Konten dari Pengguna

Apakah Kita Bangsa Penjudi?

Sartana
Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
25 Juni 2024 13:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Judi dalam kehidupan sehari-hari. Sumber : Gambar dibuat menggunakan aplikasi Microsoft Designer
zoom-in-whitePerbesar
Judi dalam kehidupan sehari-hari. Sumber : Gambar dibuat menggunakan aplikasi Microsoft Designer
ADVERTISEMENT
Menurut data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), selama periode 2022 – 2023, ada sekitar 3,3 juta warga Indonesia yang terlibat dalam aktivitas judi online. Adapun perputaran uang dari judi online di Indonesia sejak tahun 2017 hingga 2023 mencapai Rp 517 triliun.
ADVERTISEMENT
Di luar judi online tersebut, kasus judi konvensional juga marak terjadi. Dalam sebuah acara Rilis Akhir Tahun Polri di Mabes Polri (31/12/2022), Kapolri pada waktu itu, Jenderal Listyo Sigit Prabowo melaporkan bahwa pada tahun 2022, kepolisian telah mengungkap 2.378 perkara judi konvensinal. Dibandingkan dengan tahun 2021, jumlah tersebut mengalami peningkatan 448 perkara atau sekitar 23,2 persen.
Maraknya kasus judi online telah menarik perhatian masyarakat. Itu terjadi karena banyak orang yang terdampak sekaligus menjadi korban dari judi online tersebut. Salah satu insiden yang mencuri perhatian publik adalah pembunuhan seorang polisi oleh istrinya, karena sang suami, yang juga seorang polisi, menggunakan tunjangan hari rayanya untuk judi online.
Judi sendiri merupakan penyakit sosial yang usianya sudah sangat tua. Pada masa ratusan tahun sebelum masehi, pada zaman nabi-nabi dan kerajan kuno, penyakit sosial ini sudah marak dan berkembang biak.
ADVERTISEMENT
Beragam penelitian tentang judi ini juga sudah banyak dilakukan. Berbagai kebijakan, peraturan, atau hukuman juga sudah banyak diterapkan untuk menghentikan praktek ini. Namun, hingga sekarang, praktek perjudian masih saja terus tumbuh dan berkembang.
Mengenai alasan mengapa orang-orang terlibat dalam judi, juga sudah banyak pihak yang menguraikannya. Alasan orang berjudi sangat beragam. Beberapa melakukannya untuk sekedar mencari hiburan dan mengalihkan diri dari kesumpekan hidup. Ada pula yang terlibat judi memang dimotivasi oleh dorongan finansial, tergoda oleh potensi keuntungan besar yang ditawarkan judi. Sebagian orang, bermain judi awalnya hanya coba-coba, namun dalam perjalanannya mereka menjadi kecanduan.
Faktor lainnya adalah ketersediaan peluang untuk berjudi dan kurangnya sanksi yang tegas terhadap pelaku.Terkait itu, kebijakan dan regulasi pemerintah memainkan peran kunci dalam mengendalikan praktek perjudian. Ketika pemerintah menerapkan aturan yang ketat dan menegakkan sanksi yang keras terhadap praktik perjudian, kasus-kasus perjudian cenderung bisa ditekan.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, terdapat contoh di mana praktik perjudian berhasil diredam. Itu terjadi saat Polri dipimpin oleh Jenderal Sutanto. Tindakan tegas dan massif terhadap perjudian yang diberlakukan kepolisian pada waktu berhasil membuat orang-orang takut dan jera untuk terlibat aktivitas perjudian.
Di luar faktor-faktor tersebut, ada juga faktor psikokultural yang turut mempengaruhi masyarakat terlibat judi. Faktor ini tidak tampak secara kasat mata, karena berupa pola pikir dan perilaku, namun perannya sangat signifikan.
Di beberapa negara, perjudian merupakan hal yang umum dan diterima sebagai bagian dari budaya dan kebiasaan sosial. Bahkan, sebagian kegiatan perjudian diorganisir oleh lembaga pemerintah. Dengan demikian, pada negara-negara ini, perjudian merupakan hal yang umum dan tumbuh subur di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, di Indonesia, perjudian merupakan perilaku atau kebiasaan yang tidak didukung, bahkan dilarang oleh pemerintah, institusi keagamaan, maupun lembaga budaya secara umum. Dengan situasi seperti ini, seharusnya, kasus perjudian tidak berkembang di Indoesia.
Namun, kenyataannya, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat perjudian yang tinggi. Berdasarkan laporan dari dunia.tempo.co (2024), Indonesia menempati peringkat sebelas dalam hal perputaran uang judi di dunia. Selain itu, dalam kategori judi online, Indonesia menjadi negara dengan jumlah pemain judi online terbanyak di dunia (viva.co.id, 2024).
Melihat maraknya perjudian di Indonesia di satu sisi dan keberadaan perangkat penghambat perjudian yang berlapis-lapis di sisi lain itu, kita melihat sebuah anomali. Lembaga pemerintah, agama, dan budaya secara bersama melarang praktik perjudian, namun judi tetap marak terjadi. Lalu, apa sebenarnya yang menyebabkan judi masih marak di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Untuk mendapatkan jawaban valid atas pertanyaan itu, diperlukan penelitian mendalam dengan sampel yang representatif. Penyelidikan harus mencakup berbagai aspek, mulai dari sisi mikro individual hingga makro sosial-kultural.
Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk menjawab pertanyaan tersebut. Saya hanya ingin mengemukakan hasil perenungan saya sebagai orang biasa yang kebetulan merupakan bagian dari bangsa Indonesia.
Dan saya merasakan bahwa hidup di Indonesia, meskipun kita tidak berjudi dalam arti yang lazim kita labeli sebagai "judi," sebenarnya dalam banyak situasi kita seakan-akan hidup dalam arena perjudian. Banyak aspek kehidupan sehari-hari di Indonesia bisa kita anggap sebagai sebuah pertaruhan.
Sebagai contoh, ketika orang tua dari kelas menengah bawah menyekolahkan anak, mereka mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dengan harapan anak-anak mereka dapat memperoleh pekerjaan yang baik di masa depan. Namun, kerap kali ketika anak-anak itu telah lulus sekolah atau kuliah, kesempatan kerja yang diharapkan terasa seperti sekedar untung-untungan. Bila untung dapat kerja dan naik derajat kualitas hidupnya, bila buntung ya tidak berubah nasibnya.
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan hukum, situasinya tidak jauh beda. Sulit kita menemukan aturan hukum yang pasti, yang dapat kita jadikan pegangan. Hukum akan tajam atau tumpul tergantung pada banyak hal. Tergantung siapa Anda dan siapa yang Anda hadapi, tergantung penegak hukum, tergantung uang, dan lain sebagainya. Semua serba relatif dan tidak pasti. Kecuali, kita punya kekuasaan dan uang, kepastian hukum menjadi lebih pasti.
Memilih pemimpin dalam pilkada atau pemilu bisa dianggap sebagai bentuk "perjudian" yang lain. Dalam pemilu atau pilkada itu, masyarakat seringkali kita harus membuat keputusan penting berdasarkan informasi yang terbatas dan hasil yang tidak pasti. Sebagian besar masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap rekam jejak atau program-program yang diusung para calon. Yang mereka kenal hanya wajah mereka yang terpampang di pinggir jalan, media sosial, atau media massa.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi itu, kita bertaruh apakah calon yang kita pilih akan mampu mengatasi tantangan dan membawa perubahan positif, atau sebaliknya. Ketika kita beruntung, kita akan mendapatkan pemimpin yang baik; namun jika tidak beruntung, kita berisiko untuk mendapatkan layanan publik yang buruk dan nasib yang begitu-begitu saja.
Masih ada banyak pertaruhan hidup lain yang kita hadapai dalam kehidupan sehari-hari. Lalu, apakah dengan demikian kita bisa menyebut Indonesia bangsa penjudi?
Saya kira kita tidak bisa menyimpulkan demikian. Karena belum ada riset mendalam mengenai itu. Riset yang dilakukan Pew Research Center (2019) justru menunjukan kita adalah bangsa paling percaya Tuhan di dunia. Sementara itu, menurut hasil survey CEOWORLD (2024), Indonesia berada pada posisi nomor tujuh negara paling religius di dunia. Tidak mungkin bangsa yang religius dan percaya Tuhan mendukung atau terlibat dalam praktik perjudian.
ADVERTISEMENT
Sartana, M.A.
Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Universitas Andalas