Konten dari Pengguna

Pentingnya Literasi dan Diskursus Publik demi Demokrasi Sehat di Era Post-Truth

Sarah Novianti
Mahasiswa Hubungan Internasional UGM
8 Agustus 2021 11:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sarah Novianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penggunaan media sosial sebagai wahana berdemokrasi, Photo oleh Robin Worrall di Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Penggunaan media sosial sebagai wahana berdemokrasi, Photo oleh Robin Worrall di Unsplash
ADVERTISEMENT
Demokrasi Pancasila yang dijunjung di Indonesia merupakan percampuran dari nilai-nilai demokrasi Barat yakni kebebasan, kesetaraan, persaudaraan dengan nilai-nilai ‘ke-Indonesiaan’ yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945. Sila-sila Pancasila sebenarnya sudah mencerminkan nilai-nilai demokrasi, selain itu pengakuan atas hak-hak dasar seperti kebebasan untuk memeluk agama yang diakui di Indonesia, kebebasan untuk menyuarakan pendapat dengan asas adil dan beradab, kebebasan pers dan netralitas media, sikap toleransi terhadap sesama, dan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa menjadi semangat demokrasi di era reformasi.
ADVERTISEMENT
Namun pelaksanaan demokrasi sekarang ini sudah berbeda dengan pelaksanaan demokrasi beberapa tahun ke belakang. Pemilu tahun 2004 memang disebut-sebut sebagai keberhasilan pesta demokrasi Indonesia, di mana pemilihan umum tersebut melibatkan seluruh rakyat Indonesia secara langsung untuk menentukan masa depan Indonesia, dengan memilih presiden dan wakil presiden beserta anggota legislatifnya.
Perlu dipahami bahwa pelaksanaan demokrasi bukanlah sekadar mengurusi soal perwakilan dan pemilihan umum saja. Pelaksanaan demokrasi juga menyentuh segala aspek kehidupan bernegara dan berbangsa. Hal ini didasari urgensitas dan kebutuhan masyarakat untuk ikut andil dalam pemerintahan. Terutama dengan meningkatnya teknologi informasi dan komunikasi yang memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya melalui media-media komunikasi informasi terutama media sosial.
Yang perlu digarisbawahi adalah pelaksanaan nilai-nilai demokrasi sekarang ini merupakan buah dari tekanan politik yang dialami bangsa Indonesia selama 32 tahun. Sehingga setelah terbebas dari belenggu Orde Baru, masyarakat Indonesia dihadapkan pada pelaksanaan nilai-nilai demokrasi salah satunya nilai kebebasan. Tekanan politik yang dialami pada masa itu membuat keadaan kebebasan ditanggapi seperti sekarang ini.
ADVERTISEMENT

Disrupsi Informasi yang Mengancam Demokrasi

Penggunaan media sosial sebagai wahana berdemokrasi dan kondisi post-truth sekarang ini membuat pemaknaan kebebasan demokrasi menjadi liar. Bisa dikatakan bahwa demokrasi yang berjalan di Indonesia sekarang adalah demokrasi liberal. Kebebasan dimaknai secara sembrono, bahwa setiap orang bebas dan berhak untuk menyuarakan pendapat dan kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, mengkritik, setiap orang ingin didengar suaranya.
Walaupun nilai utama dari demokrasi adalah kebebasan, namun kebebasan jangan sampai diartikan tidak ada batasan. Kita tetap harus menjamin hak setiap warga negara untuk menyuarakan pendapatnya namun dalam batas tidak mengganggu ketertiban umum dan tetap menjamin hak yang kita gunakan tidak mengancam hak orang lain.
Menurut survei Juni 2021 mengenai sikap mayoritas warga Indonesia mengapresiasi pemerintah menjalankan sistem demokrasi, tingkat kepuasan publik pada pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh presiden masih cukup tinggi yakni 80,2 % persen . Hal inilah yang membuat masyarakat Indonesia tidak kritis dan tidak skeptis terhadap jalannya pemerintah.
ADVERTISEMENT
Sedangkan menurut laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) mengenai Indeks Demokrasi 2020, tercatat Indeks Demokrasi di Indonesia turun dari skor 6,48 di tahun 2019 menjadi 6,3 di tahun 2020. Hal ini menunjukkan kalau kualitas demokrasi Indonesia telah menunjukkan adanya pengurangan siginifikan yang tidak hanya menyentuh aspek kebebasan sipil dan pluralisme, namun juga fungsi pemerintahan.
Tingkat melek politik dan pemahaman demokrasinya sangat kurang terutama bagi masyarakat kalangan bawah yang tingkat ekonomi dan pendidikannya rendah ditujukan dengan mudahnya suara mereka dibeli oleh para oknum-oknum politikus yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya demi kekuasaan. Masyarakat kalangan bawah juga cenderung apatis terhadap politik, penyelenggara negara dan parpol. Namun sekalinya berpendapat mengenai isu-isu politik begitu banyak penyimpangan demokrasi.
ADVERTISEMENT

Tren Politik Polarisasi Akibat Disrupsi Informasi, Penyebaran Hoaks, Politisasi SARA dan Politik Identitas

Penyimpangan tidak terjadi dalam pemilu saja, namun praktik demokrasi di masyarakat informasi ini mengalami penyimpangan seperti politisasi SARA, bertebarnya kebencian, kabar bohong (hoaks), fitnah, saling memaki dan menghujat di media sosial, hingga tumbuhnya buzzer (pendengung) yang dipelihara oleh oknum tertentu bahkan oleh pemerintah yang berujung pada terjadinya politik polarisasi yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Media sosial sebagai wahana atau saluran untuk menyampaikan segala bentuk informasi di era informasi ini tidak bisa dibendung lagi kebebasan dan keterbukaannya.
ADVERTISEMENT
Dibutuhkan kejelian dan sikap selektif bagi para pengguna media sosial untuk memilah mana berita yang faktual dan mana yang abal-abal. Kurangnya literasi menyebabkan publik tidak kritis dan dan bersikap selektif terhadap informasi yang tersebar. Masyarakat Indonesia sebagai pengguna facebook terbesar di dunia menjadi peluang bagi para oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk meraup keuntungan sendiri dengan menyebarkan konten palsu hingga kasus kejahatan siber.
Literasi yang rendah dalam memaknai demokrasi membuat penyalahgunaan media sosial seperti facebook, instagram, twitter, hingga whatsapp sangat masif. Media sosial tersebut hanya dijadikan ajang penyebar kebencian, saling hujat, kritik terhadap suatu kebijakan namun tidak rasional dan tidak kredibel, perdebatan publik, hingga aksi-aksi penipuan bahkan sampai tindakan radikalisasi dan kejahatan lintas negara, akibatnya persatuan bangsa pun terancam.
ADVERTISEMENT
Jika kita lihat fakta tingkat literasi Indonesia menurut penelitian Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia menempati posisi 62 dari 70 negara yang disurvei tahun 2019. Hal ini menyebabkan masyarakat Indonesia mudah menerima berita tanpa memeriksa ulang kebenaran, tanpa melakukan pemilahan, verifikasi dan evaluasi pada setiap informasi dan berita yang ada karena kurangnya literasi dan sikap kritis terhadap informasi yang menyebar secara masif.
Orang cenderung tidak mencari kebenaran melainkan sesuatu yang sesuai dengan keyakinan dan perasaan meskipun itu salah. Kondisi seperti inilah yang sedang menjangkit masyarakat Indonesia di mana bukan rasio dan nalar yang digunakan dalam menghadapi suatu isu atau informasi, namun lebih mengedepankan emosi.
ADVERTISEMENT
Hal ini dijadikan peluang bagi para oknum untuk memanfaatkan kondisi tersebut sebagai salah satu jalan untuk meraup suara publik khususnya dalam pemilu, juga untuk meraup keuntungan dari bisnis sindikat pembuat berita palsu atau hoaks dan ujaran kebencian .
Media massa sebagai ruang publik berdemokrasi juga sebagai wahana warga negara berkomunikasi, berdiskusi, berargumen, menyatakan sikap terhadap problematika politik seharusnya dapat menjembatani semangat demokrasi Indonesia. Kondisi kebebasan berpendapat di masyarakat membuat setiap orang bisa menjadi sumber informasi, ditandai dengan banyaknya aktivitas citizen journalism.
Menurut Nezar Patria, editor harian Jakarta Post dan anggota dewan pers, menyatakan bahwa kondisi post-truth adalah kondisi yang terjadi ketika informasi bohong atau palsu dipakai untuk menyalakan bara emosi dan sentimen publik serta biasanya menggunakan sentimen-sentimen agama, ideologi, etnis, dll.
ADVERTISEMENT
Biasanya fenomena post-truth ini digunakan oleh lawan politik untuk meraup suara untuk memenangkan pemilu. Demokrasi yang seharusnya memberikan kebebasan kepada publik untuk menentukan suaranya sesuai hati nurani dan rasionalitasnya, malah digiring opininya agar menggunakan emosi dalam proses yang sangat sakral yakni pemilihan umum.
Jika merunut ke belakang, sejarah bangsa ini juga tidak terlepas dari pertarungan ideologi, gagasan anti-komunisme, anti-Kristen, anti-China yang menggambarkan absennya demokrasi di negara Indonesia silam. Sekarang ini kelompok-kelompok yang anti-Pancasila menjadi ancaman persatuan bangsa. Pasalnya kelompok anti-Pancasila dan anti-demokrasi ini sangat radikal ingin mengganti sistem demokrasi dengan sistem lain yang mereka anggap sempurna.
ADVERTISEMENT
Penyebarkan rehabilitas dan rekonsiliasi bertahun-tahun nyatanya tidak bisa membentuk kesatuan, kebebasan, dan persaudaraan Indonesia. Ketidaksiapan hidup dalam masyarakat yang multikultur, multi etnis, dengan beragam perbedaan menimbulkan gesekan dan konflik di masyarakat. Bahkan munculnya media sosial tidak membuat masyarakat Indonesia lebih sadar politik dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi Pancasila.
Pemahaman tentang demokrasi Pancasila serta kurangnya literasi media masyarakat menyebabkan praktik-praktik demokrasi sudah tidak sejalan lagi dengan nilai-nilai falsafah bangsa yakni Pancasila. Di mana Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta keadilan sosial belum bisa seutuhnya diamalkan oleh masyarakat Indonesia yang multikultur dan plural.
ADVERTISEMENT
Stereotip, diskriminasi, ujaran kebencian, berita hoaks, fitnah dan konflik yang ditimbulkan dari kebebasan di media sosial dengan mengatasnamakan demokrasi adalah salah satu tanda bahwa diharuskannya kita mendefinisikan kembali demokrasi Pancasila.

Pentingnya Meningkatkan Literasi dan Diskursus Publik untuk Membangun Demokrasi yang Sehat

Melalui literasi dan diskurus publik yang mengedepankan gagasan tentang validitas dan legitimasi politik di atas tindakan komunikatif antar masyarakat dalam mencapai konsensus rasional. Menurut Habermas politik sebagai ekspresi kebebasan yang menjadi sumber pembuka secara serempak dari subjektivitas individual dan kedaulatan rakyat.
Dengan demikian setiap masyarakat yang berdemokrasi harus mengedepankan rasionalitas dan melakukan deliberasi dengan melakukan tindakan komunikatif untuk mencegah praktik demokrasi yang menyimpang seperti menyebar ujaran kebencian, berita hoaks, tindakan saling fitnah.
ADVERTISEMENT
Selain itu dengan melakukan literasi terhadap publik mengenai betapa pentingnya menggunakan hak suara dalam Pemilihan Umum untuk masa depan bangsa dan negara dengan memilih calon pemimpin yang paling kredibel sesuai sistem merit.
Bukan memilih didasarkan pada emosi dan sentimen, namun akal sehat dan rasionalitas yang dibangun oleh nilai-nilai Pancasila dan ke-Indonesiaan. Mendefinisikan kembali Pancasila di masyarakat Indonesia yang multikultur dan plural melalui diskursus publik dan peningkatan literasi masyarakat perlu dilakukan oleh segenap elemen bangsa, demi terlaksananya demokrasi yang adil dan beradab, menjunjung nilai persatuan dan kesatuan bangsa dengan berlandaskan nilai-nilai Pancasila untuk membangun Indonesia yang harmoni.