Father and Son untuk Kita

Marini Saragih
Tidak mau makan rebung, durian, dan tauge.
Konten dari Pengguna
28 Oktober 2017 11:00 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marini Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Egy Maulana Vikri  (Foto: Instagram/ @egymaulanavikri)
zoom-in-whitePerbesar
Egy Maulana Vikri (Foto: Instagram/ @egymaulanavikri)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"I was once like you are now, and I know that it's not easy to be calm when you've found something going on."
ADVERTISEMENT
Atas segala pemberitaan tentang Egy Maulana Vikri, ada baiknya kita mendengar ulang Father and Son milik Cat Stevens.
Ini lagu lama yang rilis di tahun 1970-an. Saya pertama kali mendengarnya sewaktu masih SD, itu pun sudah dalam versi yang baru, yang dinyanyikan ulang oleh Boyzone.
Lagu ini sering saya dengar kembali sejak saya mulai asyik dengan Spotify, terlebih setelah digunakan sebagai soundtrack untuk film Guardians of the Galaxy 2. Ingat saat adegan pemakaman Yondu?
Konon, entah benar atau tidak, lagu ini dibuat sebagai bagian dari proyek drama musikal yang berjudul Revolussia. Ia mengambil latar revolusi Rusia. Secara garis besar ceritanya menyoal perbedaan idealisme bapak dan anak laki-laki dalam satu keluarga Rusia.
ADVERTISEMENT
Sang bapak ingin agar anaknya ini menetap di kampung halaman untuk mengurus peternakan miliknya, sementara si anak punya hasrat berbeda. Ia tak mau tinggal di rumah. Ia ingin bergabung dengan teman-temannya, menjadi satu dengan saudara-saudara idealismenya: Maju ke garda depan, mengusahakan kemenangan, memperjuangkan revolusi.
Saya teringat lagu ini saat membaca berita-berita menyangkut Egy Maulana Vikri. Gaungnya terdengar di mana-mana, namanya jadi pembicaraan dalam dan luar negeri. Ia disebut-sebut sebagai Lionel Messi-nya Indonesia.
Messi memang tak terpilih sebagai pesepak bola terbaik versi FIFA, tapi siapa yang tak mau menjadi Messi? Pesepak bola mana yang tak ingin disandingkan dengan Messi? Entah berapa banyak pesepak bola muda yang berharap untuk disebut-sebut sebagai The Next Messi. Beruntunglah Egy.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan cerita anak dan bapak di drama musikal Revolussia, ada banyak yang ingin Egy pergi dari negeri ini. Ke Eropa, yang benar-benar jauh. Bergabung dengan akademi sepak bola ternama. Menandatangani kontrak dengan klub Eropa, sehingga sebisa mungkin tak jadi dewasa di ranah sepak bola Indonesia.
Ya, bolehlah tetap membela Tim Nasional, sesekali pulang ke Indonesia. Namun, ia jangan berlama-lama di sini.
Bukannya tak cinta sepak bola Indonesia, tetapi menjadi dewasa di ranah sepak bola sini kelewat mengerikan. Usia dewasa memang tak ada sangkut pautnya dengan kedewasaan.
Selama bertahun-tahun, menjadi dewasa di ranah ini berarti menghadapi sistem yang carut-marut, manajemen yang asal-asalan, skandal-skandal tak perlu dan hal-hal tak sedap lainnya.
ADVERTISEMENT
Datangnya surat resmi dari Benfica yang mengharapkan kedatangan Egy membikin hari-hari penikmat sepak bola Indonesia penuh dengan semoga.
Semoga mendapat kontrak, semoga jadi pesepak bola muda papan atas, semoga diperebutkan klub-klub raksasa, semoga saat menonton Liga Champion kita bisa sama-sama berseru; “Heh, itu orang Indonesia, lho!
Yang menyenangkan dari mengikuti segala macam pemberitaan Egy adalah ia tak pernah takut dengan sepak bola dan segala ketidakpastiannya. Sewaktu masih berlatih di SSB Tasbih, ia pernah gagal berangkat ke Jepang karena terkendala biaya walau ia telah lolos seleksi. Namun, toh, dia tidak berhenti.
Saya pikir ia juga paham bahwa persaingan sepak bola di Eropa tak ada mudah-mudahnya. Akan tetapi, nyatanya ia tetap mencoba. Atau lihatlah apa yang dilakukannya saat bertanding. Membuahkan gol atau tidak, ia gemar menekan dan mencoba menembus lini pertahanan lawan.
ADVERTISEMENT
Lantas yang paling menyebalkan dari semuanya adalah ekspektasi. Apa-apa yang lahir dari segala macam semoga tadi.
Lagu Father and Son pada dasarnya terdiri dari dua karakter: bapak dan anak laki-lakinya. Ini bukan lagu duet, ia hanya terdiri dari satu suara. Kalau didengarkan dengan teliti, perbedaannya akan terasa sekali.
Waktu Cat Stevens menyanyikan bagian bapak, ia terdengar tenang. Tak ada gempuran emosi. Entah bagaimana caranya, yang pasti, ia terdengar bijak. Suaranya khas bapak-bapak. Sementara saat menyanyikan bagian anak, emosinya terdengar. Suaranya meninggi, hentakannya terasa benar.
Dulu, sewaktu masih bekerja di Kediri, saya berkali-kali berdebat dengan ibu saya. Tentu tidak dengan bertatap muka karena kami tidak tinggal di kota yang sama. Inti perdebatan kami satu, ibu berharap agar saya segera pindah bekerja di tempat lain.
ADVERTISEMENT
Alasannya masuk akal. Perusahaan rokok tempat saya bekerja dulu adalah perusahaan kecil. Gaji saya benar-benar tidak seberapa. Tidak ada jenjang karier walaupun saya memutuskan untuk tidak bekerja asal-asalan. Intinya, sekeras apa pun saya bekerja, rasa-rasanya tetap tak ada masa depan. Kalaupun ada, tentu suram.
Saya tahu ibu saya khawatir dengan masa depan saya. Terlebih saya juga harus membiayai sejumlah kebutuhan keluarga. Makanya, ibu saya berkali-kali protes dengan pilihan saya. Berkali-kali pula ia meminta saya mengikuti seleksi pegawai negeri dan perusahaan lain, yang kebetulan, jadi tempat sepupu-sepupu saya bekerja.
Ekspektasi ibu saya dan realitas jauh berbeda. Waktu pertama kali saya memutuskan untuk merantau, diterima berkuliah di perguruan tinggi negeri, tentu ia berekspektasi kalau saya bisa lebih sukses daripada apa yang dia lihat pada waktu itu.
ADVERTISEMENT
Ekspektasinya adalah saya mengikuti segala macam peraturan yang ada –saya tetap berjalan dalam agenda yang benar dan voila, menjadi wanita karier yang sukses dalam hitungan empat sampai lima tahun sejak pertama kali merantau.
Namun, kawan, kerja realitas memang sering kurang ajar. Realitasnya adalah, saya tak berjalan dalam agenda yang benar.
Saya pikir apa yang saya ambil adalah hal benar dan saya kehilangan kendali dalam banyak hal. Lantas konsekuensinya adalah saya harus memutar haluan.
Saya harus bekerja di perusahaan kecil. Berpuas diri dengan gaji yang tak seberapa, menahan marah saat perusahaan terlambat membayar gaji, bertungkus-lumus membenahi sistem perusahaan.
Namun, saya tahu apa yang tidak saya punya. Saya butuh bekerja di tempat semacam ini supaya bisa bekerja di perusahaan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Latar belakang akademis saya bobrok sehingga harus punya catatan kerja yang baik. Melakukan apa-apa yang tak pernah, bahkan tak bisa dilakukan oleh mereka yang punya indeks prestasi kumulatif yang membikin saya mengutuki kebodohan sendiri. Lantas saya menjadi seperti anak laki-laki dalam lagu Cat Stevens tadi.
Saya bukan orangtua. Saya tidak tahu bagaimana caranya membesarkan anak. Namun, saya seorang anak. Saya pikir, kita bukan Nabi Adam yang tak butuh manusia lain, generasi di atas kita, untuk lahir dan hidup sebagai manusia.
Berapa pun usia kita saat ini, kita semua adalah seorang anak. Saya pikir setiap anak tahu siapa saja yang menaruh harap padanya. Dengan atau tanpa kita sadari, setiap anak paham akan tanggung jawab ini.
ADVERTISEMENT
Egy Maulana Vikri (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Egy Maulana Vikri (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Di ranah sepak bola Indonesia, Egy adalah seorang anak. Ia serupa kita yang pertama kali merantau atau saat kita diterima di perguruan tinggi bergengsi atau magang di perusahaan ternama.
Kita yang beria-ria atas segala potensi menjanjikan dan pemberitaan yang semarak adalah orang tua yang menaruh harap pada anaknya. Pikiran kita penuh dengan syukur: Syukur karena akhirnya muncul lagi pesepak bola Indonesia yang bisa punya tempat di kancah sepak bola Eropa.
Tanpa perlu ada yang mengingatkan, saya kelewat yakin bahwa Egy juga paham dengan hal ini. Dia sadar betul bahwa di dalam setiap peluang menjanjikan yang diterimanya tersimpan tanggung jawab dan tantangan yang sudah pasti tak mudah. Beban itu tak lagi sekadar gol yang harus ia cetak, tetapi ekspektasi dari segenap pencinta sepak bola Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Gabriel Tan dalam Fox Sports Asia menulis hal menarik tentang segala potensi yang didapat Egy Maulana Vikri. Katanya; “Believe the hype but be patient with Egy Maulana.”
Percaya saja dengan segala hal-hal menjanjikan yang ditunjukkan oleh Egy, jangan skeptis terhadap peluang yang diterimanya, tetapi bersabarlah atas segala prosesnya. Beri dia waktu.
Dalam tulisan itu, ia juga menyebutkan talenta-talenta muda serupa Egy. Ada yang tenggelam karena kelewat dikendalikan oleh ekpektasi masyrakat. Ada pula yang berhasil karena berhasil melepaskan diri dari ekpektasi yang kelewat berat dan mengambil langkah yang benar.
Panggilan untuk mengikuti uji coba di Benfica memang perihal yang menjanjikan. Namun, kalau ia tak langsung bermain di Eropa, seandainya ia harus malang-melintang dulu di liga-liga Asia dengan prestise yang tak seberapa bila dibandingkan Eropa, kalaupun ia harus ikut seleksi di sana-sini untuk mendapatkan klub walau sebagian orang yakin ia layak mendapatkan kontrak tanpa seleksi; itu bukan berarti Egy tak sedang berada dalam agenda yang benar.
ADVERTISEMENT
Jangan keburu mencecarnya dengan kalimat; “Ah, bagus di awal doang! Tak sesuai ekspektasi! Harapan palsu,” bila dalam waktu tiga atau empat tahun ini kita belum melihat namanya tercatat di daftar pemain di salah satu klub Eropa.
Siapa tahu hal-hal semacam itu memang dibutuhkan agar ia bisa bertahan, tak sekadar menjadi one hit wonder Eropa sana. Lagi pula, bukannya kita juga sudah terlampau sering mengumandangkan adagium bahwa proses tak akan mengkhianati hasil? Dan sepak bola memang tak melulu tentang Eropa.
ADVERTISEMENT
Itu adalah bagian yang paling menyedihkan dari keseluruhan lagu Father and Son milik Cat Stevens. Sebagian besar orang menganggap bahwa lagu ini berisi percakapan antara bapak dan anak laki-lakinya.
Namun, menurut saya, lagu ini bukan percakapan langsung. Si anak memang berbicara, tetapi agaknya lebih kepada pembicaraan monolog. Ada ketidakpuasan dan amarah yang muncul. Kepada siapa kedua perasaan ini ditujukan, sepertinya tak tersampaikan secara langsung.
Lewat sepak terjang dan pencapaiannya sebagai pesepak bola muda Indonesia, Egy sedang ada dalam momen-momen awal saat ia dapat berbicara.
Ia berbicara lewat gol-golnya. Lewat keberhasilannya menembus pertahanan lawan. Lewat sejumlah pengakuan internasional.
Saya tak tahu apa-apa tentang karier di ranah sepak bola. Namun, saya tak mau dia menjadi anak laki-laki yang menyanyikan bagian tadi.
ADVERTISEMENT
Pada saatnya nanti, Egy layak untuk menjadi sosok bapak yang digambarkan oleh Cat Stevens di lagu ini: Look at me, I'm old but I'm happy.