Konten dari Pengguna

Sebuah Jalan Panjang Menuju Keadilan yang Belum Sempurna

Sarah Grace Parapat
menginjak pendidikan sekolah Menengah Atas (SMA) menempuh pendidikan di sekolah SMA Citra Berkat
31 Desember 2024 20:36 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sarah Grace Parapat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar di buat oleh Sarah Grace Parapat di media "https://www.canva.com/"
zoom-in-whitePerbesar
Gambar di buat oleh Sarah Grace Parapat di media "https://www.canva.com/"
ADVERTISEMENT
Kesetaraan gender, sebuah ideal yang mengimpikan dunia di mana perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama, telah menjadi fokus gerakan sosial dan kebijakan publik selama beberapa dekade. Meskipun kemajuan signifikan telah dicapai, perjalanan menuju kesetaraan gender masih jauh dari selesai. Artikel ini akan memberikan tanggapan kritis terhadap konsep dan implementasi kesetaraan gender, menyoroti tantangan yang masih ada dan menawarkan perspektif yang lebih bernuansa.
ADVERTISEMENT
Salah satu kritik utama terhadap gerakan kesetaraan gender adalah definisi "kesetaraan" itu sendiri yang seringkali ambigu dan multi-interpretatif. Apakah kesetaraan berarti kesamaan hasil (outcome equality) atau kesamaan kesempatan (equal opportunity)? Perdebatan ini penting karena pendekatan yang berbeda akan menghasilkan strategi dan kebijakan yang berbeda pula. Pendekatan kesamaan hasil, misalnya, mungkin memerlukan intervensi afirmatif untuk mengatasi ketidaksetaraan historis, sementara pendekatan kesamaan kesempatan menekankan pada menciptakan lapangan bermain yang setara tanpa campur tangan yang terlalu besar.
Lebih lanjut, fokus pada kesetaraan gender seringkali mengabaikan interseksualitas. Pengalaman perempuan berbeda-beda berdasarkan faktor-faktor seperti ras, kelas sosial, orientasi seksual, dan disabilitas. Seorang perempuan dari latar belakang ekonomi lemah akan menghadapi tantangan yang berbeda dibandingkan dengan perempuan dari kelas menengah atas, meskipun keduanya secara teoritis memiliki hak yang sama. Oleh karena itu, pendekatan yang holistik dan inklusif yang mempertimbangkan interseksualitas sangatlah penting.
ADVERTISEMENT
Implementasi kebijakan kesetaraan gender juga seringkali menghadapi hambatan struktural dan kultural. Bias gender yang tertanam dalam institusi sosial, ekonomi, dan politik sulit diatasi. Contohnya, masih banyak perusahaan yang memberikan gaji yang lebih rendah kepada perempuan dibandingkan laki-laki untuk pekerjaan yang setara, dan representasi perempuan dalam posisi kepemimpinan masih sangat terbatas. Perubahan budaya yang mendalam diperlukan untuk mengatasi bias ini, yang membutuhkan waktu dan usaha yang signifikan.
Selain itu, kritik juga diarahkan pada cara pengukuran keberhasilan kesetaraan gender. Indikator-indikator yang sering digunakan, seperti angka partisipasi perempuan dalam angkatan kerja atau persentase perempuan di parlemen, mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan realitas di lapangan. Indikator-indikator ini mungkin mengabaikan aspek-aspek penting lainnya, seperti beban kerja domestik yang tidak merata, kekerasan berbasis gender, atau akses terhadap layanan kesehatan reproduksi.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, meskipun kesetaraan gender merupakan tujuan yang mulia dan penting, perjalanan menuju pencapaiannya masih panjang dan penuh tantangan. Untuk mencapai kesetaraan yang sejati, diperlukan pendekatan yang komprehensif, yang mempertimbangkan interseksualitas, mengatasi hambatan struktural dan kultural, dan menggunakan indikator yang lebih komprehensif untuk mengukur keberhasilan. Perlu juga diakui bahwa kesetaraan gender bukanlah tujuan akhir, melainkan proses yang berkelanjutan yang membutuhkan refleksi kritis dan adaptasi yang konstan.