Konten dari Pengguna

Solusi Kemiskinan: Melirik Behavioral Science Sebagai Solusi

Akhmad Saputra Syarif
Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Indonesia
4 Juli 2024 8:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akhmad Saputra Syarif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kemiskinan (sumber:www.freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kemiskinan (sumber:www.freepik.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kemiskinan merupakan masalah klasik yang dihadapi oleh setiap bangsa dari zaman ke zaman. Tidak jauh berbeda dengan zaman Joko Widodo, berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik per Maret 2023, angka kemiskinan ekstrem di Indonesia telah menyentuh angka 1,12%. Meski ini merupakan kabar gembira karena jika dibandingkan dengan per September 2022 (1,27%), angka tersebut mengalami penurunan sebesar 0,15%. Namun, angka tersebut masih sangat jauh dari visi besar Presiden yang ingin menurunkan angka kemiskinan ekstrem hingga 0%.
ADVERTISEMENT
Sisa durasi pemerintahan Presiden Jokowi yang hanya menghitung bulan untuk menuntaskan kemiskinan ekstrem tentu bagi sebagian orang hanya berupa “fatamorgana”. Namun, waktu yang sebentar tersebut harusnya tidak hanya dihabiskan oleh pemerintah dengan berpangku tangan, melainkan menunjukkan konsolidasi dengan pemerintahan baru dalam membuka segala kemungkinan untuk menuntaskan kemiskinan.
Mengapa Kemiskinan Ekstrem Pantas Diperangi?
Mereka yang memiliki kebutuhan dasar lebih sedikit atau sama dengan US$1,9 per hari masuk pada kategori miskin ekstrem. Kondisi tersebut tentu saja membatasi masyarakat untuk memiliki akses pada makanan sehat dan juga akses kesehatan yang lebih baik. Bukan hanya berpengaruh pada aksesibilitas mereka, kondisi mental mereka pun akan terpengaruhi.
Marwa Azab, profesor psikologi di California State University, dalam Psychology Today menulis bahwa kondisi ekonomi sebuah keluarga mempengaruhi perkembangan anak-anak. Salah satu aspek yang dipengaruhi adalah self-control. Dalam banyak penelitian, perilaku-perilaku dalam self-control sangat mempengaruhi kesuksesan seseorang kelak, salah satunya adalah response inhibition.
ADVERTISEMENT
Bayangkan ada dua orang anak yang sedang belajar, dan tiba-tiba ada suara di luar kelas. Anak yang dapat tetap mempertahankan perhatiannya pada pelajaran adalah anak dengan tingkat response inhibition yang cukup baik. Dalam konteks yang lebih dewasa, Marwa Azab mencontohkan, orang yang pada saat pertemuan kantor tidak dapat menahan dirinya untuk berperilaku berlebihan, seperti mengungkap lelucon yang memuakkan, adalah contoh lemahnya response inhibition. Kemampuan untuk menekan respon yang tidak pantas inilah yang disebut sebagai response inhibition.
Tomlinson, Burt, dan Waller dalam penelitian mereka yang berjudul Neighborhood Poverty Predicts Altered Neural and Behavioral Response Inhibition menyebutkan pendapatan keluarga, pendidikan, dan lingkungan yang miskin mempengaruhi response inhibition seseorang.
Bukan hanya itu, dalam berbagai catatan, salah satunya yang juga disebutkan oleh Marwa Azab adalah sebuah penelitian yang memindai struktur otak 1.099 partisipan yang berumur 3-20 tahun. Kesimpulannya, kemiskinan memberikan dampak pada struktur permukaan otak. Struktur tersebut mempengaruhi kemampuan individu dalam bahasa, pengontrolan impuls, kemampuan spasial, dan kemampuan neurokognitif lainnya.
ADVERTISEMENT
Solusi Kemiskinan
Dalam banyak catatan, berbagai usaha telah dilakukan oleh berbagai lembaga di dunia untuk memerangi kemiskinan, beberapa di antaranya: memberikan insentif uang atau memberikan layanan gratis seperti kesehatan dan pelatihan. Namun, sering kali pelaksanaannya tidak ditopang dengan hasil yang memadai. Jikalau saja keseluruhan intervensi pemerintah tersebut dibarengi dengan pendidikan pengaturan keuangan yang masif, mungkin kita akan menemukan hasil yang lebih baik—salah satunya adalah mengajarkan cara menabung.
Bagaimana Behavioral Science Memandang Menabung?
Dan Ariely, profesor di Duke University, pernah mempresentasikan di TED Talks bagaimana mengarahkan orang untuk berperilaku seperti yang diharapkan. Memodifikasi perilaku serupa dengan membangun roket ke luar angkasa, ada dua hal yang penting: 1) membuat roket untuk menyimpan bahan bakar yang berlimpah, 2) meminimalisir hambatan yang diperoleh roket saat terbang. Serupa dengan menabung, hal pertama yang dilakukan adalah membuat individu yang bersangkutan memiliki motivasi yang berlimpah.
ADVERTISEMENT
Sulitnya bagi manusia, seringkali kita hanya berfokus pada hal yang nampak saja, seperti memiliki banyak barang. Kepemilikan barang ini diharapkan dapat menambah kebahagiaan yang dimiliki. Sehingga tidak salah sebuah penelitian mendokumentasikan bagaimana para tetangga para pemenang lotre di Amerika meningkatkan pembelian mereka karena melihat sang pemenang juga membeli banyak barang. Padahal mungkin saja yang tidak nampak malah menentukan nasib kita kelak, seperti banyaknya tabungan. Dan Ariely mengungkap bahwa hal yang paling penting untuk membuat orang-orang ini menabung adalah dengan membuat perilaku menabung ini terlihat—dengan mengirimkan mereka plakat atau sertifikat setiap pencapaian tabungan yang mereka miliki.
Strategi perilaku berikutnya adalah *Saving More Tomorrow* (SMT). Sebuah pendekatan yang dicetuskan oleh Richard H. Thaler—penerima Nobel—untuk menghindarkan individu dari kondisi inertia dan memanfaatkan hyperbolic discounting. Inertia adalah kondisi di mana seseorang akan mempertahankan perilaku/kepercayaan yang dimilikinya sekarang dibanding mengubahnya, sementara hyperbolic discounting adalah kondisi di mana seseorang akan lebih cenderung untuk berusaha lebih sedikit dan mendapatkan manfaat sekarang juga daripada berusaha lebih besar dan mendapatkan manfaat di masa depan.
ADVERTISEMENT
Kinerja SMT adalah dengan membuat individu yang bersangkutan untuk berkomitmen meningkatkan tabungan di masa depan, contoh: setiap dua bulan saya akan meningkatkan tabungan saya sebanyak 150 ribu.
Contoh lainnya adalah dengan memanfaatkan efek social pressure. Caranya dapat berupa memasukkan seluruh ibu rumah tangga satu RW ke dalam sebuah grup WhatsApp, lalu admin grup akan mengupdate informasi tabungan keluarga bulanan setiap ibu rumah tangga di grup WhatsApp. Atau dapat pula dengan memanfaatkan efek loss aversion dengan cara setiap penarikan tabungan yang terlalu dini akan mendapatkan biaya penalti yang cukup besar untuk membuat keluarga menyimpan tabungan dan menggunakannya sesuai dengan tujuan—sekolah anak, atau tujuan-tujuan yang sebelumnya telah diset.
Pemerintah Baru Baiknya Melirik Behavioral Science
ADVERTISEMENT
Masa pemerintahan yang sebentar lagi tergantikan akan mewarisi tugas yang cukup berat. Termasuk, mengurangi kemiskinan hanya akan menjadi utopis jika cara yang berulang dilakukan. Diperlukan langkah-langkah inovatif untuk menuntaskan kemiskinan ekstrem ini. Pemerintahan baru yang akan dilantik pada Oktober mendatang perlu mempertimbangkan penggunaan keilmuan Behavioral Science dalam mengurai masalah ini. Menjadi catatan penting bahwa banyak negara di dunia melakukan hal yang serupa.
Pada saat pemerintahan Barack Obama, administrasi pemerintahan mengesahkan executive order pada 15 September untuk mengarahkan agar departemen menggunakan behavioral science untuk mengarahkan perilaku masyarakat. Beberapa saat kemudian Gedung Putih merespons dengan membentuk sebuah kelompok khusus dengan nama Social and Behavioral Team. United Kingdom pun pernah menggunakan pendekatan Behavioral Science dalam merumuskan solusi yang dapat diambil pemerintah, tim khusus ini dinamakan Behavioral Insight Team.
ADVERTISEMENT