2017 adalah Bogor (27,0) dan tahun 2022 diduduki Bandung (19,4). Gejala stunting tampaknya dapat dikendalikan di wilayah perkotaan, semoga mencapai zero stunting.
ADVERTISEMENT

Kondisi Birokrasi Pemkot

Kondisi pemerintahan kota perlu dilacak, antara lain tentang integritas lembaga publik (SPI), kompatibiltas birokrasi dengan perkembangan teknologi informasi (SPBE), serta evaluasi akuntabilitas (SAKIP) dan reformasi birokrasi (RB) yang sudah dicanangkan. Berkaitan dengan alokasi APBD, dilihat opini BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Semua data itu (Tabel 4)jangan hanya dipenuhi secara formalitas, namun merekam substansi dari proses pertanggung-jawaban Wali kota yang dipilih oleh rakyat secara langsung.
Tabel kondisi birokrasi Pemkot
Dari aspek integritas, sepanjang 2021-2022, capaian tertinggi adalah Solo (84,51) walaupun cenderung menurun (81,99). Sementara yang paling rendah adalah Medan (47,40), meskipun cenderung membaik (61,69). Kota yang berada di atas rerata SPI nasional (71,94) pada tahun 2022 adalah Surabaya (72,71), bandung (72,62), Bogor (73,06), Depok (73,21), Tangsel (73,32), dan Semarang (74,10). Kota yang berada di bawah rerata nasional adalah Makassar (66,38) dan Bekasi (69,58).
ADVERTISEMENT
Indeks SPBE, yang tertinggi adalah kota Bandung (3,19) tahun 2017 dan tahun 2022 digeser Surakarta (3,73). Indeks SPBE nasional pada tahun 2022 adalah 2,34 dari skala 5. Semua kota tercatat SPBE di atas rerata nasional, kecuali Medan dan Makassar yang tidak ada nilai SPBE, berarti tidak lengkap laporannya.
Untuk evaluasi SAKIP, kota Surabaya dan Bandung memperoleh nilai A, sementara Bogor, Semarang dan Surakarta mendapat nilai BB. Kota lain mendapat nilai B. Kota Bandung itu suatu contoh tragis, nilai reformasi birokrasi juga BB, namun Wali kota Yana Mulyana tertangkap operasi KPK untuk kasus korupsi/suap terkait proyek pengadaan CCTV dan Internet Service Provider dalam layanan digital Bandung Smart City (16/3/2023). Padahal, Yana baru saja menggantikan Wali kota Oded M. Danial yang wafat tahun 2021. Seluruh capaian kinerja kota Bandung langsung drop, termasuk status laporan keuangan yang WTP lima kali berturut-turut menjadi WDP.
ADVERTISEMENT
Indeks reformasi birokrasi yang paling rendah (CC) untuk kota Medan seakan menjadi sinyal kemungkinan terjadinya penyimpangan/pelanggaran. Birokrasi Pemkot dan para stakeholders (terutama rekanan pengusaha) membangun jaringan tersendiri yang tak selalu dapat dikontrol oleh Wali kota, bila kapasitas kepemimpinannya lemah.
Kasus terkini yang mencuat di kota Medan adalah proyek lampu penerangan jalan yang berongkos Rp 25 miliar dan dinilai gagal (Tempo, 15/5/2023), sehingga dijuluki warga kota sebagai “lampu pocong” karena bentuknya yang mirip jenazah sedang berdiri tegak. Proyek ini sempat dihentikan Wali kota, dan kemungkinan berganti nama menjadi lampu trotoar. Demi mempercantik wajah kota, para koruptor berpesta pora, bila taka da pengawasan ketat. Ada enam perusahaan yang menangani proyek tersebut, tiga di antaranya ternyata beralamat kantor di rumah warga, yang menunjukkan tidak profesional.
ADVERTISEMENT
Indeks reformasi birokrasi sebagaimana opini BPK atas laporan keuangan Pemkot bisa dianggap formalitas belaka karena nilai BB atau WTP mungkin hanya di atas kertas atau secarik SK, namun dalam praktik terjadi rekayasa birokrasi dan laporan keuangan untuk menutupi kesalahan. Bila kesalahan bersifat individual/kasuistik, maka dapat dilihat sebagai kebobolan (loopholes) dalam sistem pengawasan. Tetapi, jika kesalahan dilakukan kolektif atau melibatkan banyak pihak, dan terlihat gejala pembiaran atau kelalaian Kepala Daerah, maka hal itu merupakan kegagalan sistem pemerintahan.
Gejala seperti itu mengemuka di tengah euphoria para pengusaha yang masuk dalam kancah politik, dengan alasan untuk memperbaiki kondisi birokrasi yang stagnan dan mendorong inovasi kebijakan (reinventing government). Padahal, praktiknya hanya mengeruk keuntungan pribadi dari dana publik. Tragedi pengusaha yang bertransformasi menjadi penguasa atau penguasa daerah yang berkolusi dengan pengusaha mitra kerja.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus pembobolan uang Kas daerah Kota Semarang yang ditempatkan di BTPN senilai Rp 21,7 miliar dilakukan personal banker Diah Ayu Kusumaningrum (Merdeka, 15/5/2019). Pembobolan itu menyeret Kepala UPTD Kasda Kota Semarang (Dody Kristianto) dan menyinggung nama tiga Wali kota Semarang (Sukawi Sutarip, Soemarmo, dan Hendrar Prihadi) sebagai penerima fee, namun pengadilan menyatakan tak terbukti.
Kejaksaan Negeri Surabaya mengungkap puluhan kasus korupsi sepanjang tahun 2022 dan menyelamatkan uang negara sedikitnya Rp 26,5 miliar. Dana yang berhasil diselamatkan itu berasal dari 5 perkara yang sudah dieksekusi, 24 perkara penuntutan, 16 perkara penyidikan dan 7 perkara penyelidikan dengan perkiraan kerugian negara total Rp 43 miliar (Rakyat Merdeka, 1/1/2023). Masih ada banyak uang rakyat yang tidak bisa diselamatkan dan masuk kantong koruptor.
ADVERTISEMENT
Kasus korupsi di kota Bekasi juga menjadi perbincangan ramai, bahkan menjadi isu nasional. Wali kota Bekasi Rahmat Effendi (2012-2022) didakwa dalam kasus suap terkait pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di Pemkot (Kompas, 25/1/2022), dijatuhi vonis 12 tahun penjara, namun tidak dikenai hukuman uang pengganti senilai Rp 17 miliar yang dituntut jaksa KPK. Hak politik tokoh Golkar itu dicabut selama lima tahun setelah masa pidana badannya selesai.
Sebelumnya, Wali kota Mochtar Mohamad (2008-2012) dari PDIP dijatuhi vonis 6 tahun penjara karena kasus suap Piala Adipura tahun 2010 kepada staf BPK yang merugikan negara Rp 5,5 miliar. Ironisnya, perkara korupsi tidak dipandang sebagai bukti kegagalan pemerintahan kota (failed city government), tetapi dipersepsi sebagai persaingan dua kekuatan politik besar (Golkar vs PDIP). Rakyat yang menjadi korban karena target pembangunan terbengkalai.
ADVERTISEMENT
Wali kota Medan Dzulmi Eldin (2016-2019) punya cerita tersendiri, ketika diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan karena menerima hadiah atau janji berupa uang dari para Kepala Organisasi Perangkat Daerah senilai total Rp 2,1 miliar. Hakim menghukum Dzulmi dengan 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan.
Sedikitnya 19 Kepala OPD menyetor uang Rp 10-20 juta secara berkala untuk keperluan Wali kota (CNN Indonesia, 11/6/2020). Karakter personal Wali kota sangat mempengaruhi perilaku birokrasi, atau sebaliknya, kultur birokrasi yang korup juga dapat mempengaruhi karakter kepemimpinan Wali kota. Apakah Wali kota Bobby bisa mengatasi kultur birokrasi seperti kritik Panda Nababan?

Gaya Kepemimpinan Wali kota

Latar belakang Wali kota jarang diteliti dan sangat beragam. Figur pengusaha cukup menonjol: ada Yana Mulyana Wali kota Bandung (properti), Bobby Nasution (properti), Gibran Rakabuming Raka (kuliner/marketplace), dan Hevearita Gunaryanti Rahayu (bankir). Karakter pengusaha selalu melihat peluang di tengah segala kesulitan, sehingga berperan untuk melakukan terobosan.
ADVERTISEMENT
Namun, prinsip pengusaha (dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya) bisa bertentangan dengan prinsip pelayanan publik (untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat). Bagi pengusaha yang sudah level bebas finansial, maka jabatan publik bermakna pengabdian, tetapi pengusaha yang baru berkembang atau muncul dari crony business, maka aset dan sumberdaya publik bisa jadi bancakan.
Ada pula Wali kota yang berlatar birokrat, yakni Wali kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono (Kadis PUPR), Eri Cahyadi di Surabaya (Kadis/Bappeda), dan Benyamin Davnie dari Tangsel (camat/Kadis/Bappeda). Sosok birokrat biasa terfokus pada aturan dan hierarki, sehingga sulit diharapkan akan melakukan perubahan besar dan mendasar. Namun, proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program mestinya lebih terjaga, karena mereka sudah terlatih dari awal. Kalangan birokrasi yang telah bertahan lama akan membentuk jaringan kepentingan tersendiri, seperti “partai birokrat” dalam pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Wali kota berlatar akademisi dan professional adalah Bima Arya Sugiarto (Doktor ilmu politik), Mohammad Idris (Doktor ilmu agama), dan Mohammad Ramdhan Pomanto (arsitek). Sosok akademisi biasanya bersifat idealis karena mereka tampil berbasis keilmuan atau karya profesional, tanpa modal besar.
Sisi negatifnya, akademisi berwatak kaku (text-book thinking) dan sulit menerima peluang perubahan. Lebih berisiko lagi, apabila aspek idealisme melemah setelah menduduki jabatan, figur akademisi berkompromi dengan kepentingan bisnis dan politik tertentu.
Studi tentang kepemimpinan periode klasik dilakukan Kurt Lewin (1939) yang menyebut tiga gaya kepemimpinan dalam organisasi: Autocratic (serba perintah), Democratic (membangun partisipasi), dan Laissez-faire (membebaskan/membiarkan). Kemudian Bernard M. Bass (1985) menawarkan kepemimpinan transformasional yang mampu memotivasi dan menginspirasi pengikut serta mengarahkan perubahan positif dalam kelompok. Dalam dinamika sosial, Hersey dan Blanchard (1969) berpendapat kepemimpinan organisasi dipengaruhi signifikan oleh lingkungan dan situasi yang dihadapi (situational leadership), sehingga tidak ada satu gaya yang tepat untuk semua situasi dan tantangan organisasi.
ADVERTISEMENT
Hersey-Blanchard menjelaskan empat aspek utama kepemimpinan yang dapat bergeser sesuai situasi, yakni: Telling (memberi tahu orang apa yang harus dilakukan), Selling (meyakinkan pengikut untuk membeli ide dan pesan), Participating (mengajak anggota kelompok untuk mengambil peran lebih aktif dalam proses pengambilan keputusan), dan Delegating (mengizinkan anggota kelompok untuk membuat sebagian besar keputusan). Perlu riset lebih mendalam tentang gaya kepemimpinan Wali kota di Indonesia dan pengaruhnya terhadap kinerja Pemkot serta pembangunan sosial-ekonomi.

Tantangan Demokrasi Digital

Tantangan utama yang dihadapi warga kota dan Pemkot bukan hanya kondisi struktural (sosial-ekonomi) dan kultural (tata nilai) yang berubah pesat, melainkan juga model demokrasi di era digital. Saat ini berkembang Demokrasi Digital atau E-democracy yang diperkenalkan aktivis Steven Clift (Ashoka Fellow 2006) sebagai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses politik dan kepemerintahan. Perangkat interaktif sangat luas mencakup media yang ada dan terus tumbuh membangun forum bagi warga untuk mengekspresikan pendapat dan memberi pengaruh terhadap pembuatan kebijakan di level lingkungan, daerah, negara atau global.
ADVERTISEMENT
Kita selama ini mengenal tipe demokrasi langsung dan perwakilan, atau juga demokrasi konstitusional, namun inti demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Pada era digital, bagaimana rakyat menunjukkan dan mengelola kedaulatannya, untuk itu perlu penanaman nilai baru yang relevan. Jangan sampai era digital membawa kekacauan (anarki) seperti persepsi demokrasi di masa Yunani kuna.
Demokrasi digital pada gilirannya akan melahirkan Digital Governance, yaitu kerangka untuk memantapkan akuntabilitas, peran, pembuatan keputusan dan manajemen perubahan bagi otoritas yang hadir secara digital. Analis IT pada Pemkot Mexico City, Vanessa Rodríguez Franco, menyatakan kerangka governansi digital yang baik akan menekan usaha dan biaya, serta memastikan kematangan bisnis/proses digital.
Untuk itu, perlu dibangun tata kelola dan standar bagi: perumusan strategi, kultur organisasi, teknologi, data dan analisa, otomatisasi, serta kesadaran dan pelibatan warga. Seorang Wali kota atau kandidat Wali kota era digital tidak hanya dituntut komunikatif di medsos dan kreatif membuat podcast, melainkan harus menyadari bahwa ruang publik digital perlu dijaga sebagai pertukaran aspirasi lintas warga secara bebas dan forum pertanggung-jawaban Pemkot dalam penentuan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Bila ada sosok yang bermimpi menjadi orang pertama di sebuah kota (calon Wali kota), tetapi hanya memasang billboard/baliho atau membuat podcast lucu-lucuan, tidak siap berdialog kritis dengan warga dari beragam latar belakang, maka bakatnya mungkin sebagai content creator. Bukan kepala daerah yang memegang otoritas untuk mengendalikan sumberdaya publik. Lebih nahas lagi, jika warga kota memilih kandidat berdasarkan popularitas di dunia maya. Itu sejalan dengan data pemilih terkini yang dilansir KPU, bahwa mayoritas pemilih adalah generasi millennial (33,60 persen) dan Gen Z (22,85 persen).
Kaum milenial dan Gen Z konon suka yang serba instan, tanpa memikirkan dampak lebih jauh dari sikap yang diambilnya. Sikap mereka suka berpindah-pindah sesuai suasana emosi (moody). Bila itu benar terjadi, maka akan semakin banyak kita menyaksikan “anak ingusan” dalam kancah demokrasi digital. []
ADVERTISEMENT