Konten dari Pengguna

Hak Cuti Haid pada Lingkup Ketenagakerjaan

Sarah Putri Az-Zahra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
14 Desember 2022 17:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sarah Putri Az-Zahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
dari Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
dari Shutterstock
ADVERTISEMENT
Tindakan afirmatif, atau lebih dikenal dengan istilah affirmative action, merupakan sebuah praktik atau peraturan berupa diskriminasi positif yang menguntungkan suatu individu atau kelompok yang rentan atas marginalisasi serta diskriminasi. Affirmative action sering kali digunakan oleh negara sebagai jawaban atas ketimpangan dan marginalisasi sosial. Hal ini dilakukan demi mempercepat kesetaraan. Selaras dengan pengertian justicia distributive menurut Aristoteles, setiap orang berhak untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya. Karena terdapat kelompok yang memiliki kondisi sosial yang berbeda, yaitu kelompok yang rentan atas marginalisasi, diperlukan perlakuan serta kebijakan yang berbeda juga untuk mencapai hasil akhir yang adil. Alasan inilah yang menjadi dasar dari munculnya kesadaran atas pentingnya affirmative action.
ADVERTISEMENT
Penerapan dari affirmative action dapat kita lihat di kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk affirmative action adalah eksistensi gerbong khusus perempuan dan bangku prioritas bagi perempuan hamil dan lansia pada Kereta Rel Listrik (KRL). Gerbong khusus perempuan sendiri diciptakan untuk mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual yang sering kali mengorbankan perempuan di KRL akibat kondisi di dalam kereta yang ramai dan berimpitan. Di sisi lain, bangku prioritas bagi perempuan hamil dan lansia diadakan karena dua kelompok tersebut memiliki kondisi fisik yang berbeda, sehingga diperlukan suatu perlakuan khusus. Selain itu, terdapat juga ladies parking atau lahan parkir khusus perempuan yang secara historis juga diciptakan untuk mengurangi tindak kekerasan seksual di tempat parkir yang gelap dan sepi.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, affirmative action diakui dalam Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlakuan khusus demi mencapai kesetaraan dan keadilan. Pada perundang-undangan yang lebih rendah, affirmative action juga telah dilakukan di berbagai bidang. Pada bidang politik, diregulasi angka minimal representasi perempuan di kursi parlemen, yakni 30% dalam setiap daerah pemilihan dan minimal satu calon di antara setiap tiga calon. Selanjutnya, pada bidang ketenagakerjaan, pekerja perempuan juga diberikan ketentuan-ketentuan khusus, seperti batas jam kerja untuk pekerja yang sedang hamil, perlakuan khusus untuk pekerja perempuan yang bekerja lembur, dan hak pekerja perempuan atas cuti haid, hamil, melahirkan, menyusui, bahkan keguguran.
ADVERTISEMENT
Walaupun tindakan afirmatif terhadap perempuan telah diakomodasi dalam produk legislatif, tidak dapat dimungkiri bahwa penerapannya masih kurang efektif. Dari beberapa penelitian, nyatanya masih banyak perusahaan yang tidak menyertakan hak cuti haid yang sesuai ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan, yakni pada perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Sebagai gantinya, pekerja perempuan yang mengalami nyeri haid atau dismenore diberikan kesempatan untuk izin sakit dengan menyertakan keterangan dokter. Walau begitu, tak sedikit pekerja perempuan yang belum mengetahui eksistensi hak cuti haid yang sepatutnya mereka dapatkan, sehingga pekerja perempuan mungkin akan merasa malu jika harus izin sakit dengan alasan nyeri haid.
Bahkan, pada beberapa kasus, terdapat pelanggaran atas hak cuti haid yang menimbulkan implikasi ekstrem terhadap korbannya. Dilansir dari Magdalene.co, seorang buruh perempuan di PT Alpen Food Industry, Er, didiagnosis mengidap endometriosis, penyakit rahim. Enam bulan kemudian, Er mengalami nyeri serta pendarahan hebat saat haid hari pertama. Akan tetapi, fasilitas kesehatan pabrik mempersulit buruh perempuan yang hendak izin sakit karena haid. Maka dari itu, Er hanya dapat menahan rasa sakitnya sembari mengkonsumsi obat pereda nyeri haid. Tindakan perusahaan yang melanggar regulasi mengenai hak cuti haid ini dapat berimplikasi terhadap kesehatan reproduksi Er, mengingat Ia mengidap penyakit pada rahimnya.
ADVERTISEMENT
Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi hak cuti haid yang sukar diterapkan pada beberapa perusahaan. Salah satunya adalah pemahaman yang minim pada pekerja perempuan tentang adanya regulasi hak cuti haid. Adapun beberapa pekerja perempuan tidak menganggap hak cuti haid sebagai sesuatu yang urgen. Hal ini kemungkinan besar terjadi ketika mereka tidak mengalami nyeri haid yang akut, sehingga lebih memilih untuk terus bekerja. Anggapan tentang haid yang masih dianggap tabu juga menjadi penyebab penerapan hak cuti haid masih kurang efektif. Pekerja-pekerja perempuan sering kali merasa malu dan tidak nyaman untuk membicarakan perihal haid kepada atasannya, terutama apabila atasannya adalah laki-laki.
Perusahaan juga masih membatasi penerapan hak cuti haid karena dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan di antara pekerja laki-laki. Selain itu, perspektif gender yang buruk juga menjadi salah satu alasan dari kurangnya efektivitas penerapan hak cuti haid. Merujuk pada kisah Er, perusahaan masih mempersulit izin sakit karena haid. Hal-hal tersebut didasarkan atas anggapan remeh terhadap nyeri haid dan ketidakpekaan petinggi perusahaan terhadap kondisi pekerja perempuan saat sedang haid yang berbeda dengan pekerja lainnya.
ADVERTISEMENT
Faktor-faktor tersebut dapat diatasi dengan memberikan sosialisasi serta kampanye mengenai perspektif gender dan affirmative action. Selain itu, perusahaan harus dapat memberlakukan aturan tentang hak cuti haid sesuai Pasal 81 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Hal ini harus dilakukan untuk menjamin kepastian hukum tentang hak cuti haid dan memberikan pemahaman kepada pekerja, khususnya pekerja perempuan, bahwa pekerja perempuan berhak atas cuti haid. Melihat salah satu perusahaan, yakni PT. Sinar Pantja Djaja, yang telah secara efektif memenuhi hak cuti haid, pekerja perempuan di sana mengaku mengetahui haknya atas cuti haid dari buku perjanjian kerja dan sosialisasi perusahaan. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa metode-metode di atas terbukti dapat memberikan pengetahuan mengenai hak cuti haid kepada para pekerjanya dan diharapkan dapat membuat penerapan hak cuti haid lebih efektif dan maksimal.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, di samping pemerintah yang telah berperan aktif dalam membuat regulasi yang selaras dengan konsep affirmative action, diperlukan juga peran aktif dari pihak luar, dalam hal ini perusahaan, untuk mewujudkan keberlakuan hak cuti haid. Affirmative action diharapkan dapat menjadi sebuah solusi dari ketimpangan dan ketidaksetaraan gender, sehingga perempuan akan lebih cepat mencapai akses dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.