Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menciptakan Momentum Keunggulan Saat Pilkada
15 Oktober 2024 10:47 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Sapto Waluyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak akan berlangsung sebentar lagi, tepatnya 27 November 2024. Para kandidat sedang menjalani proses kampanye yang padat dan tinggal menghitung hari saat pencoblosan. Pemilu ini merupakan event demokrasi terbesar di dunia yang digelar di 545 daerah, yakni: 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sampai batas waktu pendaftaran calon kepala daerah, 29 Agustus 2024 ternyata ada: 42 kabupaten, 5 kota dan 1 provinsi yang hanya diisi calon tunggal. Itu mengancam kualitas demokrasi lokal. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI kemudian memperpanjang masa pendaftaran dari 2 hingga 4 September 2024, ternyata tetap masih ada 41 daerah dengan calon tunggal dan lawannya kotak kosong. Hal itu memperlihatkan minat kompetisi politik di sejumlah daerah telah mencapai titik nol, mungkin karena calon petahana atau partai pengusung terlalu dominan, sehingga tak ada kandidat yang mau berspekulasi mengeluarkan biaya mahal dengan sia-sia.
Penyelenggaraan pilkada serentak menelan anggaran sangat besar dari pemerintah daerah berupa hibah sebesar Rp 28,72 triliun dan dari APBN sebesar Rp 974,38 miliar. Anggaran itu belum termasuk biaya yang dikeluarkan pasangan kandidat untuk menggerakkan mesin politik atau relawan dan menjangkau suara rakyat di berbagai pelosok.
ADVERTISEMENT
Dari beragam kajian (Mohammad Hidayaturrahman dkk, 2024) dapat disimpukan bahwa kunci kemenangan dalam pilkada ditentukan: popularitas kandidat, kinerja mesin partai atau relawan pendukung, serta kemampuan logistik dan finansial kandidat. Faktor finansial menjadi kunci serba bisa yang dapat mendongkrak popularitas (melalui ekspos media dan lembaga survei), menggerakkan mesin politik atau relawan, bahkan mendapat dukungan partai politik dalam pencalonan. Tak pelak, peran investor politik menjadi sangat sentral untuk menentukan kemenangan dalam pilkada (Hidayaturrahman, 2020).
Faktor lain yang jarang dibicarakan, padahal urgen, adalah momentum politik yang menunjukkan pergeseran dukungan pemilih. Faktor ini bisa berlangsung spontan/alamiah atau direkayasa/direncanakan oleh tim strategi dan operasi khusus di tiap kandidat. Pada intinya, momentum politik mengeksploitasi emosi dan opini publik untuk mempengaruhi sikap pemilih yang bimbang (swing voters). Lebih jauh lagi, momentum dapat memecah dan menggeser dukungan pada kandidat tertentu (A) kepada kompetitornya (B) karena gangguan terhadap citra diri (personal branding) atau isu/janji kampanye yang diusung.
ADVERTISEMENT
Momentum Politik
Pengertian momentum, berupa momentum positif yang melambungkan dukungan maupun momentum negatif yang menjerumuskan citra dan potensi dukungan, masih diperdebatkan. Istilah momentum biasanya lebih dikenal di bidang ilmu eksakta, yakni fisika. Selain didefinisikan sebagai besaran vektor yang merupakan hasil kali massa dengan kecepatan gerak suatu benda, momentum juga bisa berarti perubahan gerak yang sebanding dengan kekuatan yang diterima (Satrio, 2022).
Pengamat Hendri Satrio menyatakan momentum sebagai konsep yang unik karena banyak orang merasa mengerti dan merasakannya, namun tidak banyak yang dapat mengidentifikasi dan mendefinisikannya. Dalam buku “Momentum: Karier, Politik dan Aktivitas Media Sosial” (2022), Satrio memberikan definisi dari beberapa bidang ilmu salah satunya dari ranah psikologi.
Dalam kajian psikologi, terminologi momentum digunakan dalam teori perilaku behavioural momentum atau momentum perilaku (Nevin, Mandell & Atak, 1983; Schieltz, et al., 2017). Momentum perilaku adalah teori dalam analisis kuantitatif perilaku. Deskripsi perilaku dijelaskan dengan menggunakan metafora yang berasal dari momentum fisika, yaitu perubahan perilaku yang signifikan pada satu waktu dan ruang tertentu (Nevin, Mandell, & Atak, 1983).
ADVERTISEMENT
Dalam bidang politik, momentum ditandai dengan adanya lonjakan dan penurunan dukungan publik secara massal untuk para kandidat (Bartels, 1987; Brady & Johnston, 1987; Satrio, 2022).
Contoh momentum politik yang fenomenal dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2017, saat tiga pasang calon bertarung: Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono-Silviana Murni, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Posisi Anies-Sandi sejak awal pendaftaran bersifat underdog, tetiba menyodok ke ranking atas, setelah insiden Ahok terpleset ayat suci (surat al-Maidah ayat 51). Peristiwa itu dipersepsi publik dan pengamat sebagai politisasi agama dan pembentukan politik identitas. Tapi, realitas politik menunjukkan: Ahok-Djarot (42,04 persen) kalah dalam putaran kedua dan Anies-Sandi (57,96 persen) menang pilkada.
Di level nasional, menjelang pemilu 2024, terjadi insiden pembatalan Piala Dunia Sepakbola U-20. Gubernur Bali (Wayan Koster) yang semula akan menjadi tuan rumah untuk pengundian nomor negara peserta menyatakan menolak, atas perintah Ketum PDIP (Megawati Soekarnoputeri) karena Israel termasuk salah satu kesebelasan yang lolos. Penolakan itu sejalan dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang menolak eksistensi Israel karena melakukan penjajahan di Palestina. Desakan publik, terutama organisasi massa Islam sangat luas untuk menolak kehadiran Israel, dan saat itu hanya satu partai yang tegas menolak Israel yaitu PKS. Karena itu, penolakan elite PDIP secara terbuka cukup mengejutkan, bahkan diikuti Gubernur Jateng (Ganjar Pranowo) yang sebenarnya tidak terkait langsung, karena yang menandatangani surat kesediaan sebagai tuan rumah pertandingan dengan FIFA adalah Walikota Solo (Gibran Rakabuming Raka).
ADVERTISEMENT
Batalnya Piala Dunia U-20 di Indonesia menandai perpecahan antara Megawati dengan Presiden Joko Widodo yang telah mempersiapkan perhelatan dunia itu sejak lama dengan anggaran Rp 1,4 triliun sebagai salah satu legasi kepemimpinannya. Dampaknya, tidak hanya kandang banteng yang terbelah, tapi suara PDIP turun drastik (16,73 persen) dalam pemilu legislatif dan pasangan Ganjar-Mahfudz hanya mendapat nomor buncit (16,47 persen) dalam pilpres. Tentu banyak faktor lain yang menyebabkan suara PDIP dan Ganjar-Mahfud merosot tajam, namun peristiwa batalnya Piala Dunia U-20 menjadi momentum negatif yang mengguncang sikap pemilih.
Dalam pilpres 2024 tampil tiga pasang kandidat: Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran, dan Gankar-Mahfud. Dalam suatu sessi debat kandidat, Prabowo diserang kedua kubu lawannya tentang kinerja Kementerian Pertahanan yang dipimpinnya selaku Menhan. Ganjar memberi nilai 4 dari 10 atas kinerja Prabowo, sementara Anies memberi nilai 11 (tapi dari 100). Prabowo terpojok dan terlihat betul wajah kesedihannya. Pemilih Indonesia yang menyaksikan drama politik melalui layar kaca nasional merasa kasihan dan bersimpati kepada Prabowo. Melankoli dan gejolak emosi itu yang akhirnya menjadi momentum untuk mendorong arus dukungan kepada Prabowo.
ADVERTISEMENT
Di tengah serangan kubu lawan, usia Prabowo yang senior (72 tahun) dan gestur tubuhnya yang tampak lelah juga menyita perhatian tersendiri. Kontras dengan tampilan Gibran yang masih muda (37 tahun). Tim personal branding Prabowo dengan cerdas mengubah tampilannya menjadi lebih “gemoy” (menggemaskan), kebetulan sedang marak penggunaan aplikasi yang membuat wajah lebih muda dan segar (Face App atau Face Swap AI Generator). Jika pada pemilu 2014 dan 2019, Prabowo disorot publik sebagai figur yang tegas dan cenderung emosional, maka kali ini Prabowo sangat santai dengan ciri khas joget dalam merespon situasi atau pertanyaan serius. Strategi itu terbukti mendongkrak popularitas Prabowoi sampai ke puncak klasemen, sehingga menang pilpres dengan 58,59 persen suara nasional, sementara Anies-Muhaimin yang berpenampilan serius dan kritis meraih 24,95 persen, sedangkan Ganjar-Mahfud yang mencoba berpenampilan sat-set gerak cepat menduduki ranking akhir (16,47 persen).
ADVERTISEMENT
Momentum Pilkada
Sampai saat ini belum tampak terobosan menarik dalam pertarungan pilkada. Para kandidat kesulitan untuk menciptakan momentum keunggulan dalam kondisi masyarakat yang dilanda kejenuhan. Pertarungan pileg dan pilpres telah menyita energi masyarakat, kini ditambah dengan pilkada yang berlangsung serentak di 545 daerah. Suara golput diprediksi akan meningkat tajam, selain calon tunggal yang melawan kotak kosong.
Kontestasi yang menyedot atensi adalah Daerah Khusus Jakarta (DKJ), Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Pilkada DKJ menyandingkan tiga pasang kandidat: Ridwan Kamil-Suswono (RIDO), Dharma Pongrekun-Kun Wardhana, dan Pramono Anung-Rano Karno. Pasca debat perdana, respon publik masih datar-datar saja. Kandidat nomor 1 (RIDO) yang didukung Golkar, PKS dan koalisi gemuk KIM Plus bersaing ketat dengan calon nomor 3 yang diusung PDIP dan Partai Ummat, sementara pasangan independen masih tertinggal jauh.
ADVERTISEMENT
Sempat muncul isu sensitif ketika pasangan RK-Suswono menyatakan akan melanjutkan program Maghrib Mengaji yang pernah dilaksanakan era Gubernur Anies Baswedan, sedangkan Pramono dalam kampanye di perumahan elite PIK menyatakan menolaknya. The Indonesian Institute menyindir bahwa program RIDO bersifat eksklusif karena hanya ditujukan bagi warga Muslim, padahal penduduk DKJ beragam dan persoalan agama lain juga bermunculan. RK menegaskan bahwa program Maghrib Mengaji berasal dari aspirasi masyarakat yang ditemuinya karena merasakan manfaat positif dari program Pemda sebelumnya, yang dapat menekan gejala kekerasan di kalangan remaja/pemuda, sehingga dia membuka opsi untuk memperluas pembinaan spiritual bagi agama lain. Sementara Pramono menyatakan tidak anti-Islam, meski tidak akan melanjutkan program itu.
Di antara silang pendapat itu, pesan dan kesan apakah yang akhirnya membekas di benak publik? Pertarungan elektoral DKJ berpusat pada perebutan suara Anak Abah (pendukung Anies Baswedan) dan JakMania (potensi 2 juta suara). Selain itu, berebut suara etnik Jawa (35,16 persen) antara Suswono (asal Tegal, Jateng) versus Pramono (asal Kediri, Jatim). Sedang suara etnik Betawi (27,65 persen) dan Sunda (15,27 persen) diperebutkan Si Doel dan RK. Tentu kita tidak mendorong politik primordialisme berbasis agama atau suku, meski hal itu merupakan realitas politik yang harus diakui. Kita berharap warga pemilih DKJ semakin rasional, walaupun fakta hasil pemilu 2024 menunjukkan semakin dominannya pragmatisme. Semua kandidat menghadapi tantangan langkanya aliran logistik.
ADVERTISEMENT
Pilkada Jabar mempertemukan kandidat yang dulu (2018) sempat bertarung yakni Ahmad Syaikhu dan Dedi Mulyadi. Ahmad Syaikhu kini berpasangan dengan Ilham Habibie mengusung Jabar ASIH, sementara Demul berpasangan dengan Erwan Setiawan dan masih mendominasi klasemen karena popularitas di media sosial. Tapi, sosok Ahmad Syaikhu mencuri perhatian dengan manuvernya merangkul kaum muda, warga pedesaan dan pesisir, serta piawai mendendangkan lagu Sunda. Dalam survei yang dilakukan Indikator awal Oktober 2024, elektabilitas Ahmad Syaikhu terus meningkat, meski terpaut cukup jauh dengan Demul yang semakin menurun pamornya.
Sebagai catatan, hasil pilkada Jabar 2018 menunjukkan pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum sebagai pemenang (7,2 juta suara atau 33,88 persen), Sudrajat-Ahmad Syaikhu mengutit ketat (6,3 juta suara atau 28,74 persen), Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (5,6 juta atau 25,77 persen) dan TB Hasanuddin-Anton Charliyan (2,7 juta atau 12,62 persen). Para kandidat dalam pilkada Jabar berebut suara yang ditinggalkan RK, sementara pendukung UU Ruzhanul Ulum (PPP) telah menyatakan bergabung dalam koalisi Jabar ASIH bersama Ahmad Syaikhu. Dulu Ahmad Syaikhu juga dipersepsi underdog dengan elektabilitas rendah, tapi momentum nasional (#2019GantiPresiden) telah mendongkrak elektoralnya.
ADVERTISEMENT
Penting dicatat, tidak semua peristiwa menjadi momentum, seperti kasus populer Ketum Parpol besar yang diduga melecehkan seorang perempuan selebgram, apakah akan berdampak kepada kandidat yang didukungnya? Isu kekerasan seksual memang sangat sensitif bagi pemilih perempuan, namun informasi yang tersebar belum tentu merembes hingga akar rumput. Kandidat yang memiliki riwayat masalah keluarga dan terekspos ketidakharmonisan keluarganya perlu waspada, sebab dapat menggerus suara pemilih.
Peristiwa tragis yang menimpa seorang kandidat mungkin pula menjadi momentum bagi kandidat lain, tanpa pretensi untuk mengeksploitasi kedukaan. Tertangkap-tangannya Gubernur Kalsel (Sahbirin Noor) oleh KPK sangat mempengaruhi sikap pemilih. Isteri gubernur, Raudhatul Jannah menjadi cagub yang diusung Golkar berpasangan dengan Akhmad Rozanie (Nasdem). Lawannya adalah Cawagub petahana Muhidin yang didukung PAN, PKS, Demokrat, PSI dan Perindo. Tertangkapnya gubernur akan merusak citra kandidat yang didukung dan mungkin juga mengganggu pasokan logistik. Sebaliknya, kompetitor dapat menunjukkan integritas dan rekam jejak yang bersih serta profesional.
ADVERTISEMENT
Tragedi menimpa Cagub Maluku Utara (Benny Laos), yang meninggal beserta rombongan akibat insiden kebakaran kapal cepat saat berkampanye ke Pulau Taliabu. Kabarnya, posisi almarhum digantikan isterinya Sherly Tjoanda berdasarkan kesepakatan 8 partai pengusung. Pergantian posisi ini bisa menimbulkan simpati, sebab kecenderungan pemilih yang emosional dan suka drama.
Kandidat yang cerdas dan cekatan (agile) serta tim strategi yang jeli akan memanfaatkan setiap peristiwa untuk menjadi momentum keunggulan. Momentum politik sangat bernilai dan tidak bisa dibeli/diganti dengan dana kampanye sebesar apapun. Begitu besar nilainya sehingga disebut sebagai keberuntungan (luck) atau factor X (campur tangan ghaib). Kondisi itu menyebabkan dinamika politik menjadi tak pasti (uncertainty) dan sulit diprediksi (unpredictable).
Berakhirnya masa pemerintahan Jokowi pada 20 Oktober 2024 dan dimulainya masa pemerintahan Prabowo Subianto menjadi momentum nasional dengan segala impaknya. Apakah momentum itu akan mempengaruhi dinamika pilkada? Masih harus dicermati. []
ADVERTISEMENT
*) Pendiri Center for Indonesian Reform (CIR). Doktor sosiologi alumni Universitas Indonesia.