Konten dari Pengguna

Label yang Membelenggu: Mengapa Stereotip Gender Perlu Dihapus?

Sarah Nourvi
Mahasiswa - Program Studi Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB University
14 Maret 2025 10:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sarah Nourvi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Label yang mengganggu: Mengapa Stereotip Gender Perlu Dihapus? Foto: Canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Label yang mengganggu: Mengapa Stereotip Gender Perlu Dihapus? Foto: Canva.com
ADVERTISEMENT
Pelabelan atau labeling terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk stereotip gender yang masih sangat mengakar dalam masyarakat Indonesia. Pelabelan ini mencakup pandangan atau asumsi yang dilekatkan pada perempuan berdasarkan jenis kelamin mereka, seperti anggapan bahwa perempuan harus menjadi pengasuh utama dalam keluarga atau bahwa mereka kurang kompeten dibandingkan laki-laki dalam bidang tertentu. Meskipun tampaknya sepele, pelabelan ini membawa dampak yang mendalam, baik secara individu maupun kolektif terhadap perkembangan perempuan di berbagai aspek kehidupan.
ADVERTISEMENT
Pelabelan terhadap perempuan sering kali dimulai dari lingkungan sosial terkecil, yaitu keluarga. Sejak dini, perempuan diajarkan untuk mematuhi peran tradisional sebagai sosok yang lemah lembut, penuh kasih sayang, dan bertanggung jawab atas urusan domestik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Febriyanti dan Ramatunnisa (2022), ditemukan bahwa stereotip gender di lingkungan keluarga sering kali menjadi dasar pembentukan identitas perempuan. Perempuan diharapkan untuk memenuhi ekspektasi sosial tertentu, seperti menjadi ibu rumah tangga yang ideal atau mengorbankan ambisi pribadi demi keluarga. Hal ini tidak hanya membatasi potensi perempuan, tetapi juga memperkuat struktur patriarki dalam masyarakat.
Stereotip ini diperkuat oleh representasi media yang sering kali menggambarkan perempuan dalam peran-peran tradisional. Iklan televisi, film, dan media sosial kerap menampilkan perempuan sebagai objek seksual atau sebagai sosok yang hanya berfungsi dalam konteks domestik. Penelitian oleh Khoirunnisa et al. (2022) menunjukkan bahwa stereotip gender dalam media dapat memperkuat persepsi publik tentang peran tradisional perempuan. Media sering kali menggambarkan perempuan sebagai ibu rumah tangga yang sempurna atau sebagai individu yang bergantung pada laki-laki untuk mendapatkan perlindungan dan dukungan finansial. Akibatnya, banyak perempuan merasa terjebak dalam peran-peran ini dan sulit untuk mengejar karier atau pendidikan yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Dampak dari pelabelan ini tidak hanya terbatas pada hambatan karier, tetapi juga meluas ke aspek kesehatan mental dan fisik perempuan. Studi oleh Rahmawati et al. (2023) menunjukkan bahwa internalisasi stereotip gender dapat menyebabkan tekanan psikologis seperti rendahnya harga diri, kecemasan sosial, dan bahkan depresi. Perempuan yang terus-menerus dihadapkan pada ekspektasi sosial yang tidak realistis sering kali merasa tidak mampu memenuhi standar tersebut, sehingga mengalami stres kronis. Lebih jauh lagi, pelabelan ini juga sering kali digunakan untuk membenarkan kekerasan berbasis gender. Misalnya, anggapan bahwa perempuan harus berpakaian sopan untuk menghindari pelecehan seksual adalah bentuk stereotip yang secara tidak langsung menyalahkan korban atas kekerasan yang mereka alami.
Stereotip gender juga memiliki dimensi interseksionalitas yang memperparah diskriminasi. Perempuan dari kelompok minoritas etnis atau ekonomi sering kali menghadapi stereotip ganda yang menghambat mereka untuk mengakses pendidikan atau pekerjaan yang layak. Sebagai contoh, perempuan dari kelompok miskin sering kali dianggap hanya cocok untuk pekerjaan kasar atau informal, sementara perempuan dari kelompok etnis tertentu mungkin dianggap kurang kompeten dibandingkan rekan-rekan mereka dari kelompok mayoritas (Khoirunnisa et al., 2022). Hal ini menunjukkan bahwa pelabelan bukan hanya masalah individu, tetapi juga merupakan isu sistemik yang memerlukan perhatian serius.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, ada harapan untuk perubahan. Beberapa inisiatif telah dilakukan untuk membongkar stereotip gender melalui pendidikan dan kampanye kesadaran publik. Program-program pendidikan berbasis gender di sekolah-sekolah telah mulai diterapkan di berbagai daerah di Indonesia untuk mengajarkan anak-anak tentang pentingnya kesetaraan gender sejak dini. Pendekatan ini bertujuan untuk membentuk pola pikir generasi mendatang agar lebih menghargai perbedaan dan memahami bahwa setiap individu memiliki hak dan kesempatan yang sama tanpa memandang jenis kelamin.
Organisasi seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga terus mendorong pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang mendukung penghapusan stereotip gender di tempat kerja dan media. Misalnya, kampanye "Perempuan Berdaya" bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemberdayaan perempuan dan perlunya menghapuskan label-label negatif yang melekat pada mereka. Kampanye semacam ini berfokus pada pemberian suara kepada perempuan agar mereka dapat mengekspresikan diri dan berkontribusi secara aktif dalam berbagai sektor kehidupan.
ADVERTISEMENT
Perubahan juga dapat dilakukan melalui representasi media yang lebih adil dan beragam. Media harus berperan aktif dalam menggambarkan perempuan sebagai individu dengan kemampuan dan potensi yang setara dengan laki-laki. Ini termasuk menampilkan tokoh-tokoh perempuan dalam berbagai bidang, mulai dari sains hingga seni, sebagai contoh nyata bahwa perempuan dapat sukses tanpa terikat pada stereotip tradisional.
Kesimpulannya, pelabelan terhadap perempuan adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian kolektif dari seluruh elemen masyarakat. Pelabelan ini tidak hanya membatasi potensi individu, tetapi juga memperkuat struktur sosial yang tidak adil. Untuk membongkar stereotip ini, diperlukan pendekatan multidimensi yang mencakup pendidikan berbasis kesetaraan gender, reformasi kebijakan publik, dan perubahan cara media menggambarkan peran gender. Dengan demikian, kita dapat menciptakan masyarakat di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang tanpa terhambat oleh label-label yang merugikan.
ADVERTISEMENT