Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Relawan dan Teroris dalam Perseptif Hukum dan Kemanusiaan
17 November 2024 10:45 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Sarjan Sakti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu muncul di media daftar Lembaga Swadaya Masyarakat yang terafiliasi kelompok teror, sehingga banyak masyarakat khususnya donatur kemanusiaan untuk Timur Tengah menjadi enggan berdonasi karena takut dana diberikan bukan untuk program kemanusian melainkan untuk mendukung para kelompok teror.
ADVERTISEMENT
Banyak LSM dan NGO (Non Goverment Organitation) dibekukan karena terafiliasi kelompok teror atau terindikasi sudah menjadi kelompok teror itu sendiri dengan terbukti membantu kelompok terlarang melakukan berbagai kegiatan terorisme.
Sebetulnya apa yang terjadi? Bahasan ini hanya opini pribadi bersumber dari pengalaman sendiri selama lebih dari 6 tahun menjadi relawan kemanusiaan yang fokus ke daerah konflik khususnya korban perang di Timur Tengah.
Pengertian Terorisme
Apa itu terorisme? Terorisme menurut KBBI didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik). Atau secara sederhana, KBBI memuat pengertian terorisme sebagai tindakan teror.
Sedang menurut Pasal 1 angka 2 Perpu 1/2002jo. UU 5/2018, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
ADVERTISEMENT
Pengertian Relawan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), relawan merupakan bentuk non-formal atau tidak baku dari “sukarelawan”, dimana “sukarelawan” adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak karena dipaksa atau diwajibkan). Dan sebutan ini merupakan gabungan dari kata “suka”, “rela” dan akhiran “-wan”.
Jika dirinci kembali, jadi sebenarnya apa itu relawan? Sekali lagi, berdasarkan KBBI, relawan adalah individu yang mengambil peran atau melakukan kegiatan tertentu atas motif suka dan rela. Jadi dengan kata lain, relawan adalah orang yang melakukan sebuah kegiatan yang biasanya bersifat sosial dengan suka rela atau tanpa diberikan upah. Namun, apakah kita menyadari bahwa, akhir-akhir ini, kata “relawan” agak jarang terdengar? Artikel-artikel sudah tidak lagi menggunakan kata-kata “relawan”, namun mereka menggunakan padanan kata “volunteer”.
ADVERTISEMENT
Kawasan Timur Tengah menjadi pusat perhatian dunia karena kompleksitas permasalahan yang dihadapinya, seperti konflik berkepanjangan, ketidakstabilan politik, dan ancaman terorisme. Di sisi lain, kawasan ini juga menjadi ladang amal bagi berbagai organisasi kemanusiaan dan relawan yang hadir untuk membantu masyarakat yang terdampak konflik. Namun, dinamika ini menimbulkan tantangan yang besar, terutama terkait isu keamanan dan hukum, di mana relawan sering kali dihadapkan pada risiko dan tuduhan yang mengaitkan mereka dengan aktivitas terorisme. Dalam menghadapi situasi ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis, serta uraian hukum yang relevan.
Ontologis dari Hakikat Terorisme dan Relawan Kemanusiaan
Secara ontologis, penting untuk memahami perbedaan mendasar antara terorisme dan kegiatan kemanusiaan. Terorisme merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan dengan tujuan menyebarkan ketakutan dan memengaruhi kebijakan publik melalui cara-cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Terorisme di Timur Tengah sering muncul dalam bentuk serangan bersenjata, pengeboman, dan penculikan yang merugikan masyarakat sipil dan mengancam stabilitas negara. Sebaliknya, kegiatan kemanusiaan didasarkan pada prinsip solidaritas, pertolongan, dan kesejahteraan bersama, terutama dalam situasi krisis atau bencana.
ADVERTISEMENT
Hampir setiap tahun penulis masuk ke daerah konflik di Suriah untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan, dan kerap kali pula dijumpai beberapa “pengganggu” ketika sedang mendistribusikan bantuan.
Mulai gangguan pelemparan petasan besar kearah relawan, sampai penculikan dan penyiksaan.
Beberapa dari mereka tidak suka kalau ada distribusi bantuan, dan disinyalir ada beberapa dari mereka adalah Warga Negara Indonesia yang masih tertipu masuk dalam sebuah paham sesat yang dulu terkenal dengan nama Isis.
Kelompok Isis mempunyai pemahaman sesat, mereka mengaku Islam dan menjadi pengganggu ketika banyak relawan kemanusiaan mendistribusikan bantuan di kemp kemp pengungsi khususnya di daerah Suriah.
ISIS atau IS (Islamic State) adalah kelompok teroris yang mendeklarasikan dirinya sebagai kekhalifahan dan mengklaim kekuasaan atas wilayah yang luas di Irak dan Suriah pada tahun 2014. ISIS bertujuan untuk mendirikan negara berdasarkan interpretasi ekstrem dari hukum Islam dan terlibat dalam berbagai tindakan kekerasan ekstrem, termasuk serangan terhadap warga sipil, penindasan hak asasi manusia, dan penghancuran warisan budaya.
ADVERTISEMENT
ISIS telah dikutuk secara luas oleh masyarakat internasional, dan banyak negara serta organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah mendeklarasikan ISIS sebagai organisasi teroris.
Mereka inilah yang akhirnya menjadi label buruk relawan kemanusiaan yang keluar masuk ke dalam Suriah, seolah semua relawan yang masuk kedalam Suriah di labeli teroris atau ISIS.
Ontologi dari relawan kemanusiaan adalah keinginan tulus untuk meringankan penderitaan orang lain. Mereka hadir di daerah konflik dengan misi bantuan, tidak memihak pihak manapun dalam konflik, serta tidak memiliki motif politik atau ekonomi. Namun, relawan ini sering kali berada di tengah medan konflik yang dikuasai oleh kelompok teror, sehingga rentan terhadap tuduhan dan risiko penangkapan oleh pihak berwenang yang menganggap keterlibatan mereka berpotensi membantu organisasi terorisme.
ADVERTISEMENT
Ketiadaan garis yang jelas antara wilayah aman dan konflik di Timur Tengah semakin memperumit posisi relawan. Dari sudut pandang ontologis, tindakan relawan kemanusiaan harus dipahami sebagai upaya murni untuk membantu masyarakat yang terdampak konflik, tanpa terlibat dalam agenda politik atau kepentingan kelompok teroris. Penting bagi pemerintah dan lembaga hukum internasional untuk mengakui hakikat dan tujuan dari kegiatan kemanusiaan ini, serta memastikan perlindungan bagi mereka yang terlibat.
Epistemologis, Sumber dan Validitas Informasi Terkait Kegiatan Relawan
Dari sisi epistemologis, pengenalan dan pembuktian keterkaitan antara kegiatan relawan dan aktivitas terorisme sering kali menjadi area abu-abu yang memerlukan kajian mendalam. Dalam beberapa kasus, relawan kemanusiaan atau organisasi non-pemerintah dituduh memberikan bantuan kepada kelompok teroris. Namun, tuduhan ini sering kali berdasarkan informasi yang belum diverifikasi secara memadai, atau didasarkan pada asumsi tentang hubungan geografis dan interaksi antara relawan dengan kelompok yang diduga teroris.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa prosedur resmi yang harus di lakukan untuk membuat program kemanusiaan didalam Suriah sehingga mendapat perlindungan secara hukum di negara yang bersangkutan, dan tidak menjadi masalah hukum pula ketika para relawan ini kembali ketanah air.
Prosedur ini banyak tidak dilakukan oleh beberapa NGO atau LSM karena ketidak pahaman alur birokrasi yang harus dilalui. Berdasarakan pengalaman pribadi dan pengamatan selama melakukan kegiatan kemanusiaan di daerah konflik khususnya Suriah ada beberapa hal yang menjadi perhatian
Pertama, yang harus dilakukan oleh LSM atau NGO adalah meminta ijin negara yang berwenang atau negara suaka yang sudah menguasai daerah pendistribusian yang akan kita bantu semisal Turki, Yordania atau Lebanon, yaitu dengan minta Invitation Letter atau surat undangan untuk kita datang ke negara tersebut
ADVERTISEMENT
Kedua, Kita tidak boleh melanggar aturan hukum negara kita (Hukum Negara Indonesia) dan tidak boleh pula melanggar aturan hukum negara suaka yang sudah memberikan ijin tinggal untuk para pengungsi.
Ketiga, Ketika masuk ke wilayah konflik, para relawan harus mendapat pendampingan dari negara suaka dan tidak boleh memasuki area yang memang belum menjadi daerah teritorialnya.
Media dan intelijen memainkan peran besar dalam membentuk persepsi publik tentang hubungan antara relawan dan aktivitas terorisme. Namun, keterbatasan akses ke informasi yang akurat di daerah konflik sering kali mengakibatkan kesalahpahaman. Dalam beberapa kasus, data yang diperoleh dari kawasan konflik hanya bersumber dari satu pihak yang terlibat dalam konflik, yang bisa jadi memiliki bias tertentu.
Epistemologi yang diterapkan dalam konteks ini seharusnya mendukung verifikasi yang kuat dan independen atas informasi yang diperoleh terkait relawan kemanusiaan. Relawan dan organisasi kemanusiaan umumnya memiliki kode etik yang ketat yang melarang segala bentuk kerja sama dengan kelompok teroris.
ADVERTISEMENT
Keempat, Semua LSM atau NGO ketika mendistribusikan bantuan ke daerah konflik harus bekerja sama dengan lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau KBRI dan harus mendapat ijin distribusi dari negara suaka.
Kelima, Setelah penyaluran, semua LSM atau NGO diharuskan membuat laporan dalam bentuk dokumen atau berita acara kepada KBRI, apa saja yang telah dilakukan dan bantuan apa saja yang disalurkan serta berapa banyak penerima manfaat dari program yang telah kita lakukan.
Penggunaan data yang valid dan akurat sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman atau penangkapan yang tidak beralasan terhadap relawan. Penelusuran informasi yang mendalam dan verifikasi dari beberapa sumber dapat membantu menghindari kesalahan identifikasi yang berdampak pada keselamatan relawan dan efektivitas bantuan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Aksiologis, Nilai dan Tujuan Bantuan Kemanusiaan
Secara aksiologis, bantuan kemanusiaan berakar pada nilai-nilai kemanusiaan seperti solidaritas, non-diskriminasi, dan keadilan. Para relawan beroperasi berdasarkan prinsip netralitas, ketidakberpihakan, dan kemandirian, yang semuanya bertujuan untuk memastikan bantuan dapat diberikan kepada mereka yang membutuhkan, tanpa memperhatikan afiliasi politik atau agama. Di sisi lain, terorisme jelas melanggar nilai-nilai ini karena tujuannya adalah untuk menimbulkan ketakutan dan mencapai tujuan politik melalui kekerasan.
Nilai aksiologis dalam kegiatan kemanusiaan mengharuskan adanya perlindungan bagi relawan dan organisasi kemanusiaan dari ancaman terorisme maupun tindakan hukum yang tidak berdasar. Ini mengingat bahwa kegiatan kemanusiaan bukan hanya berdampak pada penerima bantuan, tetapi juga sebagai bentuk komitmen internasional terhadap hak asasi manusia. Relawan kemanusiaan sering kali mempertaruhkan nyawa mereka demi misi kemanusiaan, dan mereka tidak boleh dianggap sebagai ancaman kecuali ada bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan mereka dalam aktivitas ilegal.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks aksiologis, sangat penting bagi pemerintah dan masyarakat internasional untuk mengakui peran penting yang dimainkan oleh organisasi kemanusiaan. Adanya pemahaman yang dalam terhadap nilai-nilai ini akan mendorong kebijakan yang lebih melindungi relawan dan memberikan ruang bagi mereka untuk menjalankan tugas kemanusiaan mereka tanpa takut akan penangkapan atau ancaman lainnya.
Perlindungan Hukum bagi Relawan Kemanusiaan
Secara hukum, terdapat beberapa instrumen internasional yang melindungi relawan dan organisasi kemanusiaan, terutama di wilayah konflik. Misalnya, Konvensi Jenewa dan protokol-protokol tambahannya menjamin perlindungan bagi relawan yang memberikan bantuan kepada korban konflik, asalkan mereka tidak terlibat dalam aksi kekerasan atau pihak yang berkonflik. Namun, pelanggaran atas hak relawan kemanusiaan masih sering terjadi, terutama di kawasan yang dikuasai oleh kelompok militan atau pemerintah yang mencurigai kegiatan mereka.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, hukum internasional juga mengakui bahwa negara memiliki hak untuk melindungi diri dari ancaman terorisme. Resolusi Dewan Keamanan PBB 1373 (2001) mengamanatkan bahwa semua negara harus mengambil tindakan pencegahan untuk mencegah pendanaan atau dukungan bagi organisasi teroris. Namun, implementasi resolusi ini sering kali berdampak pada relawan yang berada di daerah konflik, di mana mereka kadang-kadang dianggap membantu kelompok teroris karena memberikan bantuan kepada penduduk yang tinggal di wilayah yang dikuasai oleh kelompok tersebut.
Untuk mencapai keseimbangan antara melindungi keamanan nasional dan mendukung misi kemanusiaan, diperlukan regulasi yang jelas dan mekanisme hukum yang memungkinkan verifikasi dan pembuktian yang akurat.
Pemerintah seharusnya bekerja sama dengan organisasi internasional untuk memastikan bahwa relawan yang berada di daerah konflik tetap mendapatkan perlindungan hukum, serta menghindari tuduhan yang tidak berdasar yang dapat menghambat bantuan kemanusiaan. Hukum Humaniter Internasional (IHL) memberikan panduan yang ketat terkait perlindungan relawan, namun masih memerlukan dukungan dari semua pihak agar implementasinya dapat dijalankan dengan efektif.
ADVERTISEMENT
Relawan Indonesia yang bekerja di wilayah konflik Timur Tengah dilindungi oleh sejumlah hukum internasional, khususnya di bawah payung Hukum Humaniter Internasional (HHI) dan perlindungan hak asasi manusia. Berikut beberapa perlindungan yang berlaku:
1. Konvensi Jenewa
Konvensi ini melindungi personel non-kombatan, termasuk relawan kemanusiaan, di wilayah konflik. Mereka tidak boleh dijadikan target dalam serangan, dan mereka memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman, penyiksaan, dan perlakuan buruk lainnya. Relawan kemanusiaan harus diberi akses aman untuk menjalankan tugas kemanusiaan mereka.
2. Hukum Humaniter Internasional (HHI)
HHI menetapkan aturan-aturan yang melindungi pekerja kemanusiaan dan relawan di daerah konflik. Sebagai bagian dari hukum internasional, HHI melarang penahanan, penyiksaan, atau bentuk kekerasan lain terhadap mereka yang bekerja untuk kepentingan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
3. Perlindungan oleh Lembaga PBB
Organisasi seperti Komite Palang Merah Internasional (ICRC) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga memberikan perlindungan bagi relawan dan pekerja kemanusiaan. Negara atau organisasi yang berpartisipasi di bawah koordinasi PBB biasanya memiliki hak akses, dan para relawan ini harus diperlakukan sesuai standar internasional yang telah disepakati.
4. Prinsip-Prinsip Dasar Kemanusiaan
Prinsip-prinsip ini, seperti ketidakberpihakan dan independensi, memperkuat posisi para relawan di wilayah konflik. Ini juga mengurangi risiko terlibat dalam konflik politik atau militer, yang dapat memperbesar kemungkinan mereka tetap aman dan tidak dijadikan target.
5. Perlindungan Konsuler
Relawan Indonesia di Timur Tengah berhak mendapat perlindungan konsuler dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di negara terkait. KBRI dapat membantu dalam memberikan perlindungan hukum, evakuasi, atau bantuan lain yang diperlukan dalam situasi darurat.
ADVERTISEMENT
Namun, di lapangan, implementasi perlindungan hukum ini bisa menghadapi tantangan besar, terutama jika relawan berada di wilayah konflik intens. Kerja sama dengan lembaga internasional dan koordinasi dengan pemerintah Indonesia sangat penting untuk memaksimalkan perlindungan hukum bagi para relawan tersebut.
Antara terorisme dan relawan kemanusiaan terdapat perbedaan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang mendasar. Terorisme adalah tindakan kekerasan yang bertujuan untuk mencapai tujuan politik melalui ketakutan, sementara relawan kemanusiaan beroperasi berdasarkan nilai-nilai solidaritas dan keadilan tanpa diskriminasi. Dari segi epistemologi, informasi yang akurat dan verifikasi yang kuat sangat diperlukan untuk membedakan aktivitas kemanusiaan dari aktivitas yang dianggap mengancam keamanan. Secara aksiologis, nilai dan tujuan bantuan kemanusiaan perlu dilindungi demi kepentingan bersama. Dukungan hukum yang kuat sangat penting untuk melindungi relawan dari tuduhan tak berdasar, dan instrumen internasional yang sudah ada harus diimplementasikan dengan penuh tanggung jawab untuk menjamin keselamatan mereka di daerah konflik.
ADVERTISEMENT
Oleh : Adjeng Kristinawati, Mahasiswa S3 Doktor Ilmu Hukum UNISBA.