Konten dari Pengguna

Manusia dan Perang: Konflik Israel-Iran dari Perspektif Psikologi

Akhmad Saputra Syarif
Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Indonesia
6 Juli 2024 9:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akhmad Saputra Syarif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam kisah Yunani kuno, Prometheus membentuk manusia dengan bahan baku air dan tanah. Alih-alih menundukkan tubuh manusia ke tanah, seperti bentuk hewan pada umumnya, Prometheus malah mencitra tubuh dewa yang tegap, seakan memberikan kemasyhuran pada lekukan tubuh manusia. Seperti kisah tersebut, manusia dalam banyak cerita digambarkan memiliki keagungan.
ADVERTISEMENT
Bahkan, manusia dinobatkan sebagai Homo Socious karena ketelatenannya menjaga hubungan dengan makhluk lain. Kisah-kisah heroik manusia memberikan implikasi yang kuat tentang makhluk yang beradab dan cinta damai—sayangnya perang mengubah segalanya.
Ilustrasi kondisi akibat perang (sumber: Freepik.com)
Umat manusia di penjuru dunia menantikan keputusan Israel setelah dihujani ratusan roket oleh Hizbullah, sebagai negara yang mendapatkan banyak panggung dalam beberapa tahun belakangan. Keputusan Israel mungkin akan sekali lagi mengubah bentuk dunia.
Aksi Hisbullah tersebut sebagai bentuk pembalasan akan kematian Komandan Hizbullah yang didukung Iran. Tentu pembalasan yang dilakukan oleh Israel kemungkinan tidak akan membuat Iran berdiam diri saja.
Iran yang memiliki pengaruh kuat di Timur Tengah dengan ancaman nuklirnya dapat membuat dunia menjadi lahan tandus yang tidak layak huni. Israel perlu berpikir dua kali untuk berurusan dengan Iran. Tetapi kecerobohan atas nama membela harga diri yang mungkin akan diambil oleh Israel berpeluang sekali lagi akan memakan banyak korban.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun belakangan dengan serangkaian perang, keputusan membela harga diri telah menuntaskan dekade-dekade terdamai dalam sejarah umat manusia. Perang pada dasarnya adalah sebuah kejahatan sesuai dengan pandangan pasifisme, sebuah hal yang bermuara pada kekerasan hanya akan memetik kesengsaraan.
Kita semua setuju bahwa konflik terburuk adalah yang berujung pada kematian, tetapi walaupun menakutkan, pembunuhan telah menjadi bagian dari narasi panjang umat manusia. Mulai dari pembunuhan yang dilatarbelakangi oleh keyakinan hingga konflik politik, memakan korban mulai dari anak-anak hingga wanita, melibatkan individu maupun kelompok.
Sangat sulit diyakini kembali bahwa manusia adalah makhluk beradab dan cinta damai setelah membaca kiprah-kiprah kejahatan manusia. Apakah benar manusia adalah makhluk baik? Meski pertanyaannya lebih cenderung filosofis, pemikir di seluruh dunia terlibat bantah-bantahan untuk menjawab pertanyaan ini.
ADVERTISEMENT
Satu pandangan unik datang dari Augustine, yang berkeyakinan bahwa beban dosa asli dimiliki oleh manusia, yang diteruskan dari Adam. Dalam dosa asli ini, Augustine merumuskan konsepnya yang disebut ‘libido dominandi’, atau hasrat mendominasi entitas lain.
Bukti dominasi ini tampak dalam cara manusia berinteraksi dengan orang lainnya, terutama dalam bentuk kebrutalan atau perilaku kejam. Argumen serupa dinyatakan oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggris yang merupakan penulis buku Leviathan.
Hobbes berpendapat bahwa manusia mempunyai potensi besar dalam menciptakan chaos, oleh karena itu diperlukan adanya suatu negara yang berperan dalam merumuskan dan memberlakukan hak-hak individu. Hobbes memperkenalkan ide ini sebagai 'kontrak sosial'.
Argumen tersebut tidak tanpa perlawanan. Mengzi—seorang filsuf China Kuno yang agung, bahkan namanya disetarakan dengan Konfusius, Xunzi, dan Zhu Xi—memiliki tanggapan terbalik. Manusia memiliki benih-benih agung yang jika dirawat dengan nurani akan menghasilkan empat dasar moral yang masyhur, yakni: belas kasih, rasa malu, kesopanan, dan pandangan kuat tentang benar dan salah.
ADVERTISEMENT
Secara sains pun, peperangan sebenarnya asing di mata sejarah lampau umat manusia. Seperti yang direview oleh Levinson dan Malone (1980), penelitian kuantitatif pertama kali yang membandingkan perang dalam berbagai budaya pertama kali dilakukan pada tahun 1915 oleh Hobhouse, Wheeler, dan Ginsberg.
Mereka menemukan bahwa perang sangat jarang terjadi bahkan absen pada masyarakat berburu dan meramu. Hal ini menegaskan bahwa peperangan bukanlah hal yang universal, atau merupakan bawaan secara naluriah manusia. Anggapan ini mungkin menjadi angin sejuk untuk para kaum pasifisme, tapi di mata aktor politik klaim tersebut tidak berarti apa-apa; war is a war.
Keputusan untuk berperang bukan saja akan menjadi malapetaka untuk kedua belah pihak. Namun juga akan menyebarkan pesimisme ke setiap penjuru dunia tentang hakikat dasar manusia. Seperti yang diungkap oleh Putra dkk (2021) dalam penelitiannya beliefs about human nature as good versus evil influence intergroup attitudes and values, tidak peduli omongan para pemikir dunia tentang hakikat dasar manusia, acap kali manusia diingatkan bahwa mereka adalah makhluk baik maka tendensi untuk melakukan perilaku yang baik akan pula bertambah—begitu pun sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, berita akan peperangan akan sampai dari tiap telinga ke telinga yang lain sebagai narasi kejahatan manusia, dan informasi yang berulang-ulang akan menjadi sebuah informasi yang diakui kebenarannya (effectus veritas). Sehingga, jikalau besok kita mendapati berita bahwa Israel akan membalas serangan Iran, saya meragukan dunia yang kita huni akan tetap persis sama lagi.