Konten dari Pengguna

Sudahkah Indonesia Berkomitmen Terhadap Perlindungan Lingkungan Hidup?

Sarah Novianti
Mahasiswa Hubungan Internasional UGM
9 Juli 2021 7:23 WIB
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sarah Novianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pertambangan batu bara di Kalimantan Selatan, foto: unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Pertambangan batu bara di Kalimantan Selatan, foto: unsplash
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling disorot terkait masalah lingkungan hidup, hal tersebut selain berkenaan dengan hutan hujan tropisnya yang menjadi paru-paru dunia namun juga berkenaan dengan peraturan dan perlindungan lingkungan hidup serta bencana alam yang diakibatkan oleh ulah manusia. Beberapa kali Indonesia ditekan oleh masyarakat internasional terkait masalah kabut asap akibat karhutla di Kalimantan dan Sumatera pada 2015 - 2018.
ADVERTISEMENT
Bencana tersebut selain telah merugikan lingkungan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat di area terdampak namun juga berdampak luas ke negara tetangga karena terkena imbas kabut asap. Bencana tersebut menjadi hirauan masyarakat internasional karena dampaknya yang sangat fatal terhadap aktivitas penerbangan di Malaysia dan Singapura serta negara tetangga lainnya.
Negara-negara tersebut mengirim surat dan membuat pernyataaan respon untuk pemerintah Indonesia, sikap pemerintah Indonesia yang menolak bantuan Singapura pun sangat disayangkan. Selain itu eksekusi terhadap korporasi pelaku pembakaran lahan gambut mendapat vonis hukum yang minim, korporasi seakan memiliki kuasa atas hukum perlindungan lingkungan hidup.
Rupanya bencana kabut asap akibat karhutla dan tekanan masyarakat internasional tersebut tidak memberikan efek jera baik bagi pemerintah dan para pelaku perusak lingkungan yang notabene berasal dari kalangan korporat. Selain itu perubahan perilaku sadar lingkungan pada masyarakat Indonesia tidak signifikan. Perilaku kurang sadar lingkungan tersebut bisa kita amati dari perilaku masyarakat di sekitar kita.
ADVERTISEMENT
Seperti belum sadar akan pentingnya melakukan 3R (reduce, reuse, recycle), belum disiplin dalam menjaga lingkungan dengan masih banyak yang membuang sampah sembarangan ke sungai dan pinggir jalan, pembukaan lahan untuk perkebunan, dan lainnya. Kini tren belanja online dan tren fast fashion kemudian gaya hidup boros dan hedon, ketergantungan terhadap bahan agrikultur impor secara tidak langsung juga menyumbang kerusakan lingkungan. Pola produksi dan pola konsumsi yang tidak ramah lingkungan tersebut semakin menambah beban lingkungan hidup.
Banyak kita dapati alih fungsi lahan sawah dan hutan untuk pemukiman dan kawasan bisnis di berbagai daerah ternyata turut menyumbang beban lingkungan. Pembangunan villa dan area wisata di kawasan konservasi, gunung pegunungan, puncak, danau, DAS, semakin menjamur di mana-mana terutama di daerah wisata seperti area wisata Puncak Bogor yang seringkali ketika musim hujan tiba menjadi penyebab kiriman banjir ibukota karena hilangnya resapan air. Villa dan tempat usaha yang mengambil lahan hutan lindung seringkali dibangun begitu saja tanpa memperhatikan AMDAL. Akibatnya area yang seharusnya diperuntukan untuk resapan air hilang dan terjadi banjir.
ADVERTISEMENT
Lingkaran setan ini terjadi pula di wilayah-wilayah lainnya di kawasan gunung, pantai, danau, hutan lindung, kawasan konservasi, taman nasional di hampir seluruh wilayah Indonesia yang potensial menjadi tujuan wisata dan pusat bisnis. Seperti di Jogja misalnya, krisis agraria akibat investasi besar-besaran terutama di bidang perhotelan, jasa, mall, dan wisata yang selama ini seringkali menimbulkan masalah lingkungan dan konflik sosial akibat hilangnya sumber mata air, dan lainnya.
Kerusakan lingkungan yang terjadi tentunya melibatkan semua sektor, yang paling berperan adalah korporasi, yang sayangnya didukung melalui peraturan-peraturan yang dikebiri. Peraturan yang mengatur mengenai pengelolaan sumber daya alam dan analisis mengenai dampak lingkungan pun salah satu yang dikebiri habis-habisan.
Hal tersebut bisa dilihat dengan disahkannya RUU Cipta Kerja yang di dalamnya telah mengubah UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Kehutanan. RUU Citpa Kerja beresiko tinggi pada lingkungan walaupun dengan dalih efisiensi investasi dan kemudahan berusaha yang ditawarkan UU Cipta Kerja. Namun faktanya banyak pasal dalam omnibus law yang dapat mempercepat deforestasi karena ada peluang peningkatan alih fungsi kawasan hutan dalam proses perencanaan ruangnya.
ADVERTISEMENT
Kemudahan berinvestasi dengan alasan menciptakan lapangan kerja secara nyata melemahkan perlindungan lingkungan hidup. Apalagi ketentuan batas minimal kawasan hutan 30% yang dihilangkan dalam pasal di Omnibus Law akan berpotensi meningkatkan deforestasi besar-besaran kawasan hutan lindung serta hilangnya hak gugat masyarakat dan aktivis lingkungan atau organisasi masyarakat sipil yang tercermin dari dihapuskannya Komisi Penilai AMDAL yang ada dalam UU Cipta Kerja dan diganti dengan tim uji kelayakan yang dibentuk oleh Lembaga Uji Kelayakan.
Investasi perusahaan-perusahaan di beberapa wilayah hutan lindung atau wilayah konservasi seringkali juga menimbulkan ancaman terhadap kelestarian satwa dilindungi. Di Papua ancaman pembukaan hutan untuk perkebunan sawit nyata berdampak pada kelestarian burung cendrawasih dan spesies endemik. Tentu kita masih ingat rencana invasi perusahaan-perusahaan swasta dalam ruang hidup komodo. Hal tersebut juga menjadi kekhawatiran terhadap keberlangsungan hidup hewan purba tersebut.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi resmi menghapus FABA sebagai limbah B3 pada aturan turunan UU Cipta Kerja, tentunya ini menambah daftar hitam rapot pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dihapuskannya limbah batu bara dari daftar limbah B3 tersebut akan berdampak pada keamanan lingkungan dan keamanan hidup masyarakat. Seringkali perusahaan tambang batu bata tidak diganjar setimpal atas kerusakan lingkungan yang terjadi.
Menurut laporan dari Greenpeace Indonesia, sebelumnya PT. Pusaka Jaya Palu Power (PLTU Panau) menumpuk 72.000 ton abu beracun dari PLTU batubara di bantaran Sungai Taweli secara ilegal sejak tahun 2007 dan lokasi penumpukan abu hanya berjarak 50meter dari pemukiman penduduk. Namun PT. PDPP hanya dihukum denda 3 milyar dan tidak ada clean-up yang disyaratkan, pasca dijatuhkan hukuman pidana, permasalahan penumpukan abu masih berlarut-larut hingga PLTU Panau diterjang tsunami.
ADVERTISEMENT
Lemahnya penegakan hukum akan semakin menjadi jika UU Cipta Kerja atau Omnibus Law benar-benar diterapkan. Tentu hal ini sangat disayangkan ketika kasus-kasus kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas industri ekstraktif oleh perusahaan-perusahaan tambang tersebut tidak dijadikan pelajaran untuk lebih memperketat peraturan yang memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Ombnibus Law kini justru menurunkan standar lingkungan hidup, hal tersebut tentu berdampak pada semakin parahnya kerusakan lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat. Sanksi hukum yang tidak dijalankan semakin menunjukan bahwa korporasi dibiarkan melenggang dengan bebas ketika melakukan pelanggaran lingkungan.
Pencemaran lingkungan semakin tidak terkendali dan pencemar tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Kerusakan ekologi dan krisis iklim pada akhirnya hanya akan menambah beban derita rakyat. Berdasarkan data dari Greenpeace Indonesia, polusi batu bara telah membunuh 10,2 juta orang setahun.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan kasus reklamasi-reklamasi dan penambangan pasir di sekitar wilayah pantai, kegiatan tersebut menyebabkan penurunan jumlah ikan dan mengancam pendapatan nelayan-nelayan kecil. Penambangan pasir yang dilakukan secara besar-besaran akan memengaruhi pola arus dan struktur geomorfologi bawah laut, selain itu ancaman abrasi, perubahan arus dan perubahan ketinggian ombak akan membahayakan nelayan dan tentunya mengganggu ekosistem laut.
Krisis iklim telah nyata mengancam keamanan manusia, keamanan pangan, keamanan lingkungan. Sejatinya manusia harus semakin sadar akan bahaya nyata dari perubahan iklim yang ditimbulkan dari kerusakan-kerusakan lingkungan akibat keserakahan manusia yang tiada batasnya. Sebagai negara dengan hutan hujan tropis terbesar kedua di dunia serta dengan segala sumber daya alam yang melimpah, tentu pengelolaannya harus didasarkan pada pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris harus dibuktikan dengan keseriusan perlindungan lingkungan hidup.
ADVERTISEMENT
Perubahan dan kesadaran akan pentingnya menyeimbangkan kehidupan dengan alam juga harus dimulai dari diri sendiri, dilanjutkan ke lingkup keluarga, kemudian masyarakat dan lingkungan yang lebih luas. Kolaborasi antar sektor baik itu pemerintah, akademisi, industri, masyarakat dan media sangat diperlukan untuk mengatur dan mengelola sumber daya. Yang paling utama adalah kolaborasi tersebut harus diperuntukan demi keadilan lingkungan, kesejahteraan rakyat dan untuk masa depan generasi Indonesia.