Fenomena Cek Khodam: dari ritual Tradisional ke Tren Media Sosial

Akhmad Saputra Syarif
Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
25 Juni 2024 14:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akhmad Saputra Syarif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Khodam. Foto: Wilqkuku/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Khodam. Foto: Wilqkuku/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bayangkan jika di suatu pagi, Anda melaksanakan aktivitas Anda seperti biasanya. Namun, tiba-tiba Anda kedatangan salah seorang saudara jauh yang telah lama tidak berjumpa. Meski dalam banyak waktu, Anda kadang mendengar kabar keluarga jauh Anda ini telah beralih profesi untuk menawarkan jasa “cek khodam”.
ADVERTISEMENT
Anda yang antusias karena sering mendengarnya di media sosial yang digandrungi anak muda, akhirnya meminta dirinya melakukan ritual untuk menebak khodam yang Anda miliki. Akhirnya, dari tengah ucapan mantra-mantra, tiba-tiba saudara jauh Anda ini berteriak, “Wah, Mas bro, khodam kamu harimau!” Tanpa sadar ada segumpal senyum di balik muka Anda yang malu-malu.
Jasa cek khodam merajalela. Dahulu pengguna jasa harus berkendara untuk bertemu sang pawang, namun sekarang jasa cek khodam pun berkembang mengikuti zaman dengan dapat dilakukan secara online. Gayung bersambut, pelaku usaha pun semakin dapat mengurangi biaya usahanya dengan meniadakan uang bensin, sementara permintaan pengguna jasa semakin tinggi tiap harinya dengan bantuan media sosial. Seperti pepatah lama berkata, “di mana ada gula di situ ada semut,” gerai jasa cek khodam pun dibuka di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Kepopuleran jasa cek khodam memimik laju larisnya batu akik. Setiap pria di Indonesia kala itu harus berdandankan warna batu akik yang pilihannya juga bermacam-macam dari bacan, kalimaya, atau kecubung. Trennya bukan main-main, permintaan membuat eksplorasi perbatuan semakin masif.
Sayangnya, kurva kepopulerannya hanya menjangkau puncak tertingginya pada tahun 2015 silam. Meski sampai saat ini tetap digemari oleh pencintanya, gaungannya tidaklah sekeras sembilan tahun silam. Seperti mengutip peribahasa dalam dunia bisnis, “every business has their time, and every time has their business”. Namun kemiripan kepopuleran sebuah barang atau jasa memiliki ritme persebaran yang sama.
Malcolm Gladwell dalam bukunya The Tipping Point menjelaskan setidaknya ada tiga prasyarat sebuah barang atau jasa menduduki daftar paling atas dalam daftar belanjaan konsumer. Kepopuleran digandrunginya jasa cek khodam pun tidak bisa lepas dari prasyarat tipping point. Pertama adalah Law of the Few. Prasyarat tersebut berbunyi bahwa sebuah epidemi itu tidak dilakukan oleh mayoritas anggota dalam masyarakat, namun hanya sekelompok orang yang memiliki pengaruh yang besar.
ADVERTISEMENT
Malcolm Gladwell menyebutkan bahwa pembahasan ini sering kali disebut di bidang ekonomi sebagai 80/20 principle—80% pekerjaan diselesaikan oleh 20% anggota kelompok. Efek ini pula disebutkan dalam psikologi dengan nama yang berbeda, yakni bandwagon effect. Melirik fenomena cek khodam menjelaskan bahwa banyak di antara mereka yang memiliki pengaruh yang besar—baik itu selebriti atau social media influencer—secara sengaja atau tidak sengaja telah mengambil bagian dalam euforia tersebut, membuat fenomena cek khodam memiliki batu pijakan untuk mendapat perhatian khalayak ramai.
Prinsip yang kedua adalah Stickiness Factor. Jikalau saya menyebutkan “apa pun makanannya, minumnya?” tentu sebagian besar dari Anda akan dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat. Hal tersebutlah yang disebut sebagai stickiness factor. Prasyarat ini sering dipakai oleh banyak pelaku bisnis ataupun politikus untuk mempengaruhi pilihan banyak orang—contohnya Komeng dengan jargon jenakanya yang memiliki ciri khas dapat menghantarkannya menduduki kursi perwakilan rakyat.
ADVERTISEMENT
Penyebab larisnya praktik cek khodam pun sama, menggunakan video-video jenaka di jagat maya masyarakat untuk semakin mendapatkan atensi khalayak ramai. Stickiness factor menjadi salah satu prasyarat karena kepopuleran itu seperti wabah: menular. Pada saat praktik cek khodam menjadi buah bibir, pada saat yang sama fenomena tersebut memiliki kendaraan paling cepat di dunia untuk tersampai dari satu telinga ke telinga lainnya.
Terakhir adalah The Power of Context. Prinsip ini berbunyi bahwa manusia memiliki kelekatan yang cukup erat dengan lingkungan tempat tinggalnya, sehingga perubahan yang terjadi—meskipun tidak banyak—akan sangat berpengaruh terhadap perubahan perilaku yang dilakukan oleh manusia. Salah satu contoh produk yang kembali ke jajaran papan atas karena prinsip penularan popularitas ini adalah Hush Puppies, dijelaskan oleh Gladwell.
ADVERTISEMENT
Meski Hush Puppies sangat terkenal pada rentang tahun 1994—1995, namun namanya tidak lagi banyak disebut pada tahun-tahun setelahnya. Bahkan terjadi penurunan penjualan yang drastis sampai menyentuh 30.000 pasang per tahunnya, olehnya perusahaan pembuat sepatu ini—Wolverine—berencana untuk menghentikan produksi brand Hush Puppies.
Namun tiba-tiba saja terjadi perubahan di lingkungan elite di Amerika di East Village, di mana sepatu tersebut menjadi ciri khas anak-anak di sana. Membuat seluruh Amerika mendapatkan nuansa baru terhadap pemaknaan tentang Hush Puppies. Setelahnya, penjualan meroket dan membuat Hush Puppies menjadi salah satu merek yang terkenal di dunia.
Kepekaan manusia terhadap perubahan lingkungan hidupnya bukan saja berlangsung pada dunia realitas, namun juga pada dunia maya masyarakat. Bombardirnya persebaran video pengecekan khodam dan berita yang berkaitan tentang fenomena tersebut yang selalu marak akan komentar dan views membuat algoritme media sosial akan mengutamakan berita serupa untuk ditayangkan. Perubahan ini akan sangat signifikan, menjadikannya sulit untuk diacuhkan. Seperti layaknya epidemi, tersebar dan menjadi buah bibir.
ADVERTISEMENT