Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sejak dari Awal, Ini Harusnya Bukan Persoalan “Kabinet Gemuk” Prabowo Subianto
16 Oktober 2024 10:45 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Akhmad Saputra Syarif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kabinet pemerintahan adalah bagian dari sebuah kelompok. Forsyth (2011) mendefinisikan kelompok sebagai gabungan dari dua atau lebih Individu yang memiliki keterikatan hubungan sosial satu sama lain. Jumlah Individu dalam sebuah kelompok dapat bervariasi dari dua yang biasanya disebut dyads, atau tiga orang yang biasanya disebut triads sampai pada jumlah yang sangat besar seperti: perkumpulan, massa atau kerumunan (Simmel, 1902).
Kelompok sering kali diibaratkan sebagai makhluk hidup dikarenakan mempunyai kepala untuk memutuskan (ketua organisasi) ataupun tangan dan kaki untuk bekerja (anggota organisasi). Sehingga layaknya makhluk hidup, proporsi ideal agar kelompok dapat bekerja secara efektif akan selalu menjadi perdebatan.
Prabowo Subianto sebentar lagi akan melenggang ke Istana. Sebagai orang nomor satu di Indonesia, segala perangainya bahkan sebelum pelantikan akan selalu menjadi sorotan orang banyak. Satu di antaranya adalah tentang “kabinet gemuk” yang rencananya akan dicanangkan pada saat pemerintahan baru nanti. Kabinet gemuk merujuk pada gambaran jumlah menteri dalam sebuah kabinet yang cukup banyak.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, kabinet gemuk bukanlah pertama kalinya terjadi di Indonesia. Bahkan tindakan bagi-bagi kursi yang dilakukan oleh pemerintah mengakar sejak pemerintahan pertama kali terbentuk. Sebagai negara yang besar tentu saja perlu pengambilan keputusan untuk mengakomodasi banyak golongan dan kepentingan. Sebagai negara yang baru tentu kompromi-kompromi tertentu perlu dilakukan untuk mempertahankan banyak ide di bawah satu pemerintahan (Republika, 2014).
Melirik negara-negara lainnya di Dunia, kabinet gemuk belum tentu menjadi konsekuensi dari dialog-dialog yang tidak bersih, namun juga dapat menjadi alat untuk mempersiapkan rencana pemerintahan yang efektif dan tidak banyak digerecoki oleh banyak kepentingan oposisi. Satu di antaranya yang menggunakan cara yang sama dalam menjaga jalannya pemerintahan adalah Franklin D. Roosevelt. Meskipun masih tetap mengikuti peraturan untuk memiliki kabinet yang mengisi posisi 15 anggota, namun Roosevelt mempekerjakan banyak badan, termasuk di dalamnya brain trust—sebuah kelompok yang memiliki pengaruh dalam merumuskan kebijakan penting, seperti New Deal. Keputusan tersebut terbukti tepat dikarenakan Roosevelt bersama kabinetnya berhasil memulihkan perekonomian Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Masyarakat masih terjebak pada permasalahan simbolis—kabinet gemuk misalnya. Padahal simbolitas dapat bermakna apa pun tergantung dari bagaimana media atau pihak tertentu membingkai simbol tersebut menjadi pemaknaan yang mereka mau. Padahal masyarakat seharusnya lebih banyak berbicara pada persoalan substantif tentang penambahan utilitas yang mereka punyai, seperti; apakah jumlah menteri yang banyak tersebut dapat mengarahkan kebijakan pada saat rapat kabinet berlangsung kepada pertaruhan nasib bangsa yang lebih baik? Jika berdasarkan dual-mode of thingking theory (Kahneman, 2019) jumlah kelompok (baik gemuk ataupun ramping) belum tentu menjamin pengambilan keputusan lepas dari bias.
Keputusan J.F. Kenedy untuk melakukan penyerangan terhadap Kuba melalui bay of pig disebut sebagai salah satu pengambilan keputusan Presiden Amerika Serikat terburuk. Penyerangan yang bertumpu pada kerja-kerja intelegent dan pembicaraan rahasia tingkat elitis, malah buyar dikarenakan penyerangan tersebut telah diketahui oleh pihak Kuba.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, para tentara yang telah dipersiapkan dengan baik oleh Amerika malahan jadi bulan-bulanan para revolutioner Kuba. Sebagian besar ahli mempertanyakan bahwa sudah dari awal rencana penyerangan tersebut jika diperhatikan dengan saksama memiliki banyak cela.
Termasuk di dalamnya Pemerintah Amerika terlalu yakin bahwa penyerangan tersebut akan memicu pemberontakan penduduk Kuba kepada pemerintahan Fidel Castro—sayangnya hal tersebut tidak terjadi. Malahan rencana penyerangan tersebut disebut banyak ahli bahkan tidak pantas untuk sampai ke meja presiden. Bias pengambilan keputusan tersebut kemudian dinamakan groupthink.
Groupthink adalah fenomena psikologis di mana anggota suatu kelompok membuat keputusan yang tidak optimal atau irasional karena adanya tekanan untuk mencapai konsensus atau harmoni dalam kelompok tersebut. Fenomena ini sering terjadi ketika kelompok sangat ingin menghindari konflik atau perbedaan pendapat, sehingga mereka cenderung mengabaikan pandangan alternatif atau bukti yang bertentangan.
ADVERTISEMENT
Sehingga, baik kabinetnya gemuk atau ramping sudah menjadi tugas kepala negara untuk melakukan tindakan preventif untuk menghalau groupthink ini dengan mengekstrak ide unik yang dimiliki oleh tiap menteri dalam kabinet tersebut.
Levine (2012) menyebutkan bahwa hidden profile paradigm akan sangat mempengaruhi apakah kelompok dapat mengefektifkan pengambilan keputusan atau tidak. Hidden profile paradigm menunjukkan bahwa kelompok sering gagal membuat keputusan optimal karena mereka cenderung lebih banyak mendiskusikan informasi yang dibagikan daripada menggabungkan informasi unik yang hanya diketahui oleh beberapa anggota.
Akibatnya, keputusan yang diambil sering kali kurang optimal karena kelompok hanya fokus pada apa yang sudah diketahui bersama, dan tidak memanfaatkan informasi tersembunyi yang bisa mengarah pada keputusan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Meski banyak penelitian membuktikan bahwa pengambilan kelompok akan jauh lebih baik dibandingkan dengan Individu sendiri (Brodbeck et al., 2007; Winquist & Larson Jr, 1998) .Sayangnya, kelebihan tersebut tidak didapatkan secara natural dikarenakan setiap anggota kelompok akan mencoba menahan informasi mereka meskipun berdampak pada pengambilan keputusan. Niatan Individu dalam menahan informasi tersebut tidak lain dikarenakan untuk kelompok dapat mencapai konsensus.
Oleh karenanya, jumlah kabinet bukanlah menjadi pertaruhan utama dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat tapi lebih kepada bagaimana budaya kelompok yang akan dipimpin oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto. Apakah kabinetnya akan berorientasi pada accuracy/problem solving atau malahan berorientasi pada consensus?
Kelompok (ataupun kabinet) akan dapat memaksimalkan potensinya dalam memecahkan berbagai masalah apabila berorientasi pada accuracy/problem solving (Postmes et al., 2001; Stasser et al., 1995) dikarenakan kelompok tersebut akan lebih banyak mempunyai informasi yang unik dari anggota-anggotanya. Dalam membentuk kabinet yang berorientasi pada accuracy/problem solving, Prabowo Subianto dapat melakukan; 1) Memastikan bahwa setiap Menteri dalam kabinet untuk memiliki group support systems sehingga informasi yang dimiliki oleh setiap Menteri dapat di miliki oleh kabinet dan berujung pada efektivitas kelompok (Haseman & Ramamurthy, 2004) dan 2) menginstruksikan kepada para Menteri untuk tidak memiliki initial impressions (Mojzisch & Schulz-Hardt, 2010) terhadap masalah yang ingin diselesaikan. 3) Mengupayakan adanya anggota kelompok yang berperan sebagai devil advocats, sehingga kelompok dapat kembali mengevaluasi kebijakan yang akan diambil.
ADVERTISEMENT
Pada awal terbentuknya kabinet, besarannya bukanlah persoalan yang harusnya terangkat ke permukaan untuk dipersoalkan. Apalagi jumlah menteri dapat dipakai sebagai salah satu cara pemerintahan baru dalam mengakomodasi berbagai ide untuk laju pemerintahan yang lebih gencar dalam menjalankan tugas-tugas pokoknya. Pertanyaan yang harusnya dapat didialogkan adalah apakah penggunaan kabinet tersebut dapat digunakan semaksimal mungkin oleh Prabowo Subianto atas nama kesejahteraan rakyat—karena bumblebee “segemuk” itu pun dapat terbang.