Konten dari Pengguna

Tanah Papua, Masihkah Menjadi ‘Surga’ Keanekaragaman Hayati?

S. Rosemery M
Penulis tertarik dengan isu lingkungan, konservasi, keanekaragaman hayati, perubahan iklim dan sosial&budaya
15 Mei 2018 22:48 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari S. Rosemery M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tanah Papua, Masihkah Menjadi ‘Surga’ Keanekaragaman Hayati?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sumber Foto: Greenpeace
“Adohh Mama Lihat.. Sa pu hati, su tatinggal… Di Gunung-gunung, di lembah-lembah.. Di Papua…
ADVERTISEMENT
Adohh Mama Lihat.. Sa pu hati, su tenggelam… Di dasar pasir, di laut biru.. Di Papua…
Cerita dia pu sungai yang deras.. Cerita dia pu hutan yang luas…
Tempat Matahari selalu menyanyi.. Tempat Cendrawasih selalu menari…”
Judul lagu dari penggalan lirik tersebut adalah “Tatinggal di Papua” oleh kelompok vocal Pacenogei, yang merupakan kelompok vocal asli Papua. Makna yang terkandung di dalam sepenggal lirik tersebut mengisyaratkan bahwa kekayaan sumber daya alam (SDA) Papua tidak dapat terbantahkan. Bagaikan surga yang tersembunyi, Tanah Papua menyimpan kekayaan mulai dari perut hingga permukaan bumi.
Keanekaragaman Hayati VS Deforestasi di Tanah Papua
Keanekaragaman hayati merupakan seluruh keanekaan bentuk kehidupan di bumi, beserta interaksi di antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Indonesia merupakan negara yang amat kaya dan khas. Sebagian besar pembangunan di Indonesia selama ini mengandalkan potensi sumber daya hayati. Oleh karenanya, keanekaragaman hayati adalah aset bagi pembangunan dan kemakmuran bangsa.
ADVERTISEMENT
Papua adalah rumah bagi lebih dari sepertiga hutan utuh di Indonesia. Mendaulat Papua sebagai ‘surga kecil’, suatu negeri terindah di dunia bukanlah hal yang berlebihan. Alam daratnya yang kaya luar biasa, mulai dari kekayaan di dalam perut bumi seperti emas, minyak dan gas, biji besi hingga uranium. Sampai kekayaan di atas daratan seperti hutan belantara dengan spesies flora yang teramat banyak, dimana dapat disandingkan dengan Hutan Amazon di Amerika Selatan. Ditambah lagi dengan keragaman spesies fauna yang terbilang banyak jumlahnya. Sampai-sampai burung yang dijuluki burung surga yakni ‘Cenderawasih’ pun hidup di Tanah Papua, dan masih banyak lagi spesies fauna endemik unik yang tinggal berdampingan di tanah yang diberkati Tuhan ini. Tidak diragukan jika masyarakat lokal Papua pada umumnya sangat menggantungkan kehidupan dan mata pencahariannya dengan alam.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, ternyata mengelola aset “hidup” ini tidaklah mudah. Selama ini, keanekaragaman hayati dianggap hanya sebagai sumber daya yang dieksploitasi secara sewenang-wenang sehingga berakhir pada ancaman dan rusaknya potensi dari keanekaragaman hayati itu sendiri, seperti yang telah terjadi hampir di seluruh bagian wilayah Indonesia. Keindahan dan kekayaan Tanah Papua ini dikhawatirkan tidak bertahan lama, seiring dengan banyaknya pembukaan lahan secara besar-besaran. Bahkan deforestasi di Bumi Cenderawasih ini telah dimulai berabad-abad lamanya.
Penelitian-penelitian terkait informasi keanekaragaman hayati di hutan Papua sangatlah minim data atau masih sedikit sekali. Dengan ketidakpekaan dan ketidaktahuan umum mengenai pembukaan dan pembabatan hutan, maka secara langsung kita juga tidak tahu seberapa banyak jumlah dan jenis keanekaragaman hayati yang sudah hilang dan diambil oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Dilansir pada laman, trubus.id (14/5), sudah beberapa tahun terakhir, akitivitas pembalakan liar dan peredaran kayu illegal marak di Papua. Belakangan diketahui, hal tersebut disebabkan oleh kekosongan petugas kehutanan di wilayah tersebut. Berita tersebut pun diperkuat dengan data citra satelit yang dipublikasi oleh Greenpeace baru-baru ini yang berjudul “Forest clearing for oil palm plantations mapped between 2015 and 2018”.
Tanah Papua, Masihkah Menjadi ‘Surga’ Keanekaragaman Hayati? (1)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Greenpeace
Adapun dilansir pada laman dw.com (1/5), perusahaan raksasa sawit seperti Sinarmas, Musim Mas dan Wilmar telah menandatangani komitmen moratorium hutan, banyak perusahaan menengah yang mencari celah buat membuka lahan baru. Salah satunya adalah PT Megakarya Jaya Raya yang membuka lahan sawit seluas 40 kilometer persegi di Kabupaten Boven Digoel, Papua. Konsesi lahan punya perusahaan asal Malaysia itu seutuhnya berdiri di atas hutan primer alias hutan alami. Kehadiran perusahaan sawit di Boven Digoel sebenarnya telah memicu kisruh dengan penduduk lokal sejak 2016 (dw.com).
ADVERTISEMENT
Informasi ini senada dari laporan Harian Suarapapua, warga mengklaim perusahaan membabat hutan adat dan memberi uang ganti rugi yang tidak sepadan. Saat itu tidak sedikit penduduk yang tadinya bertani karet kehilangan sebagian pemasukan setelah bergabung menjadi buruh sawit, Papua mengalami hilangnya tutupan pohon yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2015 dan 2016.
Deforestasi = Climate Bomb!
Pemerhati lingkungan yang telah lama concern dengan isu hutan dan masyarakat adat Papua, serta founder Yayasan Econusa, Bustar Maitar, menjelaskan bahwa “Deforestasi sama dengan Climate Bomb!”. Deforestasi itu menyumbang seperempat dari total greenhouse gas/Gas Rumah Kaca (GRK) secara global, artinya jika masalah deforestasi secara global tidak tertangani dengan baik, maka kita akan gagal untuk menangani perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Di Tanah Papua tingkat emisinya masih tergolong rendah, karena emisi tersebut masih tersimpan di hutan-hutan Papua. Namun satu yang perlu ditekankan, bahwa apabila pembukaan lahan di Tanah Papua terus berlangsung maka nantinya akan menimbulkan ‘Climate Bomb’ atau bom waktu untuk perubahan iklim dan dikhawatirkan tidak lagi dapat menyimpan emisi yang ada. Apalagi lagi jika pembukaan hutan diikuti dengan pembakaran, tentunya hal tersebut semakin memperparah faktor perubahan iklim.
Melihat dari perkembangan sejarahnya, pada mulanya keanekaragaman hayati dan SDA di Papua telah lama dieksploitasi oleh pihak-pihak kepentingan. Menurut Bustar, deforestasi yang terjadi di Papua telah berjalan sejak jaman Belanda dulu masuk ke Indonesia. Saat itu Papua (yang pada masanya disebut ‘Irian Jaya’) belum bergabung dengan Indonesia, Papua dijadikan tempat untuk mengambil bahan-bahan mentah dari hutan, dimana salah satunya adalah kayu.
ADVERTISEMENT
Bustar menambahkan bahwa, pembukaan lahan skala besar tersebut terjadi sejak awal tahun 80an hingga akhir 90an yang bermula dengan pembukaan lahan perkebunan terutama untuk perkebunan kelapa sawit, seperti di wilayah Sorong, Manokwari dan Jayapura, serta beberapa tempat lainnya. “Akses ke Papua pada jaman itu sangatlah terbatas. Eksploitasi besar-besaran tersebut dilakukan dengan alasan untuk kepentingan pembangunan, pembukaan akses dan pemukiman transmigrasi”, ungkap Bustar saat diwawancara langsung oleh penulis.
Bustar berpendapat bahwa, sudah banyak perusahaan yang tertarik dan mengincar kekayaan dan keanekaragaman hayati di Papua, contohnya saja eksplorasi terhadap Freeport dan banyak sekali diberikan konsesi-konsesi penebangan hutan oleh pemerintahan di kala itu. Dari konsesi-konsesi yang diberikan, kemudian pemilik konsesi mulai membuka hutan Papua, dengan mengambil kayu-kayu yang ada di Papua. Pengambilan kayu tersebut dengan cara tidak tebang habis atau selektif, untuk kepentingan akses pembukaan jalan.
ADVERTISEMENT
Bustar menambahkan hampir 60% atau lebih hutan di Tanah Papua telah di kavling untuk kepentingan konsesi, baik itu konsesi kayu ataupun untuk perkebunan. Jadi secara legal itu semua sudah diberikan izin oleh pemerintah ke perusahaan yang bersangkutan. Sayangnya, mereka tidak bersungguh-sungguh melihat dari sisi AMDAL. AMDAL hanya sebatas ‘stempel’, untuk menjalankan kegiatan apa yang mereka (perusahaan) ingin lakukan pada kepemilikan tanahnya, tanpa melihat faktor-faktor ancaman lingkungan yang akan terjadi kedepannya. “Jika akses pembukaan lahan tersebut terus saja berlanjut, maka kita hanya tinggal menunggu waktu seberapa lama hutan Papua akan dapat bertahan”, pungkas Bustar.
Ekspansi perkebunan sawit adalah faktor terbesar dalam meningkatnya laju deforestasi di Indonesia. Bustar berpendapat bahwa, adapun solusi alternatif untuk mengurangi laju deforestasi khususnya di Papua adalah dengan memaksimalkan perkebunan kelapa sawit yang sudah ada di Indonesia di wilayah lain, seperti Sumatera dan Kalimantan. Sehingga tidak perlu lagi untuk membuka lahan baru terutama hutan di Papua.
ADVERTISEMENT
Penulis: Sarah R. M. W
*Diolah dari berbagai sumber media: dw.com, trubus.id, Harian Suarapapua, dan Greenpeace. Ditambah hasil wawancara langsung dengan Bustar Maitar, Founder Yayasan Econusa dan Pemerhati Lingkungan yang fokus membahas isu Hutan dan Masyarakat Adat Papua.