Konten dari Pengguna

Tradisi Karapan Sapi: Dampak Sosial dan Ekonomi untuk Masyarakat Madura

SARAH FAUZIYAH AZ-ZAHRA
Saya adalah mahasiswa D4 Teknologi Radiologi Pencitraan, Fakultas Vokasi, Universitas Airlangga. Saya memiliki hobi menulis dan pernah publikasi karya puisi ditahun 2021 menjadi buku.
21 Januari 2024 11:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SARAH FAUZIYAH AZ-ZAHRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kerapan Sapi di Madura. Foto: dani daniar/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Kerapan Sapi di Madura. Foto: dani daniar/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman suku, setiap suku bangsa tentu memiliki budaya yang menjadi ciri khas masing- masing. Selain keragaman budaya yang berbeda, ada beberapa jenis budaya yang dianggap sangat khas dan masih dihormati. Salah satunya adalah karapan sapi. Karapan sapi adalah salah satu jenis pesona budaya Madura yang merupakan bentuk khusus menampilkan jenis pertandingan sapi. Karapan sapi ini termasuk dalam perlombaan tradisional yang masih ada sampai saat ini. Karapan sapi di madura diadakan hanya jika ada event tertentu seperti Piala Kapolres dan acara lainya. Acara seperti ini biasanya diselenggarakan oleh organisasi pengkarap.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari segi sejarah, Karapan Sapi berasal dari keraton Sumenep abad ke-15 pada masa pemerintahan Raja Katanduri yang para petaninya dikenal berpikir bijak dan cermat dalam cara meningkatkan produksi pertanian. Pada saat itu pertanian masih sederhana yaitu ladang masih dibajak dengan batu oleh tenaga manusia. Pangeran Katanduri konon berhasil membuat bajak bambu yang dapat ditarik oleh dua ekor lembu. Hasil dari keberhasilannya itu, Pangeran Katandur mengadakan pesta pascapanen yang didalam pesta tersebut munculah pertandingan kerapan sapi ini. Alih- alih menjadi budaya tradisional, khawatirnya adalah jika masyarakat didorong oleh motif ekonomi, tradisi ini akan hilang selamanya karena tidak layak secara ekonomi, sehingga tidak ada yang mau mempromosikan karapan sapi lagi. Oleh karena itu, pemerintah harus mencari solusi untuk mengaktifkan dan mempertahankan persaingan ternak murah. Karapan Sapi memiliki efek sosial positif dan negatif bagi individu dan masyarakat umum. Orang yang memiliki seekor sapi menunjukkan bahwa ia dianggap kaya secara finansial. Selain itu, ketika seorang peserta menjadi juara, harga diri dan martabat akan meningkat. Hal seperti ini dapat menyebabkan adanya kasta yang muncul secara tidak langsung dan menyebabkan persatuan antar warga Madura hilang begitu saja. Apalagi memiliki posisi sosial yang berpengaruh di Madura seperti ulama (pemimpin agama), klebun (kepala desa),dan blatter (orang yang sangat berpengaruh karena kemampuannya), tentu memiliki kesempatan menang yang lebih mudah. Karapan memiliki implikasi sosial lainnya, yakni munculnya tindak pidana berupa perjudian dan pertikaian yang dapat mengakibatkan perseteruan. Karapan sapi bisa dijadikan tempat judi para penjudi. Ukuran taruhan mulai dari ratusan rupiah dan berkisar hingga ratusan juta rupiah.
ADVERTISEMENT
Karapan Sapi adalah kompetisi yang pertarungannya sangat mudah dicurangi seperti yang disinggung diatas tadi, bahwa memiliki posisi sosial tinggi akan mudah mendapat kemenangan. Hal ini merugikan pihak korban yang dicurangi, selain rasa malu biaya yang harus ditanggung penderita sangat tinggi sehingga rentan terjadi ledakan emosi dan berakhir pertarungan senjata tajam. Dari segi ekonomi sendiri tidak ada keuntungan finansial bagi pemilik Karapan, namun keberadaan tradisi ini memiliki multiplier effect yang sangat besar bagi masyarakat umum dan pemerintah daerah.
Dampak lain dari kegiatan ini yang tentu menjadi perhatian para peneliti dan pecinta hewan adalah bagaimana hewan ternak diperlakukan selama kompetisi. Pengganggu akan melakukan apa saja untuk membuat sapi berlari kencang. Sapi berlari kesakitan dengan kedaan pantatnya berdarah. Segera setelah balapan, seolah-olah itu bukan apa-apa, para gembala merawat luka mereka, meskipun tindakan ini menyebabkan penderitaan baru untuk sapi. Caranya adalah dengan meneteskan cairan yang mengandung alkohol dan mudah menguap ke luka atau setetes air hangat bercampur garam. Penggunaan cairan ini dipercaya dapat mengeringkan dan menyembuhkan luka dengan cepat. Hal ini menimbulkan polemik yakni seputar penyiksaan, penyiksaan adalah penyimpangan dari budaya asli yang muncul setelah intervensi kapitalis. Awalnya dibuka untuk hiburan pascapanen ringan, Karapan telah berkembang menjadi pertunjukan yang imersif. Apalagi setelah bertaruh dan mempertaruhkan uang demi reputasi atau harga diri (pelaku budaya di Madura). (Hasan, 2012). Hal ini dapat dicegah jika pemerintah membuat peraturan yang melarang penyiksaan dan menegakkannya secara tegas, pemerintah dapat mengatur kegiatan tradisi ini. (Pambudi, 2015) Jadi dapat disimpulkan bahwa, dari segi ekonomi, beternak sapi karapani tidak menguntungkan. Motivasi memelihara sapi adalah hobi dan status sosial. Masyarakat Madura menjaga tradisi Karapan Sapi yang diberikan oleh nenek moyang mereka sampai pada titik konflik kriminal. Ini memberikan pendapatan lokal melalui dalih "Tradisi" dan "Perjudian".
ADVERTISEMENT